Global Value Chain Analysis pada Industri Kecil Menengah Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur

  • Bagikan
Ronald Philips Letor, SSTP, MPA. (FOTO: ISTIMEWA)
  • Oleh: Ronald Philips Letor, SSTP, MPA *)

Kegagalan terbesar policy entrepreneurs atau para perumus/pengusaha kebijakan dalam proses kebijakan sesungguhnya adalah kurangnya keberpihakan serta keterbatasan pengetahuan akan masalah publik yang ingin diselesaikan. Salah satu pengetahuan penting bagi policy entrepreneurs dalam perumusan kebijakan pembangunan dan industrialisasi adalah analisi Global Value Chain (GVC).

Saat ini dengansemakin kompleksnya interaksi industri dalam perekonomian global di era industri 4.0, analisis GVC dibutuhkan untuk melacak pola pergeseran produksi global, tautan kegiatan dan pelaku yang tersebar secara geografis dalam satu industri, dan menentukan peran bersama yang mereka mainkan di negara maju dan berkembang (Gereffi & Stark, 2016, h.6).

GVC berperan menghubungkan perusahaan, pekerja dan konsumen di seluruh dunia dan sering menjadi batu loncatan bagi perusahaan dan pekerja di negara berkembang untuk ikut berpartisipasi dalam ekonomi global[i]. Kerangka kerja GVC berfokus pada urutan nilai tambah dalam suatu industri, dari konsepsi hingga produksi serta penggunaan akhir, dengan memeriksa deskripsi pekerjaan, teknologi, standar, peraturan, produk, proses, pasar di industri dan tempat tertentu. Berangkat dari kondisi tersebut tulisan ini mendiskusikan sejauh mana perkembangan IKM tenun ikat NTT di industri 4.0 dianalisis dari perspektif GVC.

Perkembangan IKM tenun ikat

Menenun adalah kegiatan turun-temurun kaum ibu di perdesaan NTT untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian dan keperluan adat, sebelum kemudian berkembang menjadi industri kecil menengah. Berdasarkan beberapa sumber, aktivitas menenun telah dimulai pada zaman neolitikum di beberapa tempat di Nusantara kurang lebih 3000 tahun yang lalu. Therik (1989, h.17) misalnya, mencatat aktivitas menenun dikembangkan oleh suku bangsa yang tinggal di pulau-pulau Kawasan Nusa Tenggara Timur sebagai seni kerajinan tenunan tangan milik turun temurun yang terkenal sejak zaman dahulu.

Motif dan corak tenunan NTT sendiri memiliki ciri khas dan daya tarik yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa daerah di Indonesia yang juga memiliki tradisi menenun. Ragam hias tenunan didorong oleh hasrat untuk mengabadikan corak tiap suku, daerah, pulau di NTT.

Belakangan motif dan corak tersebut ditiru bahkan dikembangkan oleh para pengusaha tenun ikat dari Jepara, Jawa Tengah dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Hal tersebut nyatanya semakin merugikan penenun di NTT yang sampai hari ini masih menemukan kesulitan dalam hal pemasaran tenunannya.

Kondisi terakhir atas inisiatif Dekranasda, pemerintah daerah di NTT berusaha untuk mematenkan corak dan motif tersebut sebagai bentuk perlindungan akan warisan budaya yang dimiliki suku-suku di NTT.

Kain tradisional NTT ditenun menggunakan benang yang dibuat dari serat alami namun saat ini sebagian besar penenun memilih menggunakan benang dari serat buatan. Benang dari serat alami masih dapat ditemui di sebagian kecil perdesaan NTT yang memiliki tradisi menenun yang kuat. Tradisi menenun dimaksud adalah kegiatan menenun yang berkaitan dengan keperluan adat dan kebutuhan rumah tangga.

Sementara benang dari serat buatan saat ini telah digunakan secara masif di seluruh pedesaan NTT untuk keperluan produksi tenun ikat karena mudah ditemui dan murah harganya. Hal tersebut sejalan dengan logika profit yang menyertai kegiatan menenun kain tradisional tersebut. Benang dari serat alami telah mengubah relasi sosial penenun yang awalnya terkategori piny capacity productionterancam berubah menjadi pekerja atau buruh pada pemilik sentra produksi tenun ikat tradisional.

Selembar kain ditenun rata–rata tiga hingga sembilan bulan, tergantung tahapan pengerjaan dan bahan yang digunakan. Cara pengerjaan yang sangat lama dan rumit tersebut, sebanding dengan harga yang ditawarkan dikisaran 300 ribu hingga 500 ribu untuk tenunan yang menggunakan benang dari serat buatan.

Sementara untuk tenunan tertentu yang menggunakan benang dari serat dan pewarna alami memiliki kisaran harga hingga jutaan rupiah. Kondisi tersebut membuat tenunan memiliki pasar yang sangat terbatas di tingkat regional maupun global jika dibandingkan dengan industri batik printing.

GVC dan Ekspansi Pasar IKM Tenun Ikat

Hasil tenunan NTT belum diserap dengan baik di pasar lokal maupun global. Sekalipun pemerintah daerah telah mewajibkan penggunaan kain tenun sebagai salah satu bahan pakaian dinas pegawai di seluruh instansi pemerintah, BUMN/BUMD dan sekolah - sekolah di NTT. Upaya tersebut belum cukup signifikan menjadikan IKM tenun ikat sebagai driver dalam perekonomian. Secara umum ada dua pola penyerapan hasil tenunan di pasar lokal. Pertama, konsumen bertemu langsung dengan pengrajin atau kelompok tenunan di desa/kelurahan dan atau pengrajin/kelompok tenunan memasarkannya sendiri ke pasar–pasar tradisional, butik dan galeri seni di kota.

