DPRD NTT dan Komnas HAM Satu Komitmen, Berantas TPPO dari Hulu

  • Bagikan
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Komnas HAM, Anis Hidayah menyerahkan cenderamata kepada Ketua DPRD NTT, Emelia Julia Nomleni usai pertemuan di Komisi V DPRD NTT, Senin (22/5). Tampak Ketua Komisi V DPRD NTT, Yunus Takandewa dan anggota bersama jajaran Komnas HAM RI. (FOTO: RESTI SELI/TIMEX)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengunjungi Komisi V DPRD NTT untuk membahas beberapa aspek pokok terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan status NTT Darurat Human Trafficking dan Pemberdayaan Disabilitas. Hadir dalam pertemuan bersama Komisi V itu Ketua DPRD NTT, Ir. Emelia J. Nomleni dan sejumlah pengurus lainnya.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah mengatakan, TPPO yang terjadi di NTT sangat luar biasa. Hal itu dibuktikan dengan 56 jenazah migran asal NTT yang dipulangkan dalam tahun ini.

"TPPO di NTT luar biasa, selama ini mungkin telah terjadi puluhan ribu kasus, tapi yang terungkap tidak sampai 20 persen dan pelaku yang dijerat hanya pelaku lapangan," ungkap Anis, di Kupang, Senin (22/5).

Menurutnya, sumbangan pekerja migran remitensi NTT sebesar Rp 1,2 triliun. Sehingga, menjadi ironi apabila semakin banyak korban TPPO yang bermunculan. "Mafia atau aktornya siapa? Tapi yang dihukum hanya calo-calo saja," tegasnya.

Anis mengatakan bahwa upaya yang dilakukan untuk mencegah TPPO hanya terkesan di hilir. Seharusnya bisa membangun tata kelola migrasi yang baik, sehingga orang yang berangkat ke luar negeri bisa merasa aman. Apalagi, banyak korban yang berasa dari desa maupun kabupaten terpencil.

"Ini bagaimana desa didorong agar diberdayakan secara optimal mengedukasi warga. Minimal, desa memiliki data warga yang berada di luar negeri," ungkapnya.

Dalam pertemuan tersebut, Ketua Komisi V DPRD NTT, Yunus Takandewa menyampaikan bahwa lembaga legislatif itu juga berkomitmen terhadap upaya pemberantasan TPPO. Caranya adalah dengan melahirkan Perda Prakarsa DPRD NTT No. 7 tahun 2016 tentang Pelayanan dan Pengawasan Tenaga Kerja Indonesia.

Menurut Yunus, hal ini merupakan produk hukum daerah yang mengatur tentang tata laksana ketenagakerjaan di NTT. "Dari Perda Prakarsa ini telah dibentuk Layanan Terpadu Satu Atap dalam hal pengurusan dokumen calon tenaga kerja," tutur Yunus.

Selain itu, lanjut Yunus, dewan juga melahirkan Perda Prakarsa DPRD NTT No. 6 Tahun 2022 tentang Pemberdayaan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Perda ini berguna dalam rangka menjamin persamaan hak penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan.

Serta, beberapa komitmen lainnya seperti memperkuat peranan satgas Human Trafficking, Mendorong digitalisasi layanan tenaga kerja, mendukung penegakkan hukum termasuk penindakan dan pembubaran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Bodong yang melakukan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

"Mendukung proses hukum penindakan praktek calo dalam rekruitmen Calon Tenaga Kerja Indonesia," lanjutnya.

Selain itu, juga turut membangun komitmen dari hulu, yakni mendukung penanganan tenaga kerja mulai dari tingkat desa sebagai wilayah pemerintahan dan administrasi dalam rangka menjamin migrasi tenaga kerja yang legal.

Sementara itu, Kepala Ombudsman RI, Darius Beda Daton dalam rilisnya beberapa waktu lalu memaparkan, berdasarkan data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) di NTT, menunjukkan pada 2022 terdapat 106 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT pulang dalam peti mati sebagai jenazah dengan berbagai sebab.

