Keadilan Restoratif sebagai Solusi Hukum Humanis,Kejati NTT Hentikan Penanganan Dua Perkara Pidana

  • Bagikan
IST EKSPOSE. Wakajati NTT, Ikhwan Nul Hakim, S.H., bersama jajaran pejabat Tipidum Kejati NTT mengikuti ekspose perkara virtual dari ruang rapat RJ Kejati NTT, Selasa (11/2).

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID– Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT kembali menunjukkan penegakkan keadilan yang lebih humanis melalui pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif (RJ). Mengawali tahun 2025, Kejati NTT resmi menghentikan penuntutan terhadap dua perkara pidana dalam wilayah hukumnya setelah melalui proses perdamaian yang melibatkan para pihak terkait, Selasa (11/2)

Penghentian penuntutan ini diputuskan dalam ekspose virtual, dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum., serta Direktur A pada Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Wakajati NTT, Ikhwan Nul Hakim, S.H., serta jajaran pejabat bidang tindak pidana umum (Tipidum) Kejati NTT dari ruang rapat RJ Kejati NTT.

Keputusan penghentian penuntutan berdasarkan prinsip keadilan restoratif ini diberikan kepada dua tersangka Yohanes Bentara Lewa alias Hans (Kejaksaan Negeri Ngada) yang dijerat pasal 351 ayat (1) KUHP terkait tindak pidana penganiayaan ringan dan Anderias Suki (Kejaksaan Negeri Rote Ndao) yang juga didakwa berdasarkan Pasal 351 ayat (1) KUHP.

Penghentian perkara ini dilakukan setelah tersangka dan korban mencapai kesepakatan damai yang melibatkan keluarga, tokoh masyarakat serta tokoh agama. Langkah ini sejalan dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, yang menekankan pendekatan keadilan berbasis pemulihan hubungan sosial.

Adapun faktor utama yang menjadi dasar penghentian perkara yakni tersangka merupakan pelaku pertama kali tanpa catatan kriminal sebelumnya, tindak pidana yang dilakukan memiliki ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun dan nilai kerugian akibat perbuatan tersangka tidak lebih dari Rp 2.500.000.

Selain itu, perdamaian para pihak telah tercapai dan kembali hidup berdampingan tanpa konflik. Masyarakat juga mendukung pendekatan ini sebagai solusi penyelesaian perkara yang lebih berkeadilan. Kasus terjadi akibat kesalahpahaman yang tidak berujung pada dampak serius bagi korban.

Wakil Kepala Kejati NTT, Ikhwan Nul Hakim, S.H., menegaskan bahwa keadilan restoratif adalah pendekatan hukum yang lebih manusiawi dan inklusif.

"Keadilan restoratif memberikan ruang bagi penyelesaian konflik yang lebih damai dan berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar penghukuman. Ini adalah langkah konkret dalam mewujudkan keadilan yang berpihak pada kepentingan semua pihak, tanpa mengabaikan hak-hak korban," jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa metode ini membantu mengurangi beban perkara di pengadilan serta mempercepat penyelesaian hukum dengan cara yang lebih efisien dan berkeadilan.

Penghentian dua perkara ini menjadi bukti nyata bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penindakan, tetapi juga sebagai sarana membangun harmoni sosial.

“Pendekatan keadilan restoratif, diharapkan sistem hukum di NTT semakin adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, menciptakan penyelesaian yang adil bagi semua pihak, serta memperkuat nilai-nilai kekeluargaan dan sosial dalam penyelesaian konflik hukum,” pungkasnya. (cr6/gat/dek)

  • Bagikan