Gandeng Yayasan SHEEP Indonesia Gelar Festival Lingkungan Hidup 2024
KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT bekerja sama dengan Yayasan SHEEP Indonesia menyelenggarakan Festival Lingkungan Hidup 2024.
Acara yang bertajuk 'Kembali ke Alam' ini berlangsung, Sabtu (15/6) di Kantor WALHI NTT. Tema yang diusung adalah 'Melindungi, Memperkuat, Memperluas Wilayah Kelola Rakyat dan Mencegah Pemburukan Krisis Ekologi di Nusa Tenggara Timur'.
Deputi WALHI NTT, Yuvensius Stefanus Nonga dalam sambutannya menyatakan bahwa NTT sedang menghadapi ancaman krisis iklim yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Ia mengatakan bahwa perubahan iklim menyulitkan masyarakat lokal dalam membaca tanda-tanda alam, seperti prediksi musim hujan dan musim kemarau.
"Kebijakan pembangunan yang sering kali tidak memperhitungkan aspek lingkungan membuat kelompok rentan, terutama masyarakat NTT, sulit mengantisipasi situasi krisis iklim," ujarnya.
Festival Lingkungan Hidup 2024 ini jugs memiliki tiga rangkaian kegiatan utama. Pertama adalah pameran produk lokal yang menampilkan kekayaan budaya dan ekonomi NTT. Kedua, festival ini juga mengadakan diskusi tentang tiga isu penting: energi, kemandirian pangan, dan tata kelola sampah.
"Pameran ini menampilkan berbagai produk lokal sebagai bagian dari kekayaan Indonesia Tenggara Timur," jelas Yuvensius.
Yuvensius juga menyoroti masalah pengelolaan sampah di NTT yang masih menggunakan metode lama. Ia menambahkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menjalankan mandat undang-undang tersebut, meskipun sudah belasan tahun sejak disahkan.
"Meskipun sudah ada Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan transisi ke pola sanitari landfill, banyak daerah di NTT masih menggunakan metode kumpul, angkut, buang," katanya.
Temuan WALHI di Kota Kupang menunjukkan bahwa fasilitas pengelolaan sampah sangat tidak memadai. WALHI saat ini dalam proses notifikasi gugatan untuk mendorong kebijakan pengelolaan sampah yang lebih baik.
"Kupang masih berkutat dengan pola lama. Sementara fasilitas sanitari landfill sangat minim. Sehingga, kami mendorong transisi ke pola sanitari landfill, tetapi dengan anggaran yang sangat kecil, upaya ini tidak cukup," tegasnya.
Selain isu sampah, transisi energi juga menjadi perhatian utama. Di wilayah Flores, ada kebijakan penetapan Pulau Flores sebagai pulau geotermal yang berujung pada rencana pengeboran di beberapa titik. Masyarakat petani di sekitar area pengeboran sangat terdampak oleh aktivitas ini.
"Pengalaman buruk dari tiga pengeboran sebelumnya menunjukkan dampak negatif pada kualitas dan kuantitas produk pertanian," ungkap Yuvensius.
Isu privatisasi air juga muncul sebagai masalah serius dalam transisi energi. Selain itu, moratorium tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata tidak sepenuhnya efektif, dengan masih adanya pertambangan ilegal yang berlangsung.
"Kebutuhan air untuk proyek geotermal sangat besar dan membuka ruang privatisasi air di beberapa titik. Kami berharap festival ini dapat mendorong perubahan positif dalam pengelolaan lingkungan di NTT," tegas Yuvensius.
Manager Area Kupang dari Yayasan SHEEP Indonesia, Rossi Yunior Nugroho juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam mengatasi masalah lingkungan. Rossi menjelaskan bahwa dinamika politik seringkali menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan lingkungan.
"Isu yang kita bangun bersama ini bertujuan untuk melibatkan pemerintah dalam mencari solusi," katanya.
Menurut Rossi, tujuan dari kolaborasi ini adalah untuk menghasilkan rumusan kebijakan yang bisa menjadi referensi bagi pemerintah. Melalui panel-panel diskusi dan sharing session, mereka berharap dapat memberikan masukan yang konkret bagi kebijakan lingkungan.
"Kami mencoba melibatkan pemerintah supaya ada balancing antara isu yang kita angkat dengan masalah yang ada di pemerintahan," jelasnya.
Festival ini juga menyoroti pentingnya kemandirian pangan lokal yang berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa kemandirian sistem pangan lokal harus menjadi bagian dari kebijakan pemerintah.
"Program di Kabupaten Kupang yang kami jalankan selama tiga tahun ini menjadi salah satu contoh bagaimana perubahan iklim mempengaruhi pangan lokal," tambah Rossi.
Pameran 'Kembali ke Alam' menampilkan berbagai produk masyarakat lokal seperti tenunan, pangan lokal, obat-obatan tradisional, cendana, dan lensa krisis sampah. Peserta pameran ini meliputi jejaring WALHI NTT, jaringan Yayasan SHEEP Indonesia, komunitas lokal, media, dan masyarakat Kota Kupang.
"Pameran ini tidak hanya menampilkan produk, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan," kata Rossi.
Dengan rangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai pihak, Festival Lingkungan Hidup 2024 diharapkan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran dan aksi nyata dalam melindungi lingkungan di Nusa Tenggara Timur. (cr3/gat/dek)