Kedua, pengrajin menenun berdasarkan permintaan beberapa butik atau galeri seni di ibukota provinsi/kabupaten maupun beberapa daerah pariwisata, atau menggunakan pola jaringan koperasi tenunan yang dibentuk oleh komunitas maupun star up.

Hasil IKM tenunan umumnya bisa masuk ke pasar global melalui industri fasyen dan industri pariwisata. Belakangan banyak perancang mode terkenal nasional yang mulai melirik tenunan NTT sebagai bahan busana mode yang diperkenalkan hingga ke pentas dunia. Beberapa di antaranya yaitu butik JSL Levico yang berhasil membawa tenun NTT ke ajang New York Fashion Week, Paris Fashion Week dan London Fashion Week. Adapun koperasi kelompok tenun Indah Ndao Kreatif yang memanfaatkan digital social media, untuk menembus pasar global, bahkan komunitas ini sering diundang ke eropa dan amerika untuk berbagi teknik menenun.

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan bersama pemerintah daerah juga telah berusaha membantu hambatan di pasar tenun ikat melalui penyelenggaraan Swarna Fest dan pembinaan kelompok IKM yang dilakukan oleh Dekranas dan Dekranasda NTT bahkan melalui Pacific Exposition 2019 yang berlangsung di Selandia Baru. Hasil tenunan tersebut masuk ke industri fesyen dan ditingkatkan menjadi produk penunjang seperti, aksesoris, perhiasan, dan dekorasi rumah.

Secara khusus sentra tenun ikat Lepo Lorun menggunakan GVC governance pola relational. SementarabutikJSL Levicolebih cenderung diawal menggunakan pola captive dan sedang beralih ke pola relational. Analisis GVC seperti ini sangat dibutuhkan oleh pengusaha kebijakan untuk menghindari jebakan business as usual pada kegiatan pembinaan dan pelatihan bagi kelompok penenun dan beralih untuk lebih fokus melakukan intervensi dalam hal pemasaran ke pasar regional maupun global dengan memanfaatkan peluang perkembangan industri 4.0.

Apa yang perlu dilakukan para pengusaha kebijakan?

Berdasarkan analisis GVC, minimal ada tiga strategi yang dapat dilakukan pemerintah, pihak swasta dan civil society, sebagai mitra dan pilar utama dalam tata kelola GVC. Pertama, perlu dikembangkan budidaya tanaman kapas di seluruh desa/kelurahan yang merupakan sentra tenun ikat. Melakukan upgrading pada tahap input dan proses tanpa mengurangi nilai tradisional yang khas dalam proses menenun. Misalnya dengan memperbanyak pemberian bantuan mesin mekanis sederhana untuk mempercepat pengolahan kapas menjadi benang.

Dalam jangka panjang dapat menghadirkan investor untuk mendirikan pabrik benang dari serat alami dan pewarna buatan. Dengan demikian, minimal dapat menjawab persoalan produktivitas, standardisasi produk dari sisi bahan baku yang digunakan, mengurangi waktu dan biaya produksi tanpa mengganti alat tenunan tradisionalnya.

Kedua, pada hambatan pemasaran, para mitra yang terlibat dalam IKM tenun hingga ke industri fasyen dan industri pariwisata dapat mengembangkan berbagai pola kemitraan yang saling menguntungkan dan menguatkan. Misalnya pemerintah dapat menguatkan pola GVC governance yang sedang digunakan oleh butik JSL Levico maupun oleh komunitas sentra tenun ikat Lepo Lorun dengan memberikan kemudahan fasilitas tertentu di pasar regional maupun global. Mengingat tenun ikat telah memiliki potensi branding yang sangat kuat, pemerintah dapat mendorong kehadiran star up pada IKM tenun untuk ikut bermain di pasar nasional maupun global dengan insentif kemudahan akses pinjaman modal.

Saat yang bersamaan pemerintah daerah di NTT bersama BUMDES maupun mitra atau aktor lainnya dapat mengembangkan konsep desa wisata budaya berpadu dengan desa industri tenun ikat sebagai daya tarik unggulan daerah.

Ketiga, selain terus melakukan penguatan kapasitas para penenun dengan pemberian modal dan teknik pemasaran digital, pada kondisi “tertentu” pemerintah provinsi dapat melakukan intervensi pasar tenunan dengan membatasi barang atau pakaian dari bahan tekstil atau batik masuk ke wilayah NTT.

Kebijakan tersebut dapat dipadukan dengan menggunakan kolaborasi pentahelix, melibatkan perguruan tinggi dan sekolah kejuruan (SMK) untuk membuka jurusan tenun ikat tradisional dan atau mewajibkan tenun ikat menjadi mata pelajaran lokal di sekolah dasar dan menengah. Serta memastikan pemerintah, media dan dunia usaha melalui lembaga koperasi maupun start up mengunakan kajian dan menyerap tenaga kerja terampil yang dihasilkan demi perkembangan IKM tenunan di masa depan.

Pada akhirnya diharapkan para pengusaha kebijakan dapat menggunakan analisis Global Value Chain tata kelola IKM tenun ikat NTT sebagai pemantik pengembangan IKM tenun ikat untuk semakin kompetitif di pasar lokal regional dan global di era industri 4.0 yang sekaligus bersinergi dengan pengembangan pariwisata sebagai driver/ prime mover pembangunan ekonomi di Provinsi NTT. (*)

*)  Analis Kebijakan Ahli Muda pada Biro Organisasi Setda Provinsi NTT)

  • Bagikan