BORONG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Kasus kekerasan yang dialami anak di bawah umur di Kabupaten Manggarai Timur (Matim), terus mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2021, kasus yang dilaporkan ke polisi ada belasan kasus. Namun di tahun 2022, baru di bulan Mei, sudah ada puluhan kasus. Tindak kekerasan yang dialami anak di bawah usia ini beragam, baik kekerasan seksual, pencabulan, dan kekerasan fisik.
"Kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur di Matim, tinggi dan meningkat. Paling banyak kasus kekerasan seksual dan pencabulan. Total tahun 2021 ada sekira 17 kasus, dan tahun 2022 totalnya ada sekira 25 kasus," ungkap Kapolres Matim, AKBP I Ketut Widiarta, SH., SIK., M.Si, kepada TIMEX di ruang kerjanya, Rabu (25/5) siang.
AKBP Widiarta yang saat itu didampingi KBO Reskrim, Ipda Yostan A. Lobang, mengatakan, untuk kasus tahun 2021, sudah ada yang dilimpahkan ke kejaksaan dan sidang di pengadilan. Ada juga yang yang masih lidik. Sementara kasus kekerasan anak dibawah umur tahun 2022, ada yang masih lidik dan juga P21.
Jika melihat peningkatan jumlah kasus ini, sangat memprihatinkan. Pasalnya, paling banyak pelaku adalah orang-orang dekat korban. "Kita melihat kasus kekerasan seksual dan pencabulan di Matim meningkat. Ironisnya karena terduga pelakunya adalah orang-orang dekat korban. Mulai dari orang tua, saudara, kerabat, dan tetangga. Padahal mestinya orang-orang dekat tersebut melindungi korban," katanya.
Tingginya angka kekerasan anak di bawah umur di Matim, menjadi atensi dan perhatian khusus. Sebab anak sebagai generasi penerus bangsa hendaknya diawasi dan dijaga masa depannya. Semua pihak pun diminta untuk pro aktif dalam melihat kondisi tersebut, terutama pemerintah dalam hal ini dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan KB (P3AKB).
"Titik beratnya bukan ada di Polisi, namun perlu adanya peranan dari semua pihak, terutama dari para orang tua, dan juga dari Dinas P3AKB. Instansi ini diharapkan rutin melakukan pencegahan atau aktif lakukan sesuatu supaya tidak terjadi adanya persetubuhan atau pelecehan anak di bawah umur. Kalau melihat kasus di Kabupaten Matim, trennya meningkat. Berarti instansi P3AKB ini tidak berhasil lakukan pencegahan," tegas AKBP Widiarta.
KBO Ipda Yostan menambahkan, faktor-faktor pemicu terjadinya kejahatan terhadap anak di bawah umur di Matim adalah, adanya kebiasaan dalam keluarga yang mestinya itu harus dihindari. Seperti anak perempuan yang berusia 10 tahun, masih tidur bersama saudara atau pun dengan ayah kandung atau ayah tiri. "Juga faktor lain karena pengaruh miras," ungkapnya.
Selain itu, lanjut Ipda Yostan, faktor lainya karena minim pengetahuan korban tentang seks. Juga pengetahuan dari pelaku terkait akibat atas perbuatannya. Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak itu karena masih ada kebiasaan di kampung-kampung, melakukan penyelesaian kasus secara adat atau kekeluargaan. Sehingga disini tidak efek jera untuk pelaku sendiri dan yang lainnya.
"Kita sangat perihatin melihat tingginya kasus kekerasan anak di bawah umur di Matim. Masuk awal 2022 saja, jumlahnya meningkat masuk 20-an kasus. Ini yang dilaporkan ke polisi. Kita tidak tahu yang diselesaikan secara adat. Sala satu solusinya, keluarga dan sekolah wajib memberikan pendidikan seksual terhadap anak. Kita berharap juga peran dari Dinas P3AKB di Matim. Jangan diam, tapi harus aktif," ujar Ipda Yostan.
Di sisi lain, lanjut Yostan, pentingnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak. Kalau anak yang masih sekolah misalnya perlu dipantau pergaulannya. Dampak kekerasan terhadap anak di bawah umur itu, sangat besar. Salah satunya, dampak kesehatan dan psikologis. Perlindungan anak dijamin haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. (*)
Penulis: Fansi Runggat
Editor: Marthen Bana