Dr. Ridolof W. Batimurik
Dosen Jurusan Administrasi Bisnis
Politeknik Negeri Kupang
Kasus yang menjerat Eks Kepala Kepolisian Resor Ngada, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, AKBP Fajar W. Lukman, yang diduga terlibat dalam penyimpangan seksual dan penyalahgunaan narkotika, saat ini menjadi sorotan publik di Indonesia. Kasus ini tidak hanya mencerminkan tantangan serius yang dihadapi institusi Polri, tetapi juga menjadi salah satu bukti nyata bahwa penyimpangan perilaku semacam ini dapat terjadi di dalam organisasi manapun, terutama ketika pengawasan dan kontrol internal tidak berjalan secara optimal.
Atas kasus tersebut, sebagai akademisi, pengamat dan pernah terlibat sebagai pemateri dalam berbagai kegiatan terkait Sumber Daya Manusia Polri, khususnya dalam bidang Perilaku Individu dan Perilaku Organisasi yang mendalami Aspek Kepribadian Personil, dapat memberikan tinjauan akademis dengan menganalisis kasus ini melalui berbagai perspektif Teori Penyimpangan Perilaku di Tempat Kerja. Teori yang menyoroti perilaku individu dalam organisasi yang menyimpang dari norma dan etika yang berlaku, serta berpotensi merugikan institusi Polri maupun individu lainnya.
Teori Kepribadian Gelap dan Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Perilaku menyimpang di tempat kerja merupakan fenomena yang dapat dikaji melalui teori kepribadian gelap (Dark Triad Personality) yang dikembangkan oleh Paulhus dan Williams (2002). Dalam konteks kepemimpinan dan organisasi, Judge et al. (2006) mengaitkan kepribadian gelap dengan perilaku yang merugikan lingkungan kerja, termasuk penyimpangan seksual dan penyalahgunaan narkotika. Kepribadian gelap mencakup Machiavellianism, psikopati, dan narsisme. Tiga (3) karakteristik yang sering muncul dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan. Dalam lingkungan kepolisian, kepribadian gelap ini dapat memicu tindakan tidak etis dan kriminal, mengingat kepemilikan otoritas yang besar.Kasus AKBP Fajar menunjukkan bagaimana penyimpangan terjadi ketika pejabat berwenang menyalahgunakan kekuasaan, memanfaatkan sumber daya dan pengaruhnya tanpa takut konsekuensi hukum.
Machiavellianism: Manipulasi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Machiavellianism mengacu pada kecenderungan individu untuk bersikap manipulatif, tidak berprinsip, dan lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada moralitas. Menurut Judge et al. (2006), individu dengan sifat Machiavellianism yang tinggi cenderung menggunakan kekuasaan mereka untuk tujuan pribadi dengan mengabaikan norma etika dan sosial. Dalam kasus penyimpangan seksual dan narkotika di lingkungan kepolisian, individu yang memiliki karakteristik ini dapat menggunakan posisi mereka untuk menekan korban, menutupi tindakan tidak etis, atau bahkan mengintimidasi bawahannya. Penyalahgunaan wewenang oleh individu dengan Machiavellianism tinggi sering kali bersifat sistematis dan terencana, menjadikannya lebih sulit untuk diungkap.Kasus AKBP Fajar menunjukkan bagaimana individu dengan kecenderungan Machiavellianism dapat menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, termasuk pelecehan seksual, dengan memanfaatkan hierarki kepolisian guna melindungi diri dan menekan korban.
Psikopati: Ketidakpedulian Emosional dan Impulsivitas
Psikopati, sebagai bagian dari kepribadian gelap, ditandai dengan kurangnya empati, impulsivitas tinggi, dan ketidakpedulian terhadap konsekuensi sosial. Dalam lingkungan kerja, individu dengan psikopati sering menunjukkan perilaku agresif dan tidak bermoral (Judge et al., 2006). Ketika individu psikopat menduduki posisi kekuasaan, mereka lebih rentan untuk terlibat dalam perilaku menyimpang, termasuk pelecehan seksual dan penyalahgunaan narkotika. Ketidakpedulian emosional mereka memungkinkan mereka untuk mengeksploitasi orang lain tanpa rasa bersalah atau penyesalan. Dalam kasus kepolisian, psikopati dapat berkontribusi pada tindakan yang melampaui batas etika dan hukum, seperti pelecehan seksual atau penyalahgunaan narkotika untuk pelarian dari tekanan kerja.
Pada kasus tersebut, sikap impulsif dan tidak berempati terlihat dalam pola perilakunya yang berulang. Ia tidak hanya melakukan pelecehan seksual terhadap satu korban, tetapi juga beberapa individu lainnya, termasuk orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatannya bukan sekadar kesalahan sesaat, melainkan bagian dari pola perilaku yang mencerminkan kurangnya kendali emosi dan ketidakpedulian terhadap dampak buruk dari perbuatannya.
