27 Tahun Menantang Maut Demi Kebutuhan Keluarga

  • Bagikan
27 Tahun Menantang Maut Demi Kebutuhan Keluarga
SADAP LONTAR. Dominggus Hendrik Luin, tunanetra asal Desa Letbaun Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang ketika memanjat pohon lontar, Minggu (16/7). (FOTO: INTHO HERISON TIHU/TIMEX).

Kisah Tunanetra Sadap Nira Lontar

KUPANG, TIMEXKUPANG. FAJAR.CO.ID-Tunanetra atau mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatan sering dialami banyak orang. Baik dewasa hingga anak-anak, pria maupun wanita. Tak sedikit pula mereka yang tidak tinggal diam, dan berusaha semampunya untuk memenuhi kebutuhan hidup mulai dari menganyam, membuat kimochi hingga berjualan.

Berbeda dengan Dominggus Hendrik Luin, tunanetra asal Desa Letbaun, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Pria ini melakukan aksi menantang maut dengan menyadap nira lontar demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Anak pertama dari delapan bersaudara pasangan suami-istri Hermanus Luin (alm) dan Dortia Luin-Neno (68) ini melakukan aksi yang jarang dilakukan oleh kebanyak orang itu kurang lebih 27 tahun. Rutinitas pagi dan sore dilakukan tanpa tuntunan atau bantuan orang lain.

Anehnya, Rik sapaan Hendrik, bisa mengetahui setiap pohon lontar yang ia sadap. Jumlah pohon lontar yang ia sadap mencapai delapan pohon. Dan tidak pernah salah ketika ia mendatangi setiap pohon lontar tersebut.

Hanya bermodalkan feeling, pria kelahiran tahun 1975 itu bisa mengetahui setiap pohon lontar yang ingin ia sadap. Jarak antar pohon lontar berkisar 20-30 meter. Ketinggian pohon lontar yang disadap kurang lebih 15-20 meter.

Hendrik Luin yang ditemui Timor Express mengaku meski tidak bisa melihat, namun dirinya terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Ia dilahirkan dalam kondisi normal tetapi matanya menjadi buta dan tidak bisa melihat di usia 18 tahun. Saat itu ia sudah menyelesaikan sekolah dasar (SD), namun karena masalah ekonomi keluarga sehingga ia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Ia lebih memilih membantu kedua orang tuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya ke jenjang SMP. Tetapi Tuhan memiliki rencana lain dalam hidupnya. Pada tanggal 3 September 1994, dirinya mengalami peristiwa aneh karena saat ia baru pulang menjaga mangga miliknya yang sedang berbuah dan dimakan burung Nuri.

27 Tahun Menantang Maut Demi Kebutuhan Keluarga
SADAP LONTAR. Dominggus Hendrik Luin, tunanetra asal Desa Letbaun Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang usai memanjat pohon lontar, Minggu (16/7). (FOTO: INTHO HERISON TIHU/TIMEX).

Saat itu dirinya membawa senapan angin dan hendak melewati pintu pagar kebun. Tiba-tiba senapan tersebut meletus dan mata kanan sontak tidak bisa melihat hingga berpengaruh ke mata kirinya dan kemudian ia tidak bisa melihat total.

"Saya sangat yakin bahwa yang kena mata bukan peluru karena saat itu laras senapan melewati kepala dan darah yang keluar sedikit. Sebulan kemudian mata kiri ikutan sakit dan mulai kabur hingga buta total," ujarnya.

Kondisi fisik yang tak lagi normal, tidak membuat Rik yang saat itu beranjak dewasa putus asah. Tiga tahun setelah kejadian, ia memutuskan untuk sadap nira lontar guna dimasak menjadi gula dan memelihara ternak (babi).

"Awalnya bapak larang karena saya tidak bisa melihat. Tapi saya minta bantuan ke adik-adik lalu saya mulai iris tuak (sadap lontar, red). Kebetulan jauh dari rumah jadi tidak diketahui oleh bapak," kisahnya.

Tak berlangsung lama, aksi nekat itupun diketahui sang ayah tetapi tidak bisa menghalangi niat Rik hingga saat ini.

"Awal-awal itu memang adik-adik tuntun tapi ketika sudah biasa saya melakukan sendiri," ujarnya.

Kata Rik, selama melakukan aktivitas tanpa mengenakan alas kaki dengan tujuan agar bisa merasakan jalan yang ia lalui. Di bawah pohon lontar sudah diletakan satu batang dahan lontar guna menanda jika pohon lontar tersebut adalah salah satu pohon yang disadapnya.

Ia sangat mudah mendatangi pohon-pohon lontar yang siap disadap. Selain bisa mengetahui letak pohon lontar, ia juga diberikan pengetahuan khusus yakni bisa mengetahui tandan bunga (bunga lontar) sudah keluar atau belum hanya dengan mengetuk pohon lontar.

27 Tahun Menantang Maut Demi Kebutuhan Keluarga
Dominggus Hendrik Luin, tunanetra asal Desa Letbaun Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang ketika menyari hasil nira lontar, Minggu (16/7). (FOTO: INTHO HERISON TIHU/TIMEX).

"Saya bisa tau, bunga lontar itu sudah keluar atau belum hanya dengan mengetuk pohon tuak (lontar, red). Kalau sudah ada bunga, bunyinya lain. Jika sudah keluar saya panjat untuk melakukan pembersihan. Setelah itu baru mulai iris (sadap, red)," katanya.

Pria 48 tahun ini mengaku hasil nira itu dimasak menjadi gula kemudian dijual kepada masyarakat yang ingin membeli. Hasil jualan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan membantu ekonomi ibunya yang sudah menjanda.

Alen Luin, 49, kakak sepupu mengaku, keluarga sudah melarangnya untuk berhenti sadap nira lontar karena menurutnya sangat berbayar tetapi larangan tersebut diabaikan.

Ia mengungkapkan bahwa Rik adiknya itu merupakan sosok yang rajin dan pekerja keras. Sehari-hari ia juga membantu pekerjaan adik-adik. "Kita kerja berat seperti okfol pondasi rumah, rontok padi dan pekerjaan berat lainnya," katanya.

Sebagai seorang kakak dan keluarga merasa terinspirasi sebab adiknya tidak bisa melihat tapi bisa bekerja dan memberikan makan kepada orang normal.

"Kami memang terinspirasi karena orang buta saja bisa sadap nira, kenapa kita yang normal tidak bisa," ujarnya.

Dortia Luin-Neno, ibu kandung juga mengaku anaknya merupakan sosok yang rajin dan pekerja keras sehingga ketika keluarga melarang pun tidak bisa. "Dari kecil dia (Rik) ini memang pekerja keras. Saat ini dia yang membantu saya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari," tandasnya. (r3)

  • Bagikan