Membalik Arah Angin

  • Bagikan
MEDIA PEMBELAJARAN. Pelaksana Tugas Kepala Sekolah SD Masehi Kambaniru I, Kabupaten Sumba Timur, Martha Anawulang, S.Pd sedang mengajar anak-anak dengan buku bergambar. (FOTO: Bredwan Galang)

Oleh: Alexius Japa Latu

KETIKA badai Siklon Seroja menghantam bagian timur Pulau Sumba pada awal April 2021, kawasan Kambaniru di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), SD Masehi Kambaniru I menjadi salah satu daerah yang paling terdampak. Seluruh kampung Kambaniru dari ujung jembatan Kambaniru di dekat Bandara Umbu Mehang Kunda, hingga sejauh tiga kilometer terendam air sungai Kambaniru yang meluap setinggi satu meter.

SD Masehi Kambaniru I terendam selama beberapa hari. Meja, kursi dan lemari terendam air. Buku-buku pelajaran banyak yang hancur. Kini, bekas air masih tergambar jelas pada tembok sekolah meskipun sudah dilapisi dengan cat. Kehendak alam tak bisa dilawan.

Dalam kondisi sekolah tatap muka secara terbatas akibat pandemi Covid-19 masih dilakukan, badai Seroja datang menghantam. Kunjungan ke rumah siswa praktis berhenti sama sekali selama masa satu bulan pemulihan. Tapi tak perlu diratapi, di balik bencana selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Banyak tangan terulur. Demikian pula ketika “tangan” INOVASI sampai ke sekolah itu.

Seperti dikisahkan Martha Anawulang, S.Pd., Pelaksana Tugas Kepala Sekolah SD Masehi Kambaniru I, Kabupaten Sumba Timur.

Dalam kondisi itu, Martha bertanya-tanya bagaimana harus mengajar siswa dalam kondisi demikian. “Selama itu kami hanya berpegang pada buku-buku panduan yang dikeluarkan Dinas Pendidikan. Kami ikuti persis perintahnya. Buku-buku itu menjadi pegangan utama bagi guru, ditambah sedikit improvisasi mengajar sesuai dengan pengalaman masing-masing,” tutur Martha.  

Misalnya, jelas Martha, saya sudah sekitar 27 tahun mengajar sejak tamat SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri Waingapu pada 1990, dan menjadi guru sejak 1994. Sembilan belas tahun diantaranya secara terus-menerus mengajar di kelas awal, terutama kelas 1 SD. Tapi sekarang bahkan buku pegangan mereka tak punya.

Yang paling krusial sebenarnya adalah semangat mengajar para guru melorot jauh sekali. “Ketika semangat kami sedang jatuh, saat itulah INOVASI datang. Mula-mula terbersit dalam pikiran: Beban apa lagi yang hendak dibawa kepada kami? Tetapi tak kenal maka tak sayang. Ternyata program ini membawa perubahan yang drastis pada cara kami mengajar dan mendidik siswa. Ia seperti membalik arah angin,” kata Martha.

Asesmen Diagnostik

INOVASI mengajari mereka hal yang paling dasar, yakni harus mengetahui kondisi siswa yang menjadi tujuan pembelajaran. Sebab itu mereka diajarkan melakukan Asesmen Diagnostik untuk mengidentifikasi tingkat kemampuan siswa. Juga untuk membantu para guru merencanakan pembelajaran yang cocok dengan kondisi tersebut. Sebab setiap siswa memiliki kekhasannya sendiri.

“Kami harus akui bahwa dalam keadaan pandemi Covid-19 proses belajar-mengajar sangat menurun. Karena hampir sepanjang tahun siswa diliburkan. Memang ada belajar daring, tapi hanya sedikit siswa yang orang tuanya memiliki gadget. Kami juga melakukan kunjungan-kunjungan tapi tidak semua anak bisa dijangkau. Lebih dari itu, siswa tidak mendapatkan pengawasan yang memadai dari orangtua mereka ketika belajar di rumah,” kata Martha.

Banyak siswa dibiarkan bermain pada saat jam belajar. Hasilnya, ada siswa yang mula-mula sudah bisa mengeja dan merangkai huruf, setelah masuk sekolah lagi, kemampuan itu sudah hilang. Siswa di kelas 1 SD, hampir semuanya sudah tidak bisa merangkai huruf menjadi suku kata lagi.  Di kelas lain tidak jauh berbeda. Persentase anak yang bisa merangkai suku kata menjadi kata, atau kalimat, sangat kecil jumlahnya.