Narsisme: Hasrat Akan Kekaguman dan Eksploitasi Orang Lain
Narsisme dalam konteks kepribadian gelap merujuk pada kebutuhan akan kekaguman, perasaan superioritas, dan kecenderungan untuk mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi. Menurut Campbell et al. (2011), individu dengan narsisme tinggi cenderung mencari validasi dari lingkungan sekitar mereka dan merasa berhak atas perlakuan istimewa. Dalam institusi kepolisian, seorang pemimpin dengan sifat narsistik dapat memanfaatkan kedudukannya untuk memperoleh kepuasan pribadi, termasuk dalam bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan narkotika sebagai sarana pelarian atau pemenuhan ego.
Pada kasus yang terjadi, sifat narsistik dapat tercermin dalam cara ia menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi dan mengendalikan orang lain, terutama bawahan. Rasa superioritas dan keinginan untuk selalu dipandang sebagai sosok yang berpengaruh membuatnya mengabaikan norma-norma moral dan hukum, sehingga ia merasa berhak melakukan tindakan menyimpang tanpa mempertimbangkan dampak bagi korbannya maupun institusinya.
Hubungan Machiavellianism, Psikopati, Narsisme, dan Penyimpangan di Tempat Kerja
Judge et al. (2006) menyatakan bahwa kepribadian gelap dapat menciptakan budaya organisasi yang toksik, di mana penyimpangan perilaku tidak hanya dibiarkan tetapi juga mungkin mendapat perlindungan dari sistem. Dalam institusi kepolisian, kombinasi Machiavellianism, psikopati, dan narsisme dapat membentuk lingkungan kerja yang penuh dengan manipulasi, intimidasi, dan eksploitasi. Individu dengan kepribadian ini sering kali mampu menghindari sanksi melalui jaringan kekuasaan yang mereka bangun, memungkinkan mereka untuk terus melakukan tindakan penyimpangan. Penyalahgunaan narkotika di kalangan aparat penegak hukum juga dapat dikaitkan dengan mekanisme coping yang tidak sehat, di mana individu dengan kepribadian gelap menggunakan zat terlarang untuk mengendalikan stres atau meningkatkan performa mereka secara artifisial.
Kasus yang sementara ini sedang berjalan pada tingkat Mabes Polri menunjukkan bagaimana kombinasi Machiavellianism, psikopati, dan narsisme dapat menciptakan situasi yang merugikan banyak pihak. Penyimpangan yang ia lakukan tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga mencoreng institusi kepolisian dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Ketika sistem tidak cukup kuat untuk menangani individu dengan kepribadian gelap, maka perilaku menyimpang seperti ini dapat terus berulang.
Implikasi, Kesimpulan, Refleksi Bagi Polri dan Harapan Publik
Implikasi dari penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh individu dengan kepribadian gelap di lingkungan kepolisian sangatlah luas. Selain merusak reputasi institusi, hal ini juga menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Langkah-langkah pencegahan, seperti proses rekrutmen dan seleksi pada setiap jenjang (Tamtama, Bintara, Perwira Pertama, Perwira Menengah dan Perwira Tinggi) yang akan menduduki jabatan strategis dalam tubuh Polri, program pelatihan etika, dan pengawasan internal yang lebih ketat, menjadi krusial dalam menangani masalah ini. Kepribadian gelap bukan hanya ancaman bagi individu yang bekerja dalam sistem, tetapi juga bagi masyarakat luas yang menggantungkan harapan pada keadilan dan keamanan. Oleh karena itu, perhatian serius dari Pimpinan POLRI terhadap kepribadian gelap dan penyimpangan kerja di organisasi manapun termasuk dalam Polri diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan berintegritas.
Kasus ini menjadi peringatan bagi institusi Polri untuk lebih serius dalam menangani perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya. Selain memberikan hukuman tegas terhadap pelaku, penting juga untuk membangun sistem pengawasan yang lebih transparan serta memberikan perlindungan kepada korban agar mereka berani melaporkan tindakan tidak etis tanpa takut adanya ancaman balasan dari pihak yang berwenang. Kasus ini juga menjadi pukulan telak bagi institusi Polri yang terus berupaya membangun citra profesional, bersih dan kepercayaan publik. Kejadian ini mengungkap celah dalam sistem pengawasan internal serta lemahnya mekanisme deteksi dini terhadap perilaku menyimpang di kalangan aparat. Polri perlu melakukan introspeksi mendalam mengenai bagaimana proses rekrutmen, pelatihan, serta pembinaan karier bagi anggotanya dapat lebih menekankan aspek integritas dan psikologis. Selain itu, penguatan sistem pengawasan berbasis teknologi dan keterbukaan dalam menindak anggota yang terlibat dalam kasus serupa menjadi langkah krusial agar kejadian serupa tidak terulang.
Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada 17 Maret 2025 menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar W.L.Sumaatmaja (https://bit.ly/4iF0xUe). Namun, proses hukum masih berlanjut seiring dengan banding yang diajukan. Publik berharap tidak hanya PTDH yang dijatuhkan, tetapi juga sanksi pidana melalui peradilan umum agar kepastian hukum benar-benar ditegakkan. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terulang dan memberikan efek jera bagi aparat yang menyalahgunakan kekuasaannya. (*)