NIK Jadi NPWP Wujud Reformasi Perpajakan

  • Bagikan
Samsul Hidayatullah Fungsional Asisten Penyuluh Pajak, KPP Atambua. (FOTO: ISTIMEWA)

Oleh: Samsul Hidayatullah *)

Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan isu bahwa setiap warga negara akan membayar pajak akibat pemberlakuan ketentuan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Lantas apakah benar?

Pada tahun 2021, Pemerintah menetapkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur NPWP bagi orang pribadi menggunakan NIK. Ketentuan ini merupakan bagian dari kebijakan agar tercipta data tunggal antara kependudukan dengan perpajakan individu (single identification number).

Kemudian Kementerian Keuangan mengeluarkan petunjuk teknis melalui PMK Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah. Maka, terhitung 14 Juli 2022, wajib pajak orang pribadi menggunakan NIK sebagai NPWP. Sedangkan wajib pajak orang pribadi bukan penduduk, wajib pajak badan, dan wajib pajak instansi Pemerintah menggunakan NPWP dengan format 16 digit.

Penerapan kebijakan tersebut tentunya memiliki tujuan tertentu. Tujuan pertama, untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam penggunaan NPWP. Mengingat banyaknya nomor identitas yang harus dimiliki masyarakat dalam berbagai keperluan administrasi, Integrasi NIK dan NPWP merupakan langkah awal yang baik. Masyarakat tidak perlu membawa Kartu NPWP dan cukup membawa KTP saja.

Kedua, untuk memberikan kesetaraan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. NIK menjadi NPWP, tidak berarti bahwa seluruh masyarakat Indonesia membayar pajak, namun perubahan ini untuk memudahkan segala urusan administrasi perpajakan bagi wajib pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia yang menggunakan NIK sebagai NPWP.

Ketiga, untuk mendukung kebijakan satu data Indonesia dengan mengatur pencantuman nomor identitas tunggal yang terstandardisasi dan terintegrasi dalam pelayanan administrasi perpajakan. Sudah banyak negara yang menerapkan single identification number. Seperti Amerika Serikat menerapkan Social Security Number (SSN).

Dilansir quora.com, SSN (Social Security Number) nomor identitas yang diberikan kepada setiap penduduk Amerika yang legal dimana SSN akan mencatat semua data, terutama berapa lama bekerja, berapa banyak pajak yang dibayar termasuk yang dibayarkan untuk dana pensiun, kontribusi untuk Medicare, dll.

Ketika pensiun maka mereka akan mendapatkan pensiun bulanan dari Social Security Administration, termasuk asuransi kesehatan Medicare yang berlaku untuk semua pembayar pajak, yang pegawai negeri, pegawai swasta maupun yang berwiraswasta.

Tujuan diberlakukan NIK menjadi NPWP sudah jelas. Namun dengan penerapan NIK menjadi NPWP, apakah DJP sudah siap menyambut era baru tersebut? Selama ini pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui NPWP yang sudah terdaftar. Namun masih banyak wajib pajak yang luput dalam pengawasan.

Banyak wajib pajak tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak padahal penghasilannya sudah di atas ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga potensi pajak hilang begitu saja.

Pada dasarnya, penerapan NIK menjadi NPWP tidak serta merta semua warga negara membayar pajak. Hal tersebut sudah diamanatkan menurut Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.”

Selain itu, faktor lainnya adalah banyaknya wajib pajak yang terdaftar tidak sebanding dengan petugas yang melakukan pengawasan. Satu orang petugas pajak bisa mengawasi sampai seribu wajib pajak atau lebih. Begitu sulit petugas pajak mencari, merekam, dan menghitung potensi pajak yang ada.

Ketentuan NIK menjadi NPWP tentu saja akan mempermudah petugas pajak dalam penggalian potensi pajak. Namun bukan berarti tidak mempunyai tantangan baru. Akan ada banyak sekali transaksi yang terekam oleh sistem dan menjadi data DJP dalam pengawasan. DJP harusnya sudah menyiapkan sistem baru dalam penerapan ketentuan NIK menjadi NPWP.

Setiap wajib pajak yang mempunyai penghasilan di atas ketentuan akan terekam dalam pengawasan DJP. Jika data tersebut dikelola dengan baik, potensi besar bagi DJP dalam menghimpun penerimaan negara. Pengadministrasian transaksi akan terekam dengan Lebih baik dan lebih detil lagi. Tetapi sangat disayangkan jika data yang sudah ada tidak dapat diolah dengan baik, data yang begitu besar tersebut hanya akan menjadi data mentah saja.

Penerapan kebijakan yang memudahkan, harus dibarengi dengan pengawasan yang lebih efektif. Mempermudah administrasi berarti juga memperkuat proses pengelolaan data administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan menjadi kunci dalam kesuksesan pengawasan perpajakan. Salah satunya adalah digitalisasi proses bisnis.