“Kami sedih menyadari kondisi ini. Tapi puji Tuhan, di tengah kegalauan kami itu, INOVASI datang memberi pendampingan. Kami merasakan seperti ada roh pembaharuan yang masuk. Memberi kami semangat untuk memulai pembelajaran dari awal,” jelasnya.

Martha mengaku, sebenarnya nama INOVASI sudah pernah didengarnya, sebab tak jauh dari rumahnya ada beberapa pegiat LSM CIS (Circle of Imagine Society) Timor yang juga bekerja sama dengan INOVASI pada periode 2018-2019. Mereka kerap bercerita soal program Pendidikan Inklusif yang mereka lakukan. “Saya sangat tertarik. Sampai suatu saat secara bercanda saya bilang, Sekolah kami juga perlu pendampingan ko. Tapi mereka bilang, sekolah dampingan sudah ditentukan,” kata Martha.

Keterbatasan dana dan sumber daya membuat hanya beberapa sekolah yang bisa didampingi. Terutama sekolah di desa-desa yang jauh dari kota. Sekolah di desa sangat butuh perhatian. Hampir 20 tahun Martha mengajar di SD Negeri Kamala Watar di Desa Haikatapu, Kecamatan Rindi, di pedalaman Melolo sekitar 80 km dari Waingapu. Dirinya tahu persis bagaimana kondisi sekolah di pedalaman. Mereka lebih perlu pendampingan ketimbang sekolah-sekolah di kota.

Ternyata INOVASI sudah melakukan beberapa program rintisan di Sumba Timur. Antara lain Program Literasi Kelas Awal dengan memberikan penguatan pada guru-guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) berdasarkan gugus. Martha pernah mengikuti beberapa pelatihan, hingga suatu saat pada 2021 didipilih sebagai salah seorang Fasda untuk Program Manajemen Pembelajaran di Masa Pandemi. Sejak itu dirinya rutin mengikuti pelatihan dan sesekali menjadi fasilitator dalam KKG.

“Saya masih ingat KKG yang diadakan di sekolah kami yakni pada Desember 2021. Guru-guru dari empat SD yakni SD Masehi Kambaniru 1, SD Masehi Kambaniru 2, SD Masehi Lumbumenggit dan SD Inpres Papindung yang berada dalam satu gugus mengikuti KKG Tematik Kurikulum Khusus dan Literasi,” jelasnya.

Pertama-tama mereka diajari cara melakukan asesmen untuk memetakan kemampuan siswa di kelas awal. Setelah itu hasil asesmen dipresentasikan, dan ramai-ramai dievaluasi. Dibuat pengelompokan sesuai dengan kemampuan siswa. “Tapi pengelompokan di sini tidak dilakukan seperti ini: Yang tidak bisa membaca di sini, yang bisa membaca di sana. Bukan begitu. Karena cara seperti ini akan melahirkan rasa minder dalam diri siswa,” jelasnya lagi.

Daftar nama siswa yang bisa mengenal huruf dan belum, bisa merangkai kata dan belum, sudah ada pada guru. Nanti nama mereka kami panggil: A berada di kelompok 1 bersama C dan D dan E. Begitu seterusnya. Pengelompokan ini bersifat dinamis, bisa berubah dalam periode tertentu tergantung perkembangan kemampuan masing-masing siswa.

Setelah itu disiapkan alat peraga dari bahan-bahan bekas yang mudah diperoleh di lingkungan sekitar. Peserta KKG dibagi dalam 6 kelompok sesuai dengan kemampuan siswa yakni: Kelompok Kata, Bunyi dan Huruf, Bunyi dan Huruf 2, Suku Kata, Kalimat dan Cerita Pendek. Masing-masing kelompok memiliki gagasan dan cara mempraktikkan gagasannya.

Setiap kelompok secara bergilir akan melakukan “belanja gagasan” dan memaparkan strategi pada kelompok lain yang dikunjungi. Belanja gagasan juga menjadi kesempatan bagi guru untuk berbagi pengalaman dan metode mengajar. Begitu seterusnya hingga pada akhir KKG sudah memiliki pegangan yakni, metode dan alat peraga yang akan dipakai saat mengajar kelas awal pada sekolah masing-masing.

