Masyarakat NTT Belum Miliki Kemampuan untuk Menabung

  • Bagikan
SEMINAR. Kepala OJK NTT Japarmen Manalu dan pemateri lainnya saat memberikan materi dalam acara seminar Fiskal dan Ekonomi Regional NTT, di GKN Provinsi NTT, Rabu (27/9). (FOTO: FENTI ANIN/TIMEX).

Kredit Pertanian Hanya 4,56 Persen

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Masyarakat Provinsi NTT belum memiliki kemampuan dan kemauan untuk menabung, sehingga harus mendatangkan uang dari luar NTT untuk disalurkan di wilayah NTT. 

Hal ini diungkapkan Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTT, Japarmen Manalu, saat menjadi pemateri dalam acara seminar Fiskal dan Ekonomi Regional NTT, di Gedung Keuangan Negara (GKN) Provinsi NTT, Rabu (27/9). 

Japarmen menjelaskan, dana yang dihimpun oleh perbankan dan disalurkan kembali dalam bentuk kredit lebih diatas 100 persen, artinya bank yang beroperasi di NTT menjadi tempat untuk mendapatkan kredit dari luar wilayah NTT. 

"Kalau kita mendatangkan uang dari luar NTT untuk disalurkan melalui kredit di NTT secara internal perbankan, maka laba dari bank itu akan keluar juga dari NTT. Hal ini harus menjadi konsentrasi kita bersama agar kemauan untuk menabung harus ditingkatkan, sehingga LDR atau Loan to deposit ratio adalah perbandingan total penyaluran kredit terhadap total dana yang diterima, bisa diterima maksimal 100 persen," ungkapnya. 

Japarmen menjelaskan, jika LDR bisa maksimal 100 persen maka kredit yang disalurkan perbankan di NTT didanai oleh masyarakat NTT sendiri. Secara umum mulai tahun 2017 sampai Juli tahun 2023, dana pihak ketiga selalu dibawah kredit yang disalurkan oleh perbankan. 

"Artinya selama kurang lebih enam tahun, kita selalu kekurangan dana untuk membiayai perkreditan di NTT," tukasnya. Dia melanjutkan bahwa dana pihak ketiga pada posisi Juli 2023 turun 1,7 persen, mungkin disebabkan karena inflasi.

Dia mengatakan, dari pertumbuhan kredit dari dana pihak ketiga masih fluktuatif, tetapi di posisi 2020 mengalami penurunan atau anjlok, baik dana pihak ketiga maupun kreditnya, dan secara bertahap recovery dimana pertumbuhan kredit sampai Juli 2023 ada pada angka 11,6 persen dan dana pihak ketiga mencapai 5,61 persen, tetap lebih tinggi pertumbuhan kredit dari pada dana pihak ketiga. 

Dari penyaluran kredit perbankan di NTT, kualitasnya atau NPL  mencapai 1,78 persen dengan LAR mencapai 10 persen, jadi LAR masih dibawah 15 persen dan NPL dibawah 5 persen. Distribusi penyaluran kredit di NTT didominasi oleh kebutuhan rumah tangga, sebesar 56,01 persen, perdagangan sebesar 25,51 persen, pertanian hanya 4,56 persen. 

"Padahal masyarakat NTT kebanyakan berprofesi sebagai petani tetapi alokasi kredit pada sektor pertanian masih sangat rendah," ungkapnya. 

Dia mengatakan, petani-petani milenial tidak tertarik untuk menggunakan jasa kredit perbankan, apa lagi tidak didukung dengan Nilai Tukar Petani atau NTP yang sesuai, untuk membiayai pertanian. 

Japarnen menyebut salah satu poin isu penyebab tingginya angka kemiskinan di NTT adalah masyarakat penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) di NTT masih banyak menggunakan dana untuk pembelanjaan barang yang tidak bermanfaat seperti rokok dan sebagainya.

Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan urusan adat terutama untuk mahar atau belis pernikahan masih sangat tinggi, upacara kematian serta penyaluran BNPT yang tidak tepat kepada rumah tangga dengan pendapatan di atas garis kemiskinan juga menjadi penyebab tingginya angka kemiskinan.

Selain kedua isu tersebut, kata dia, proporsi pekerja informal di NTT sebesar 75,24 persen dengan penduduk bekerja terbesar di sektor pertanian 49,36 persen.

Sektor pertanian di NTT tumbuh 3,77 persen di tahun 2022 dan masih menjadi sektor dengan porsi PDRB terbesar 29,97 persen di triwulan I 2023. Sektor pertanian tumbuh positif dan sebagian besar pekerja adalah petani, namun kemiskinan masih tinggi.

Meski demikian, nilai Tukar Petani (NTP) yang masih di bawah 100 menunjukkan daya jual hasil pertanian di NTT kurang dari daya beli petani untuk kebutuhan konsumsi.

Sektor Pertanian di NTT juga dihadapkan dengan ancaman kekeringan pada periode Juni-Juli memasuki musim kemarau, ditandai dengan curah hujan rendah pada mayoritas wilayah, dengan risiko fenomena El Nino yang meningkat pada Semester II 2023.

"Tidak hanya pola hidup dan kondisi wilayah NTT yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan ini, disparitas Indeks pembangunan Manusia (IPM) dan tingkat pendidikan rendah juga menjadi penyebabnya," ungkapnya. 

Dia mengaku, permasalahan yang dihadapi petani juga adalah ketika belum memasuki musim panen tetapi sudah datang pihak offtaker, sehingga hal ini perlu adanya kerja sama semua pihak. "Jangan sampai kredit konsumsi yang tertinggi, dan akhirnya kemampuan atau saya membeli dan membayar kembali kredit kurang," tandasnya. (r2) 

Editor: Intho Herison Tihu

  • Bagikan