Model Kepemimpinan “Bangsat” Dalam Peningkatan Indikator Kinerja Organisasi

  • Bagikan
Dr. Ridolof Wenand Batilmurik (FOTO: ISTIMEWA)

Oleh: Dr. Ridolof Wenand Batilmurik *)

Kinerja organisasi merupakan indikator utama keberhasilan dalam mencapai tujuan dan visinya. Salah satu faktor yang berperan signifikan dalam peningkatan kinerja organisasi adalah model kepemimpinan yang diterapkan. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya mengarahkan dan memotivasi karyawan, tetapi juga membentuk budaya kerja yang produktif (Shin, Mollah, & Choi, 2023) dan inovatif(Bracht et al., 2023).

Dalam dunia bisnis yang dinamis dan kompetitif, kinerja organisasi sangat bergantung pada kemampuan pemimpin untuk mengarahkan dan menginspirasi tim mereka. Berbagai model kepemimpinan yang telah dikembangkan sepanjang sejarah memberikan kerangka kerja yang berbeda untuk memandu perilaku dan strategi kepemimpinan. Dari kepemimpinan otokratis yang menekankan kontrol penuh hingga kepemimpinan pelayan yang berfokus pada kesejahteraan tim, setiap model memiliki kelebihan dan konteks di mana mereka paling efektif.

Dalam konteks peningkatan kinerja organisasi, pemimpin dapat memilihi sejumlah model-model kepemimpinan yang ada, misalnya: Kepemimpinan Otokratis (F. W. Taylor (1990-an); Kepemimpinan demokratis (Kurt Lewinn (1930-an); Kepemimpinan Laissez-Faire (Kurt Lewin (1930-an); kepemimpinan transaksional (Max Weber dan dikembangkan oleh Bernard M. Bass (1920-an; 1980-an); Kepemimpna transformasional (James MacGregor Burn (1978) dan dikembangkan oleh Bernard M. Bass (1985); kepemimpinan karismatik (Max Weber (1920-an); Kepemimpinan pelayan (Ronert K. Greenleaf (1970-an); Kepemimpinan situasional (Paul Hersey dan Ken Blanchard (1969); Kepemimpinan Visioner Arren Bennis dan Burt Nanus (1985); Kepemimpinan Otenttik (Biil George; 2003) dan Pertukaran Pemimpin dan Anggota/Leader-Member Ex-change ( Green dan Cashman; 1975).

Tidak ada satu model kepemimpinan yang secara universal cocok untuk semua situasi. Oleh karena itu, pemimpin yang bijaksana tidak hanya memilih satu model kepemimpinan, tetapi juga memiliki fleksibilitas untuk mengombinasikan berbagai gaya kepemimpinan sesuai dengan kebutuhan situasional. Misalnya, dalam situasi krisis, gaya kepemimpinan otokratis mungkin diperlukan untuk pengambilan keputusan yang cepat dan tegas. Namun, dalam situasi pengembangan tim atau inovasi, kepemimpinan transformasional dan demokratis mungkin lebih efektif untuk memotivasi dan melibatkan anggota tim.

Pemimpin yang mampu mengombinasikan gaya-gaya kepemimpinan ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang adaptif dan responsif terhadap perubahan. Dengan memadukan kepemimpinan transaksional untuk memastikan efisiensi operasional dan kepatuhan, serta kepemimpinan visioner untuk memberikan arah strategis yang jelas, pemimpin dapat menyeimbangkan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang organisasi.

Studi yang dilakukan oleh (Nurtjahjani, Batilmurik, Puspita, & Fanggidae, 2022) menyarankan bahwa kinerja organisasi khususnya Perguruan Tinggi (PT) dapat memilih model kepemimpinan transformasional seperti yang diungkapkan oleh (Avolio dan Bass; 1985) yang mencirikan ; 1) pemimpin berkharisma atau memoliki pengaruh yang ideal; 2) pemimpin yang menginspirasi; 3) pemimpin yang memberikan rangsangan intelektual dan, 4) pemimpin yang memberikan perhatian pada individu.

 Lebih lanjut, studi tersebut merekomendasikan bahwa tidak saja dibutuhkan model kepemimpinan transformasional, namun penting bagi pemimpin untuk MELIBATKAN ANGGOTAnya dalam kerja-kerja organisasi (work enggament) seperti yang diungkapkan oleh (Decuypere & Schaufeli, 2020) dan (Nurtjahjani et al., 2022) dimana keterlibatan kerja dari setiap anggota organisasi dimaksudkan sebagai upaya peningkatan kinerja organisasi dengan mencirikan; 1) semangat (vigor); 2) dedikasi (dedication); 3) penghayatan (absorption) seperti yang diungkapkan oleh (Schaufeli & Bakker, 2010).

Dalam konteks peningkatan kinerja organisasi,  pemilihan model kepemimpinan dan keterlibatan kerja menjadi hubungan kausalitas yang harus berjalan bersama. Dari sejumlah model kepemimpinan yang disebutkan diatas, penulis menawarkan sebuah Model Kepemimpinan dengan paradigma baru bagi organisasi yang diperhadapkan dengan dunia bisnis yang dinamis dan kompetitif (perguruan tinggi). Model Kepemimpinan ini disebut : “Model Kepemimpinan Bangsat”.

