Dana Kampanye Parpol Tidak Masuk Akal

  • Bagikan
Urbanus Ola Hurek

PDIP Hanya Terima Rp 2.790.000

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis hasil penerimaan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) perbaikan partai politik peserta pemilu tahun 2024. LADK itu melaporkan tiga bentuk dana kampanye. Yakni, berupa uang, barang dan jasa. Ketiganya dihitung dalam bentuk uang (Rupiah).

Berdasarkan tanda terima dan berita acara penerimaan LADK perbaikan di KPU Provinsi NTT, maka penerimaan dana kampanye terbanyak ada pada Partai Gerindra sebesar Rp 971.475.718 dan pengeluaran Rp 970.500.000. Sementara yang tidak ada penerimaan dan pengeluaran sama sekali adalah Partai Garuda dengan saldo awal Rp 250.000.

Sementara diurutan kedua penerima dana kampanye terbesar adalah Partai Buruh dengan Rp 795.477.300 dan pengeluaran sebesar Rp 795.377.300, kemudian diikuti Partai Golkar sebesar Rp 539.557.860 dengan pengeluaran Rp 539.436.500.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar Rp 336.231.000 dan pengeluaran sebesar Rp 307.136.500.

Selanjutnya, penerimaan PSI sebesar Rp 283.809.152 dan habis terpakai. Partai Perindo Rp 247.185.001 dengan pengeluaran Rp 236.685.001.

Kemudian, Partai Demokrat Rp 213.743.500 dan pengeluaran Rp 207.743.500, diikuti penerimaan Partai Kebangkitan Bangsa sebesar Rp 188.983.335 dan pengeluaran Rp 5.355.000 serta Partai Gelora dengan penerimaan Rp 177.222.000 dan pengeluaran Rp 132.744.000.

Partai Persatuan Pembangunan sebesar Rp 56.500.000 dan pengeluaran masih nihil, penerimaan Partai Bulan Bintang Rp 32.384.999 dan pengeluaran Rp 31.634.999, diikuti penerimaan Partai Nasdem sebesar Rp 13.145.000 dan habis terpakai.

Penerimaan Partai Ummat Rp 6.650.000 dan pengeluaran Rp 4.152.500, Partai Hanura Rp 2.225.000 dan pengeluaran Rp 1.325.000. Sementara itu, PDIP hanya terima Rp 2.790.000 dan pengeluaran Rp 1.280.000.

Ketua Divisi Teknis Penyelenggara KPU Provinsi NTT, Lodowyk Fredrik mengatakan, dana kampanye tersebut sudah lengkap. Dia menyebut, ini merupakan wujud kepastian hukum, akuntabel dan transparansi peserta pemilu untuk wajib mencatat pendanaan kampanye dalam laporan dana kampanye.

“Batas laporan awal pada 7 Januari lalu, namun kala itu LADK yang disampaikan parpol masih belum lengkap dan belum sesuai, sehingga diberikan masa perbaikan lima hari dan sekarang sudah lengkap,” tuturnya, Selasa (15/1).

Melihat rincian laporan dana kampanye tersebut, menimbulkan keraguan terhadap transparansi dana kampanye partai politik. Hal itu terlihat dari besaran dana kampanye tiap parpol. Misalnya, PDIP sebagai partai penguasa selama dua periode berturut-turut, hanya menerima dana satu digit. Padahal, kampanye ini merupakan skala tingkat provinsi. Begitu pun Nasdem dan beberapa partai lainnya yang penerimaannya masih di bawah Rp 10 juta.

Pengamat Politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek mengatakan, terkait LADK parpol tingkat Provinsi NTT, secara administratif sepertinya diterima baik oleh penyelenggara. Namun, ketika ditilik secara saksama, PDIP sebagai partai besar melaporkan dana awal kampanye di bawah Rp 5 juta. Hal itu menurutnya sangat tidak logis. Bukan itu saja, bahkan seharusnya untuk parpol manapun yang berkontestasi di tingkat provinsi, juga tidak logis.

Urbanus menyebut, terkait LADK, kuncinya terletak pada kejujuran peserta pemilu serta kecermatan dan ketegasan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu berkewajiban menelusuri asal-usul dana kampanye yang dimiliki dan dilaporkan peserta pemilu bila ada kejanggalan.

“Kejanggalan dimaksud adalah dana yang dilaporkan melebihi ambang batas sebagaimana yang diatur dalam regulasi dan mengasingkan pelaporan dana kampanye yang janggal dan tidak masuk akal,” terangnya.

Hal inilah kejanggalan yang mesti didalami oleh Bawaslu. Terutama meneliti besaran dana dan sumber dana kampanye selanjutnya KPU berwewenang menyerahkan laporan kepada akuntan publik untuk mengaudit laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dari peserta pemilu. Pada titik inilah diharapkan penyelenggara mesti cermat dan tegas menegakan regulasi.

Dia menyebut, penyelenggara pemilu jangan asal percaya terhadap laporan peserta pemilu sebagai kelengkapan administratif semata-mata. Penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu patut mengawasi lalu lintas dana kampanye dari peserta pemilu.

Pelaporan sekadar memenuhi administratif belaka, maka keberadaan penyelenggara pemilu ibarat macan ompong. Sikap tegas hanya ditunjukan bila peserta pemilu baik, parpol maupun perorangan tidak meleporkan dana kampanye sehingga calon dari parpol maupun calon perorangan digugurkan.

“Manakala ada laporan sekenanya saja sebagai kelengkapan administrasi belaka, maka dana kampanye yang dikeluarkan peserta pemilu tidak cermat dideteksi asal-usul dana dan besarannya. Padahal sesuai ketentuan, penelusuran itu menjadi kewenangan penyelenggara pemilu tertama Bawaslu,” tegasnya.

Sementara, pengamat politik dari Undana, Yohanes Jimmy Nami menegaskan, sebagai institusi publik tentu diharapkan agar parpol lebih transparan untuk menyampaikan dana kampanye sesuai PKPU Nomor 18/2023. Hal ini penting agar parpol menjadi taat asas untuk menciptakan pemilu yang berkeadilan.

“Pemilu juga harus didasarkan pada kontestasi yang adil, jangan sampai sumber dana kampanye illegal akan cenderung menguntungkan parpol tertentu dan merugikan parpol lainnya,” tegas Jimmy.

Dijelaskan, semua sumber keuangan parpol yang digunakan sebagai dana kampanye harus dilaporkan kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas parpol. Segala bentuk sumbangan dari individu maupun organisasi harus terlapor sesuai regulasi, baik sumber, peruntukan maupun besaran.

“Kita mengharapkan kerja penyelenggara pemilu baik itu KPU maupun Bawaslu juga lebih baik dalam mengawasi dana kampanye, sehingga tercipta kontestasi pemilu yang lebih berkeadilan dan demokrasi kita menjadi lebih kuat dan bermanfaat,” tutup Jimmy. (cr1/ays)

  • Bagikan