"Dengan jumlah itu, NTT setidaknya menerima satu kiriman jenazah PMI setiap empat hari. Dari jumlah itu, hanya satu yang berangkat sesuai prosedur, sedangkan sisanya ilegal. 104 orang di antaranya bekerja di Malaysia, satu orang di Singapura, dan sisanya bekerja di Gabon, Afrika," ungkap Darius.

Dia merincikan, pada 2021, ada 121 PMI pulang sebagai jenazah, sementara pada 2020 ada 87 orang, 2019 ada 119 orang dan 2018 ada 105 orang. Dalam 5 tahun terakhir, sedikitnya 657 PMI asal NTT pulang dalam peti mati dan semuanya berasal dari negara ASEAN.

"Jumlah ini belum termasuk mereka yang dimakamkan di negara perantauan. Angka ini menempatkan NTT di peringkat lima provinsi terbesar yang menyumbang jumlah PMI dari sejumlah sektor yang meninggal dunia, menurut data BP3MI. Bayangkan, lebih dari 85 % korban perdagangan orang dipergadangkan dalam kawasan ASEAN," jelasnya.

Menjaga pintu-pintu keluar NTT, kata dia, bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, NTT memiliki 22 kabupaten/kota, 3.026 desa, 15 bandara dan 8 pelabuhan laut. Sehingga, membutuhkan energi dan biaya yang sangat banyak untuk menjaga semua pintu keluar.

"Sebagai orang yang sehari-hari bekerja pada lembaga pengawas pelayanan publik yang antara lain dibentuk oleh negara untuk tujuan meningkatkan mutu pelayanan pemerintah, saya merasa perlu dan berkewajiban memberi masukan kepada pemerintah, utamanya terkait jaminan pemenuhan hak pekerja migran dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja guna memberikan pelindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan," jelasnya.

Darius mengatakan, harus dibekali dengan perlindungan teknis, sambungnya, berupa peningkatan kualitas Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan kerja dan pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Beberapa saran dimaksud antara lain, optimalisasi kantor Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) Perlindungan dan pelayanan pekerja migran NTT yang saat ini telah terbentuk di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota," ungkapnya.

Saat ini, lanjutnya, LTSA baru ada di Maumere, Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Tambolaka. Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) ini dibentuk guna memberi kepastian dan kemudahan dalam pelayanan ketenagakerjaan, terutama pelayanan pekerja migran NTT ke luar negeri.

"LTSA melayani urusan TKI secara terpadu dari Kemenaker, Dinas Kesehatan Dukcapil meliputi berbagai pengurusan izin seperti yang berkaitan dengan KTP, Ditjen Imigrasi, Kepolisian, BNP3TKI, BPJS Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja," sebutnya.

Dia menjelaskan, LTSA adalah bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja migran secara optimal. Keberadaan LTSA akan membuat pelayanan pengurusan dokumen pekerja migran menjadi murah, mudah, cepat, dan mencegah adanya pekerja migran yang unprosedural, illegal, dan trafficking.

"Pembentukan LTSA adalah amanat Undang-undang (UU) nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PMI) yang merupakan revisi terhadap UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia," beber Darius.

Selain optimalisasi kantor LTSA, kata dia, juga memaksa seluruh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia untuk membuka atau bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK LN) yang berada di di NTT untuk melakukan pendidikan dan pelatihan calon pekerja migran.

"Bagi yang menolak, ijin usahanya bisa dicabut karena kewenangan memberi ijin kantor cabang perusahaan penempatan pekerja migran ada pada gubernur. Hal ini penting guna memudahkan pengawasan selama pendidikan dan pelatihan berlangsung," ujarnya.

Darius menambahkan, Saat ini, NTT baru memiliki beberapa Balai Latihan Kerja (BLK) swasta dan pemerintah yang siap menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi calon pekerja migran NTT yang ingin ke luar negeri namun masih terpusat di Kupang dan belum menyebar ke pulau lain yang menjadi kantong tenaga kerja.

"BLK yang ada perlu dimonitor lagi agar benar-benar memenuhi syarat sebagai BLK sebagaimana diatur Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: 8 Tahun 2017 tentang Standar Balai Latihan Kerja," tutupnya. (Cr1)

  • Bagikan