Kelak ketika melaksanakan KKG mini di masing-masing sekolah, terutama di SD Masehi Kambaniru 1, diakukan hal yang sama. Pengalaman yang berbeda-beda dari setiap guru akan diceritakan dan mendapatkan umpan balik. Guru akan menyampaikan kesulitan atau kendala dalam mengajar. Lalu didampingi guru untuk menemukan solusi dari permasalahan pembelajaran yang dialami. Syaratnya, tidak boleh gengsi dan malu.

Misalnya jika ada guru yang sulit membuat media pembelajaran, ia bisa mencontoh atau memodifikasi media yang sudah dibuat oleh guru yang lain tetapi sesuai dengan materi yang akan dia bawakan.

Media Pembelajaran

Dikatakan Marha, sejak INOVASI masuk itulah pihaknya mulai mengenal media pembelajaran seperti Big Book, Kompas Huruf dan Kata, Kartu Bergambar, Tembok Literasi dan Numerasi serta hasil karya siswa yang kami pajang di seluruh tembok kelas. “Kalau Kartu Bergambar, memang kami arsipkan supaya bisa awet untuk pembelajaran tahun-tahun selanjutnya. Minimal kami tidak perlu mengeluarkan biaya lagi,” ujarnya.

Kartu Bergambar ini, sangat membantu siswa dalam menghubungkan pengalaman keseharian mereka. Misalnya cara hewan kuda berkembang biak. Atau ciri-ciri kuda seperti apa? Karena di Sumba banyak kuda, siswa cepat menangkap. Siswa mudah menjawab misalnya; kuda bisa berlari. Untuk bertumbuh kuda perlu makan rumput, sampai pada bagaimana kuda berkembang biak. Dengan Kartu Bergambar guru tidak terlalu lelah menyampaikan materi. Siswa juga sangat senang karena belajar dari hal di sekitar mereka.

Dahulu guru sangat dominan. Namun, sekarang, dengan dibantu media, dengan melihat gambar, siswa bisa mudah memahami. Guru tinggal meluruskan jawaban mereka. Siswa juga tidak bingung karena mereka melihat gambar dan melekat dalam ingatan mereka. Di samping itu, guru juga dilatih bagaimana memahami kurikulum dan menganalisis Kompetensi Dasar. Dari situ, guru dapat lebih mudah merancang pembelajaran yang tepat dan fokus pada pencapaian kompetensi yang diharapkan dalam kurikulum. 

Oleh INOVASI, diajarkan bagaimana membuat proses berpikir siswa lebih tinggi lagi atau High Order Thinking Skill (HOTS). Materi-materinya tentang pertanyaan pemahaman. Pelan-pelan metode ini sudah mulai diajarkan. Misalnya dalam kelas, pertanyaan kepada siswa mengapa ayam berkembang biak dengan cara yang berbeda dengan kuda? Apa pun jawaban siswa, itu benar. Nanti guru yang menjelaskan dan meluruskan.

Berbagi Pengetahuan

Sekarang, selain berbagi dengan teman-teman guru kelas atas melalui KKG mini, Marta juga bersama Fasda Mentor (Fasda yang mendampingi Fasda lainnya) mengimbaskan metode dari INOVASI ke SD Kahaungu Eti, Desa Prailiu, Kecamatan Kambera. Jaraknya hanya sekitar 2 km dari SD Masehi Kambaniru I. Di sekolah ini kondisi siswanya sama juga dengan kondisi siswa di SD Masehi Kambaniru I sebelum INOVASI masuk. “Saya curahkan semua hal yang pernah saya dapatkan dari pelatihan-pelatihan dengan INOVASI, baik dalam lokakarya maupun dalam KKG pada gugus sekolah,” ujranya.

“Saya sempat guyon kepada teman-teman INOVASI, jika bisa jangan berhentilah tahun depan. Perpanjang saja kontraknya sampai lima tahun lagi. Saya ingin bukan sekolah kami saja yang menikmati metode-metode dan pendampingan dari INOVASI. Sebab di Kecamatan Kambera sini, hanya tujuh sekolah yang didampingi. Bagaimana dengan sekolah yang lain? Bagaimana dengan kecamatan yang lain? Mereka pasti sangat perlu,” kata Marta.

Semoga nanti program-program INOVASI ini diteruskan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur. Karena menurut Martha sangat baik. Hasilnya sangat nyata. Siswa dapat dengan mudah mengenal huruf dan membaca. Seperti yang terjadi di SD Masehi Kambaniru I dan sekolah-sekolah dampingan INOVASI lainnya. (**)

  • Bagikan

Exit mobile version