BPOLBF Izin Pinjam Pakai Lahan 400 Ha, Ini Penjelasan Kepala KPH-LHK NTT

  • Bagikan

LABUAN BAJO, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPOLBF) hanya diberikan izin pinjam pakai atas lahan seluas 400 hektare dalam kawasan Hutan Bowosie untuk mendukung pengembangan pariwisata.

Hal itu dikemukakan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KPH-LHK) Provinsi NTT, Ondy Christian Siagian kepada TIMEX di Labuan Bajo belum lama ini. “Jadi status hutan yang dikelolah BPOLBF hanya pinjam pakai setelah mendapat persetujuan KLHK pusat,” tegasnya.

Ondy menegaskan itu menjawab media ini terkait status tanah 400 ha milik kehutanan yang diberikan kepada BPOLBF. Pasalnya sampai saat ini lahan seluas itu masih menjadi perdebatan panjang di masyarakat.

Dikatakan, pemberian izin pengelolaan lahan 400 ha oleh Kementerian LHK dan telah mendapat persetujuan dari Menteri LHK untuk pemanfaatan selama 35 tahun. Dan dalam pengelolahan untuk kepentingan pariwisata, oleh BPOLBF yang diberikan kewenangan itu, sudah disarankan agar pengelolaan wisata harus benar-benar melibatkan masyarakat lokal. “Kami sudah saran dalam beberapa kali pertemuan agar pengelolaan wisata nanti melibatkan masyarakat lokal,” tandasnya.

Ondy menjelaskan, izin pinjam pakai lahan seluas 400 ha ini diberikan kewenangan kepada BPOLBF selama 35 tahun dengan harapan selama 35 tahun ada dampak nyata untuk masyarakat sekitar kawasan. “Ketika izin diberikan, hak pengeloaan sepenuhnya ada di BPOLBF dengan harapan melibatkan masyarakat sekitar kawasan,” tegasnya.

BACA JUGA: Kepala UPT-KPH Bantah Babat Hutan Bowosie, Pater Agot: Itu Kejahatan Ekologis

BACA JUGA: Lahan Dicaplok, Tokoh Adat di Mabar Protes BPOLBF Melalui Bupati dan DPRD

Lebih lanjut, Ondy Siagian menandaskan, kendati dikelola BPOLBF, namun fungsi hutan lindung harus tetap dijaga dengan meminimalisir atau menghindari tebangan-tebangan atau tumbangan pohon.

“Dalam Prinsip Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, keberadaan kami adalah pelayan untuk masyarakat sehingga dalam fungsi hutan produksi, program KPH adalah pengelolaan hutan sosial. Jadi masyarakat harus diberi ruang untuk mengelolaan hutan secara legal,” terangnya.

Ondy menambahkan, yang diperjuangkan sekarang adalah izin perhutanan sosial. Jadi masyarakat harus diberi akses untuk mengelolah hutan. “Kita sedang mendata berapa jumlah warga miskin di sekitar kawasan. Jangan-jangan masyarakat sekitar kawasan hutan menjadi penyumbang warga miskin terbanyak. Dengan demikian program-program kehutanan harus mengatasi kemiskinan warga dalam kawasan hutan itu dengan cara memberikan akses legal secara kelompok terhadap warga sekitar kawasan, masyarakat yang mengelolah juga yang mendapatkan pendapatanya melalui hutan kayu atau jasa lingkungan eko wisata sekitar,” urainya.

“Contohnya seperti di Wae Bobok. Masyarakat yang mengelolah, masyarakat juga meningkatkan pendapatanya. Atau contoh lain, petani hutan untuk menghasilkan madu hutan. Hasil madunya untuk masyarakat,” tambahnya. (Krf7)

  • Bagikan