JOKOWI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

  • Bagikan
Prof. Fredrik L. Benu (IST)

“Terhimpit Diantara Prestasi”

Oleh: Fred Benu

TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Artikel ini sengaja diangkat setelah Saya merefleksi prestasi Presiden Jokowi dalam pembangunan Indonesia, khususnya pembangunan bidang Ekonomi nasionali. Bagaimana tidak, ditengah cengkraman dua resesi secara bersamaan yaitu kelangkaan energi dan pasokan pangan yang memicu kenaikan harga, Indonesia masih mencatat prestasi yang cukup mencengangkan dunia. Kita mencatat Dana Moneter Internasional meramalkan tahun 2022 ini, negara maju seperti USA akan memiliki tingkat inflasi mencapai 9.2 % dan pertumbuhan Ekonomi hanya 2.3 % (turun dari 5.1 % pada 2021). Berikut China memiliki tingkat inflasi sekitar 2.2 % dan pertumbuhan ekonomi sekitar 3.3 % (turun dari 8.1 % di 2021). Belum lagi tercatat sejumlah negara seperti Srilangka yang mengalami gejolak politik hebat akibat gagal memenuhi kewajiban hutang sehingga masuk dalam kategori negara gagal (fail state).  Ditambah lagi sedang mengantri sekitar 60 negara terancam bangkrut yang berpotensi kekacauan politik sebagaimana Srilangka. Catatan kinerja Ekonomi Indonesia yang cukup bagus pada perjalanan sepanjang 2022 ini menyebabkan banyak pengamat mengatakan bahwa perkembangan Ekonomi Indonesia saat ini telah melampaui perkembangan Ekonomi dua raksasa ekonomi dunia yaitu USA dan China.

Kelangkaan suplai energi dan pangan pada tingkat global dimulai dari invasi Rusia ke Ukraina yang menjadi trigger factor terjadinya gejolak ekonomi global dan memaksa sejumlah  pemimpin negara mengambil kebijakan yang tidak popular dengan antara lain menaikan harga bahan bakar, sehingga memicu tingkat inflasi. Demikian pula harga kebutuhan pokok pangan di sejumlah negara mengalami kenaikan yang sangat drastis. Para pemimpin negara maju melakukan lobi-lobi tingkat tinggi agar negara-negara produsen pangan dunia seperti Rusia dan Ukraina dapat melakukan export pangan di tengah ancaman embargo Amerika dan Uni Eropa. Bahkan sejumlah negara majupun melakukan lobi ke Presiden Jokowi untuk berkenan mengexpor minyak goreng Indonesia.

Di tengah fenomena krisis Ekonomi dunia yang mengancam perekonomian sejumlah negara maju sebagaimana dijelaskan di atas, Presiden Jokowi justru mampu memimpin Indonesia mencapai prestasi dalam bidang Ekonomi, dengan mencatat sejumlah keberhasilan yang diakui dunia, antara lain: tingkat inflasi mampu dipertahankan pada level di bawah 5 %, PDB Indonesia pada kwartal II 2022 mampu mencapai Rp. 2923,7 T (harga konstan) atau tumbuh sekitar 3.72 % (Q to Q). Pertumbuhan Ekonomi yang positif Indonesia ini terutama ditopang oleh peningkatan harga komuditas Indonesia. Peningkatan harga komunitas ini menyebabkan Indonesia mengalami trend positip dalam neraca perdagangan dan mencatat surplus perdagangan selama 26 bulan berturut-turut. Belum lagi besaran utang luar negeri (ULN) Indonesia yang mengalami penurunan pada Februaru 2022 setelah pada bulan sebelunya juga mengalami penurunan. Ratio hutang terhadap terhadap PDB Indonesia yang relatif stabil di kisaran 34.2 % atau jauh di bawah batas maksimum rasio hutang. Pada saat yang bersamaan Indonesia malah mendapat penghargaan dari IRRI (International Rice Research Institute) pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-77, karena berhasil mencapai status swasembada pangan nasional di tengah ancaman krisis pangan dunia. Pada saat yang sama, Pesiden Jokowi mampu mempertahankan harga BBM, walaupun dengan catatan harus melakukan subsidi Rp. 500 T lebih. Kebijakan mempertahankan harga BBM yang stabil ini diperlukan guna mencegah terjadinya gejolak ekonomi dalam negeri yang banyak mengandalkan konsumsi domestik (56 % dari PDB).  Ini adalah suatu pilihan yang sulit bagi pemerintah saat ini.  Di satu sisi besaran subsidi yang demikian besar tentunya akan sangat membebabi APBN, tapi di sisi yang lain, upaya mengurangi beban APBN dengan menarik subsidi BBM, berkosekwensi pada kenaikan harga BBM, dan tentunya berdampak pada kenaikan tingkat inflasi yang diperkirakan akan bergerak di atas 5 % bahkan bisa mencapai 7 %. Kenaikan tingkat inflasi ini tentunya akan menurunkan daya beli masyarakat yang pada gilirannya akan menekan tingkat pertumbuhan Ekonomi. Dalam mengatasi situasi yang serba sulit di tengah resesi global saat ini, ada 3 pilihan kebijakan yang dapat diambil pemerintah yaitu (i)  beralih dari kebijakan subsidi terbuka selama ini ke subsidi tertutup (siapa saja yang berhak menerima BBM bersubsidi); (ii) kebijakan mendorong pemakaian kendaraan yang selama ini menggunakan BBM ke kendaraan listrik; dan (iii) kebijakan penyesuaian harga BBM.

