Pergub Tata Niaga Ternak Harus Direvisi

  • Bagikan
Ketua DPP Pepsi NTT, Meidel Amtiran didampingi Petter Bano, Meli Tanehe, Wally Oebehetan, Okto Amnifu dan Jekson Nitti saat meberikan keterangan kepada Timexkupang.fajar.co.id di kupang usai pertemuan bersama Komisi II DPRD NTT,, Rabu (23/4)

Kesepakatan DPRD NTT, Pemerintah dan Pengusaha Ternak

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Usai melakukan uji petik di beberapa kabupaten/kota terkait tata niaga ternak, Komisi II DPRD NTT menggelar rapat dengar pendapat (RDP).

RDP dilaksanakan bersama Dinas Peternakan  Provinsi NTT, Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) NTT, Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT dan Persatuan Pengusaha Sapi Indonesia (Pepsi) NTT di ruang komisi II, Rabu (23/4).

Usai pertemuan, Wakil Ketua Komisi II DPRD NTT, Yunus Takandewa kepada wartawan mengatakan, ada beberapa hal yang perlu direvisi dalam Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 52/2023 tentang Pengendalian Terhadap Pemasukan, Pengeluaran dan Peredaran Ternak, Produk Hewan dan Hasil Ikutannya di NTT.

Semua yang hadir dalam pertemuan menyepakati segera dilakukan revisi pergub tersebut. Karena, ada muatan-muatan diluar jangkauan yakni ketentuan berat sapi yang mewajibkan 275 kg, setiap pengusaha harus memiliki rens 50 hektare dan beberapa ketentuan yang tidak mampu dipenuhi peternak di lapangan.

“Kami meminta tidak terjadi penumpukan ternak di karantina hewan yang menyebabkan pengusaha rugi. Karena membengkak pada biaya pakan ternak dan terjadi penyusutan berat badan yang menimbulkan harga menurun,” ungkap Yunus.

Pemerintah provinsi diminta untuk terus berkoordinasi dengan para peternak, sehingga tidak diskriminasi. Karena ada potensi-potensi kriminalisasi, sehingga aparat penegak hukum bisa masuk. Ada beberapa yang sudah diperiksa kejaksaan.

“Kita koordinasi dengan pemerintah provinsi sebagai pemegang regulasi dan pengawasan untuk sama-sama mencegah. Karena NTT masih merupakan daerah penyuplai ternak terbesar di Indonesia bisa turun gradenya, karena hal-hal yang memang kita abaikan dalam pengurusan,” tegas Yunus.

Ia menjelaskan, persaingan usaha dan monopoli akan mendepak pengusaha-pengusaha kecil lokal dan UKM. NTT sebagai penyuplai ternak terbesar perlu dijaga, sekaligus memberi rasa aman terutama petani peternak maupun asosiasi yang bergerak di sektor tersebut.

“Kita tidak boleh membiarkan terjadi kelumpuhan, ketidakberdayaan dan paling menyakitkan berujung pada kriminalisasi dan masuknya aparat hukum yang kemudian mengaburkan tujuan utama kita menjadikan NTT sebagai gudang ternak,” jelasnya.

Yunus mengakui, Dinas Peternakan Provinsi NTT menyetujui akan mengawal staf masuk bagian hukum untuk revisi pergub tersebut. “Dinas Peternakan merupakan garda terdepan untuk memastikan tata niaga ternak kita aman. Soal penumpukan di karantina hewan, kini dari 14 hari sudah turun menjadi tujuh hari lamanya ternak sapi di karantina. Tetapi, ada faktor lain, kapal yang disiapkan Kementerian Perhubungan ada enam unit. Sekarang ada lima unit. Biasanya menjelang Idul Adha terjadi penumpukan ternak sehingga perlu ditata,” ungkapnya.

Yunus menjelaskan, KSOP sudah ada kebijakan, bisa ada diskresi untuk melihat potensi kapal kargo. Tetapi tentu dengan ketelitian yang hati-hati. Karena, terkait keselamatan ternak antarpulau.

“Kita menolak terjadi monopoli,” tegas Yunus.

Menurutnya, Dinas Peternakan Provinsi NTT akan segera koordinasi dengan Gubernur NTT untuk perubahan pergub tersebut. Begitupun, dengan fraksi-fraksi di DPRD NTT akan menyampaikan ke gubernur, apakah melalui sidang resmi ataupun melalui hubungan kepartaian.