Mendengar dan membaca kata “bangsat” sepertinya kita berpikir bahwa kata tersebut digunakan dengan konotasi negatif dan kasar. Secara etimologis, kata ini sebenarnya merujuk pada kutu busuk (Cimex lectularius), yang merupakan serangga pengganggu yang biasanya hidup di kasur dan perabotan rumah tangga, menyebabkan gatal dan iritasi pada kulit manusia. Namun, dalam penggunaannya sehari-hari, terutama dalam konteks percakapan informal atau ketika seseorang merasa marah atau frustrasi, kata "bangsat" sering digunakan sebagai makian atau kata ejekan yang keras. Ketika digunakan untuk merujuk kepada seseorang, kata ini membawa makna yang sangat negatif, mencerminkan rasa kebencian, penghinaan, atau kemarahan terhadap orang tersebut. Contoh penggunaan dalam kalimat negatif adalah "Dia memang bangsat," yang berarti orang tersebut dianggap sangat buruk atau jahat.

Penggunaan kata "bangsat" dalam konteks ini sangat tidak disarankan dalam komunikasi yang sopan dan profesional karena dapat menyinggung dan merendahkan martabat orang lain. Kata ini termasuk dalam kategori bahasa kasar dan tidak pantas, sehingga penggunaannya sebaiknya dihindari dalam situasi formal atau ketika berinteraksi dengan orang lain dalam konteks yang penuh hormat.

Bertolak pada kata bangsat tersebut, penulis mengajak kita semua untuk berpikir kearah positif dan jernih dalam konteks peningkatan kinerja organisasi untuk menghadapi persaingan global yang hendaknya dimiliki oleh setiap pemimpin. Kata Bangsat adalah AKRONIM dari beberapa ciri yang dimiliki pemimpin, diantaranya:

  1. B : Bersikap Berani (Courageous) : Kepemimpinan global saat ini membutuhkan keberanian untuk mengambil keputusan sulit dan menghadapi tantangan yang kompleks, (Anisman-Razin & Sitkin).
  2. A : Adaptif (Adaptive) : Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan situasi yang cepat berubah merupakan ciri penting dari seorang pemimpin global yang efektif, (Kamasak & Alkan, 2024).
  3. N : Niat (Intent) : Pemimpin global harus memiliki niat yang jelas dan positif dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya,
  4. G : Guiding : Pemimpin global diharapkan mampu membimbing anggotanya, (Osman, 2020).
  5. S : Strategis (Strategic) :  Kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara strategis sangat penting bagi pemimpin global untuk mencapai tujuan jangka panjang, (Geier, 2024).
  6. A : Agile (Gerak Cepat) : Selain adaptif dalam berpikir, pemimpin global juga harus memiliki kemampuan untuk bergerak cepat dan responsif terhadap perubahan, (Christofi, Chourides, & Papageorgiou, 2024).
  7. T : Team Work : Kepemimpinan global saat ini menekankan pentingnya bekerja sama dengan orang lain dan menjadi bagian dari tim yang solid, (Wullschleger, Vörös, Rechsteiner, Rickenbacher, & Merki, 2023).

Dengan mengadopsi dan mengintegrasikan nilai-nilai positif yang diwakili oleh akronim “BANGSAT” ini, pemimpin dapat mengembangkan gaya kepemimpinan yang efektif dan relevan di era globalisasi.

Akronim ini memberikan kerangka kerja yang mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga tentang sikap dan nilai yang membawa dampak positif bagi tim dan organisasi. Semoga tulisan ini dapat menggugah kita semua pada setiap tingkatan/level jabatan yang dipercayakan kepada kita (pemimpin), agar dapat membawa peningkatan kinerja bagi organisasi. (*)

Pustaka

Anisman-Razin, M., & Sitkin, S. The Courage to Lead: Increasing Positive Leadership by Developing Courage.

Bracht, E. M., Monzani, L., Boer, D., Haslam, S. A., Kerschreiter, R., Lemoine, J. E., . . . Barghi, B. (2023). Innovation across cultures: Connecting leadership, identification, and creative behavior in organizations. Applied psychology, 72(1), 348-388.

Christofi, K., Chourides, P., & Papageorgiou, G. (2024). Cultivating strategic agility–An empirical investigation into best practice. Global Business and Organizational Excellence, 43(3), 89-105.

Decuypere, A., & Schaufeli, W. (2020). Leadership and work engagement: Exploring explanatory mechanisms. German Journal of Human Resource Management, 34(1), 69-95.

Geier, M. T. (2024). Strategic thinking: theoretical development and assessment. Journal of Strategy and Management, 17(1), 1-21.

Kamasak, R., & Alkan, D. P. (2024). The More Supportive, the Better, the More Adaptive, the Best: Leadership Support, Strategic Flexibility and Green Management Practice Adoption in SMEs Transition to the Circular Economy Model: The Case of Turkey (pp. 95-104): Springer.

Nurtjahjani, F., Batilmurik, R. W., Puspita, A. F., & Fanggidae, J. P. (2022). The relationship between transformational leadership and work engagement. Moderated mediation roles of psychological ownership and belief in just world. Organization Management Journal, 19(2), 47-59.

Osman, A. S. (2020). Leading for Excellence. Brandman University.  

Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2010). Defining and measuring work engagement: Bringing clarity to the concept. Work engagement: A handbook of essential theory and research, 12, 10-24.

Shin, J., Mollah, M. A., & Choi, J. (2023). Sustainability and organizational performance in South Korea: The effect of digital leadership on digital culture and employees’ digital capabilities. Sustainability, 15(3), 2027.

Wullschleger, A., Vörös, A., Rechsteiner, B., Rickenbacher, A., & Merki, K. M. (2023). Improving teaching, teamwork, and school organization: Collaboration networks in school teams. Teaching and Teacher Education, 121, 103909.

*) Dosen dan Peneliti pada Jurusan Administrasi Bisnis Politeknik Negeri Kupang  

  • Bagikan