Keberhasilan pembangunan nasional di bawah kekemimpinan Presiden Jokowi sebagaimana yang saya sebutkan di atas, bagaimanapun akan selalu menganding trade-off antara satu atau dua indikator kinerja. Secara teori, tidak mungkin pemerintah dapat mempertahankan kinerja capaian itu secara terus menerus tanpa ada terobosan moderat untuk “bermain” diantara seluruh indikator keberhasilan yang ada dengan risiko yang paling kecil terhadap perekonomian nasional. Inilah yang saya sebutkan sebagai “terhimpit di antara keberhasilan”. Lantas indikator keberhasilan manakah yang saat ini dipandang paling moderat dan pantas untuk dikoreksi melalui kebijakan yang mungkin tidak popular?

Saya memandang bahwa sudah saatnya pemerintah meninjau kembali kebijakan subsidi BBM yang sangat besar yang sejak awal ditujukkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan tentunya pertumbuhan Ekonomi nasional. Tentunya kebijakan ini pun mengandung risiko akan meningkatnya tingkat inflasi yang diperkirakan akan mencapai 7%. Alasan dibalik saran ini tentunya karena beban APBN yang sudah terlalu tinggi dan tidak mungkin beban ini dipertahankan untuk jangka panjang.  Bahkan IMF pun sudah meminta pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM di tengah tekanan kenaikan harga BBM global. Belum lagi Menteri Sri Mulyani sudah mengatakan bahwa kuota BBM subsidi akan habis pada bulan Oktober tahun ini. Hanya saja kebijakan pengurangan subsidi BBM ini perlu benar-benar dipertimbangkan secara hati-hati sehingga tidak mengguncang pondasi Ekonomi nasional yang sudah cukup baik saat ini.

Bagi saya, pilihan yang paling moderat dalam jangka pendek diantara himpitan prestasi ekonomi nasional adalah pilihan mengurangi subsidi BBM secara terbuka. Yang dimaksud adalah kebijakan subsidi hanya diperuntukan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan UMKM. Sedangkan mereka yang berpenghasilan tinggi sudah sepantasnya tidak menikmati terus subsidi BBM yang akan selalu membebani APBN. Kepada kelompok ini dapat dikenakan kebijakan penarikan subsidi secara gradual sambil mengamati pergerakan harga dan suplai energi di tingkat global.  Bagaimanapun kebijakan ini membutuhkan isntrumen pengaturan yang menjadi tanggung jawab Pertamina.  Saya percaya, saat ini Pertamina telah memiliki instrument pengaturan dimasud yang siap diimplemntasikan. Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah sudah harus mempersiapkan program pengalihan kendaraan bermotor dari kendaraaan berbahan bakar BBM ke kendaraan listrik. S e k i a n

  • Bagikan

Exit mobile version