Sementara, Ketua DPP Pepsi NTT,  Meidel Amtiran didampingi Petter Bano, Meli Tanehe, Wally Oebehetan, Okto Amnifu dan Jekson Nitti kepada Timexkupang.fajar.co.id mengatakan, anggota Pepsi yang juga peternak mengalami kendala dalam pengiriman sapi keluar daerah.

Meidel menegskan, Pepsi menginginkan perlu adanya reformasi sistem pengiriman sapi antarpulau.

“Usulan kami punya latar belakang. Faktanya sejak pemberlakuan Pergub Nomor 52 tahun 2023, banyak persoalan terjadi di tingkat kabupaten, yang pada akhirnya sangat menghambat usaha teman-teman. Bahkan ada persoalan yang sampai APH masuk menanganinya. Tentu kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena akan menghambat tata niaga sapi di NTT,” ungkap Meidel.

Dikatakan, tiga kabupaten di NTT memiliki kuota tertinggi pengiriman sapi yakni Kabupaten Kupang, Kabupaten TTS dan Kabupaten TTU. Distribusi kuota pengiriman sapi kepada pengusaha memberikan ruang, banyak persoalan terjadi. Dengan pembatasan kuota, maka tentu ada pembatasan-pembatasan.

Ditengah persaingan, ada praktik-praktik ilegal. Pertama, terjadi ketidakadilan dalam pendistribusi. Misalnya ada pengusaha yang memiliki ternak sapi sedikit, bahkan tidak memiliki ternak, bisa mendapat kuota lebih banyak dari pengusaha yang justru punya banyak ternak sapi.

Juga adanya praktik-praktik pungutan liar. Karena persyaratan yang diatur dalam Pergub Nomor 52/2023, ada poin-poin yang secara realistis sulit dipenuhi para pengusaha kecil. Karena pengusaha ternak sapi di NTT masih level usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Dengan standar harus memiliki kandang yang bisa menampung ternak sapi 1.000 ekor dan rens 50 hektare, ini tidak masuk akal.

“Hanya level konglomerat saja yang dapat memenuhi standar itu,” ujar Meidel.

Dikatakan, berat ternak sapi 275 kg sesuai ketentuan pergub sulit dicapai. Realistis berat ternak sapi di NTT hanya 240-250 kg. Apabila pemeliharaan ternak sapi hanya setahun. Pasalnya, bibit sapi tidak unggul dan pakan tidak cukup tersedia karena perluasan pemukiman.

Menurutnya, kapasitas kandang 1.000 ekor perlu direvisi. Logikanya pengiriman sapi hanya 100 atau 250 ekor, lalu menyiapkan kapasitas kandang untuk 1.000 ekor lalu 50 hektare lahan untuk rens, semua  tidak masuk akal. Karena pengusaha ternak di NTT hanyalah pengusaha kecil.

“Pengusaha tidak fokus penggemukan. Tugasnya jual beli dari peternak. Sehingga yang akan merugi adalah peternak kecil. Karena sudah tentu pengusaha akan membeli dengan harga rendah. Sehingga semua harus dipikirkan. Untuk itu, Pepsi menyetujui segera merevisi Pergub Nomor 52 tahun 2023,” tegasnya.

Meidel menyoroti morat marit distribusi ternak di kabupaten. Pepsi menganggap kabupten belum mampu. Pepsi juga mengusulkan, kuota ternak diatur provinsi dan tidak lagi oleh kabupaten. Tetapi, posisi kabupaten sentral karena verifikasi tetap di tingkat kabupaten. Misalnya penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan dan penandaan identitas ternak.

“Dasar verifikasi itu, provinsi mengeluarkan izin. Jadi berapa ekor ternak sapi yang lolos verifikasi itulah izin yang diterbitkan,” ujarnya.

Wakil Ketua HP2SK NTT, David Anunu mengatakan, pelaku usaha yang terhimpun dalam HP2SK merasa kesulitan.

“Di momen Idul Adha, basodara kita muslim tidak mempersyaratkan berat ternak sapi harus 275 kg. Sementara berat ternak kita tidak mencukupi itu. Pengusaha tidak berani membeli ternak sapi dari peternak karena terikat regulasi. Sementara, peternak menjual hanya untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak dan kebutuhan rumah tangganya. Kami berharap Pergub NTT Nomor 52 tahun 2023 segera direvisi,” ungkapnya. (dek/ays)

  • Bagikan