Parpol Lirik Calon Elektabilitas Tinggi

  • Bagikan
Ahmad Atang

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Menjelang Pilkada November mendatang, partai politik mulai mengencangkan amunisi dengan melirik calon-calon tertentu. Terutama, calon yang memiliki elektabilitas tinggi.

Pengamat Politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang menilai, pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh partai politik setelah pileg dan pilpres adalah mempersiapkan kader untuk bertarung pada pelaksanaan pilkada bulan November mendatang.

Partai politik di tingkat lokal terlihat masih belum move on setelah berjuang memperebutkan kursi legislatif, baik untuk caleg DPR pusat, DPR provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.

Proses politik pileg telah menghabiskan banyak energi politik, baik dari partai maupun caleg. Pada saat yang sama, kader partai (yang lolos maupun yang tidak lolos pileg) berada pada posisi dilematis antara melepaskan jabatan yang baru saja diraihnya melalui pileg dan mengejar sesuatu yang belum pasti di pilkada.

"Pada titik ini, terjadi fenomena upaya menggusur kader yang lolos pileg dengan kader yang gagal pileg dengan cara memaksa maju pilkada agar terjadi pergantian antar waktu," terang Ahmad, Minggu (17/3).

Cara tersebut cenderung kasar dan di luar fatsun politik. Terlepas dari itu, suka atau tidak suka partai menyiapkan kader, maka untuk pilkada provinsi dinamikanya mengalami stagnasi.

Dinamika pilkada untuk pemilihan gubernur NTT belum terlalu bergaung, baik oleh partai politik maupun oleh figur yang mau mengambil bagian dalam proses politik tersebut.
Namun, publik sudah dapat menerka kecenderungan figur yang akan tampil pada pilkada nanti.

"Nama-nama seperti Victor Laiskodat, Melki Laka Lena, Ibu Emy Nomleni, Ansi Lema merupakan figur lama yang tidak asing lagi sudah beredar di publik, kecuali Orias Moedak dan Frans Aba yang merupakan pemain baru di pilkada gubernur," ujarnya.

Maka, jika dipetakan berdasarkan latar belakang, calon gubernur didominasi oleh politisi dan hanya dua orang yang non partisan dan dari latar belakang profesional serta akademisi. Dengan posisi seperti itu, maka konfigurasi yang akan dibangun bisa jadi perpaduan antara politisi vs politisi, politisi vs birokrat atau politisi vs profesional atau politisi vs akademisi.

"Karena itu, ruang yang paling ideal adalah perpaduan antara politisi-birokrat atau politisi-profesional," jelasnya.

Untuk itu, masing-masing hampir memiliki partai politik sebagai kendaraan, maka sangat tergantung pada koalisi yang dibangun. Semakin besar koalisi yang dibangun, maka akan semakin sedikit peluang Paslon yang maju, dan sebaliknya semakin kecil koalisi yang dibangun maka semakin banyak Paslon yang muncul.

Maka dengan komposisi kursi partai yang ada maka peluang setidak ada 4 Paslon yang diusung. Dengan demikian, nama-nama tersebut di atas harus merebut tiket partai dengan modal yang dimiliki, baik modal sosial, modal politik dan modal finansial.

"Maka siapa yang memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi tentu akan dilirik oleh partai, apakah yang bersangkutan kader partai atau bukan," pungkasnya. (cr1/rum)

  • Bagikan