Semenjak Covid-19 melanda, DJP melakukan digitalisasi proses bisnis administrasi perpajakan. Berbagai macam bentuk urusan administrasi perpajakan dapat dilayani tanpa tatap muka. Konsep Click (situs web), Call (telepon: Kring Pajak 1500200), and Counter (loket) diusung DJP sebagai strategi dalam mencapai penerimaan pajak.

Digitalisasi proses bisnis tentu sangat mempermudah wajib pajak. Dengan kemudahan tersebut, tentu saja sangat berpengaruh pada peningkatan rasio pajak (Tax Ratio). Semakin tinggi rasio pajak, semakin bagus dan andal penerimaan negara yang dicapai.

Meningkatnya tax ratio dari tahun ke tahun menandakan hal yang positif. Dilansir dari pajak.go.id, Rasio Pajak adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio ini merupakan alat ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak suatu negara. Tahun 2020, tax ratio pada level 8,33 persen dari PDB. Pada tahun 2021 meningkat menjadi 9,11 persen. Sedangkan pada tahun 2022 meningkat tajam pada level 10,4 persen dari PDB.

Indonesia menempati urutan kedua dari bawah tingkat rasio pajak di negara-negara ASEAN. Dilansir dari data Bank Dunia, Kamboja menjadi negara dengan rasio pajak tertinggi di kawasan, yakni 17,89 persen pada tahun 2020.

Rasio pajak di Vietnam dan Thailand masing-masing sebesar 16,9 persen dan 14,48 persen pada tahun yang sama. Lalu, Filipina memiliki rasio pajak sebesar 14,1 persen. Di Singapura, rasio pajak tercatat sebesar 12,89 persen. Posisinya diikuti oleh Laos dan Malaysia yang memiliki rasio pajak berturut-turut sebesar 11,4 persen dan 10,9 persen.

Dikutip dari bisnis.com, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan rasio pajak Indonesia cenderung rendah dan menurun diakibatkan oleh policy gap dan compliance gap. Policy gap ini timbul karena berkurangnya penerimaan pajak akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum, seperti insentif.

Sementara compliance gap terjadi karena adanya keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak dan kapasitas pengawasan. Hal ini disebabkan karena faktor sistem administrasi yang berlaku di otoritas pajak.

Tax ratio memang bukan satu-satunya tolok ukur dalam mengukur kinerja penerimaan pajak. Ada banyak metode dalam mengukur efektivitas kinerja penerimaan pajak. Namun tax ratio dianggap sudah memberikan gambaran umum atas kondisi perpajakan dalam suatu negara.

NIK menjadi NPWP merupakan salah satu bagian dari reformasi perpajakan. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tax ratio dengan adanya kemudahan administrasi perpajakan. Kemudahan tersebut akan sangat membantu wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya. Selain itu juga akan membantu petugas dalam melakukan pengawasan yang efektif dan efisien melalui data yang sangat besar dan kompleks.

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP, Neilmadrin Noor, sampai dengan 15 November 2022 sudah ada 52,9 NIK yang sudah terintegrasi dengan NPWP. Jumlah tersebut memang belum mencapai seluruh wajib pajak orang pribadi yang terdaftar. Seluruh NIK wajib pajak harus sudah terintegrasi sebelum 31 Desember 2023.

Mulai 1 Januari 2024 NIK akan menjadi satu-satunya sarana bagi wajib pajak orang pribadi dalam keperluan administrasi perpajakan. Dengan berlakunya NIK menjadi NPWP, wajib pajak orang pribadi tidak lagi diberikan NPWP, melainkan hanya perlu melakukan validasi NIK.

NIK yang sudah divalidasi akan langsung dapat digunakan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak yang sudah memiliki penghasilan di atas PTKP dapat langsung menggunakan NIK dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Ketentuan tersebut menjadi tantangan baru bagi DJP dalam pengintegrasian data dan penggalian potensi yang lebih dalam lagi.

Malasah lain yang dihadapi yakni ketakutan masyarakat atas perubahan kebijakan pengenaan pajak. Timbulnya ketakutan di masyarakat disebabkan oleh informasi yang tidak tersampaikan dengan sepenuhnya.

Masyarakat tidak perlu takut dengan perubahan kebijakan administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan ditujukan adalah untuk memudahkan wajib pajak dalam mengurus administrasi perpajakan. Hanya wajib pajak yang sudah memenuhi ketentuan yang akan diberlakukan pengenaan pajak.

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Kekuatan terbesar dari suatu negara dilihat dari penerimaan pajak. Negara besar akan sangat mengoptimalkan penggunaan uang pajak dalam membiayai setiap aspek, terutama dalam kesejahteraan masyarakatnya. Peran dari setiap pihak sangat penting untuk tercapai reformasi perpajakan yang optimal. (*)

*) Fungsional Asisten Penyuluh Pajak, KPP Atambua

  • Bagikan