KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) mengeluarkan edaran tentang penggunaan uang persediaan (UP) untuk kebutuhan organisasi perangkat daerah (OPD) pada Januari 2023 yang hanya dapat dipertanggungjawabkan seperti belanja listrik, belanja air, belanja telepon, dan internet. Edaran ini demi pertimbangan keuangan daerah, bertumpu pada pendapatan asli daerah (PAD) untuk mencapai target dan ketersediaan dana demi mendukung program/kegiatan pemerintah.
Di sisi lain, adanya pemotongan pembayaran gaji honorer yang hanya dibayarkan selama 11 bulan di tahun 2023 ini karena kebijakan Menpan dan RB tentang pemberhentian tenaga kontrak daerah pada November 2023.
Hal ini tentu menambah spekulasi adanya dugaan krisis ekonomi yang sedang menghantui Pemprov NTT. Namun, Kepala Badan Keuangan Daerah, Zakarias Moruk menepis hal itu. Ia menjelaskan, posisi kas daerah saat ini sebesar Rp130 miliar lebih di luar DAU bulan Februari 2023. Sehingga, untuk surat edaran tersebut, hanya merupakan bentuk penyesuaian dari Pemprov terhadap Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 211 dan 212 tentang Penjabaran DAU yang Ditentukan.
Sebagai bendahara umum daerah yang mengelola kas, Zaka Morus menjelaskan, terdapat tiga skema pengelolaan kas daerah yaitu, uang persediaan (UP), ganti uang (GU), dan tambah uang (TU). Sebelumnya, APBD ditetapkan pada Desember 2022, namun muncullah Permenkeu Nomor 211 dan 212 tersebut, maka DAU yang bersifat specific grant, ditentukan untuk empat bidang.
Sebagaimana diketahui, specific grant adalah bantuan spesifik yang dirancang oleh pemerintah pusat (pemberi) untuk membiayai bidang tertentu yang menjadi prioritas namun bidangnya telah menjadi kewenangan daerah otonom. “DAU yang ditentukan ada untuk PUPR, Pendidikan, PPPK, dan Kesehatan,” jelas Zaka Morus kepada TIMEX di Kupang, Selasa (31/1).
Maka dari itu, lanjutnya, Pemprov NTT diharuskan melakukan penyesuaian kembali DPA yang sudah diterima agar tidak terjadi pengeluaran di luar DPA. Untuk itulah, Pemprov NTT mengeluarkan UP yang terdiri dari empat item belanja, yakni air, listrik, telepon, dan internet.
Disisi lain, tambah Zaka Moruk, apabila ada belanja-belanja seperti ATK, pasti akan diganti.
Mengenai gaji honorer, Zaka Moruk menjelaskan, Pemprov NTT tetap menganggarkan untuk tetap dibayar satu tahun utuh atau 12 bulan. Namun, ketika bertemu dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Zaka menyoroti adanya revisi UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Ia mengatakan, ada surat edaran Menpan bahwa tenaga kontrak hanya dibayar sampai November atau 11 bulan.
Hal itu jelas ditolak oleh Zaka Moruk sebab gaji tenaga kontrak dibayarkan lewat PAD dan bukan diambil dari DAU. Untuk itu, ia menegaskan kepala daerah memiliki kewenangan untuk membayar gaji kontrak dari PAD.
“Kami harap secepatnya ada UU yang disahkan agar tenaga kontrak kita tidak dirumahkan. Makanya, kenapa kepala daerah tidak diberi wewenang untuk mengangkat PNS atau PPPK, tapi hanya diberikan kewenangan untuk memberhentikan ASN saja. Itu harusnya di pusat juga fair,” katanya.
Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt.) Sekda NTT, Johanna Lisapaly mengatakan, apa yang dilakukan Pemprov bukan berarti NTT kolaps. Tetapi, karena ketergantungan fiskal yang tinggi ke pusat. Maka itu, pemerintah menata diawal, sebab ada arahan dari pusat terhadap DAU, maka dari itu, pemerintah menjabarkan dengan berkoordinasi dan kolaborasi antar perangkat daerah, sehingga dana yang sudah diarahkan tetap sesuai dari jumlah APBD yang ada.
“Maka dari itu, harus punya dampak yang maksimal. Sehingga bukan sekadar untuk pemenuhan SPM, tapi juga bisa mengembangkan produksi lewat itu. Karena itu, bagaimana kita mendesain kegiatan untuk kepentingan pengembangan produksi. Kalau ada hal penting maka langsung di acc, tetapi kalau tidak terlalu, maka tunggu karena kami bisa sinergikan dan mendesain ulang untuk dana itu,” jelasnya.
Yohana melanjutkan, belanja rutin tidak bisa ditunda seperti air, listrik, telepon, dan internet. Sementara belanja operasional seperti ATK dapat menyatu dengan program kegiatan.
Disisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPRD NTT, Leonardus Lelo mengatakan, surplus merupakan hal baik, namun belum diketahui pasti besaran PAD. Sebab, surplus sangat tergantung pada penerimaan daerah. Sehingga, apabila berbicara surplus maka ada harapan realisasi PAD yang lancar dari target yang ditetapkan sehingga mampu mencukupi kebutuhan. Bahkan apabila surplus pun, harus diarahkan ke kebutuhan yang menyentuh rakyat.
“Di APBD Perubahan nanti baru tahu realisasinya berapa, itu baru di Perda APBDnya, realisasinya belum tahu,” ucapnya.
Sementara dalam DAU sendiri, Leonardus menegaskan, pemerintah pusat yang membuat kebijakan belanja mandatory, padahal harusnya DAU merupakan domain daerah. “Pempus ini tidak memberikan otoritas kepada daerah. DAU belanja sesuai keinginan mereka (pempus). Kebijakan pempus tidak realistis juga. Belanja daerah juga jangan dari pempus atur soal belanja mandatory. Itu kan kacau,” kata Leonardus yang berharap pemerintah agar serius meningkatkan pendapatan daerah. (Cr1)