Debat Antiklimaks, Membosankan  dan Hindari Blunder

  • Bagikan
Mikael Bataona

Tidak Ada Pertanyaan Menukik

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Debat terakhir capres telah berakhir, Minggu (4/2). Tidak seperti debat-debat sebelumnya, debat kelima itu berlangsung datar dan antiklimaks. Pasalnya, dalam debat tersebut tidak ada serang ide, bahkan seringkali paslon saling setuju.

Pengamat politik dari Unwira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona kepada Timor Express, Senin (5/2) menjelaskan, debat terakhir itu bukanlah debat. Pasalnya, tanpa ada konfrontasi ide dan adu gagasan. Terutama, pada sesi pembuka hingga sesi sebelum penutup. Jalannya debat per sesi terlihat datar-datar, sangat landai dan tenang, bahkan sungguh membosankan. Hal itu karena hampir sepanjang debat tidak ada gagasan baru dan luar biasa dari masing-masing capres yang diuji validitasnya dan diperdebatkan.

"Hanya ada satu momentum ketika terjadi konfrontasi ide antara capres, yaitu ketika Ganjar membantah Prabowo soal programnya untuk memberi makan siang gratis bagi anak sekolah dalam rangka menurunkan stunting. Di mana, sebut Ganjar, jika program itu untuk menurunkan stunting maka Prabowo terlambat," terang Mikhael.

Jelas Mikhael, karena menurut Ganjar, stunting itu harus ditangani sejak seorang perempuan mau menikah, juga diperhatikan masalah kurang darah atau anemia, diperiksa kesehatannya dan diberi gizi yang cukup sebelum dia mengandung dan selama mengandung, agar anaknya lahir sehat dan tidak stunting.

"Di sesi ini, Prabowo kemudian setuju dengan Ganjar bahwa memang ibu hamil perlu diperhatikan kesehatannya. Meskipun Prabowo tetap berpegang pada programnya tentang makan siang gratis. Jadi, hanya di sesi ini yang saya melihat ada nuansa debatnya. Ada adu gagasan. Ada argumentasi dan argumentasi kontrak. Ada tesis dan antitesis yang terukur dan saling serang ide, bukan serang pribadi. Itulah debat," ujar dosen Komunikasi Politik itu.

Sementara sesi lainnya, menurut Mikhael, semuanya berjalan landai dan normatif-normatif saja. Tidak ada hal ide dan gagasan substansial yang diperdebatkan. Mikhael menyebut, hal ini juga akibat hampir semua pertanyaan yang diajukan panelis sangat teknis. Tidak membongkar soal ideologi, policy dan paradigma besar para calon presiden tentang isu-isu terkait pendidikan, kesehatan, SDM, teknologi dan inklusi. 

"Semua pertanyaan panelis terlalu teknis dan normatif. Akibatnya, penjelasan para capres juga menjadi sangat teknis seperti pemaparan para menteri atau birokrat dalam melaksanakan sebuah program. Bukan mengeksplorasi gagasan besar dan ideologi seorang pemimpin. Karena itu, menurut saya, debat ini akhirnya lebih mirip sebuah tukar pikiran biasa atau obrolan ringan di warung kopi antarteman yang sudah saling memahami," jelasnya.

Karena di hampir semua sesi, jawaban semua capres hampir mirip meskipun dengan sudut pandang atau perspektif menjelaskan yang berbeda. Mengapa ini bisa terjadi? Jika dianalisis, lanjutnya, selain pertanyaan para panelis yang terlalu teknis, juga karena peran para konsultan politik. Mereka sudah mendoktrin para calon presiden agar di debat terakhir ini wajib bermain aman. Dan itu dijalankan.

Sehingga, terlihat bagaimana mereka tiga, Anies, Prabowo dan Ganjar sangat bermain aman. Mereka lebih nampak saling mengayomi dan tidak mau salah bicara. Mereka terkesan kaku dan normatif, meskipun ekspresi non verbal mereka tidak bisa menyembunyikan bahwa mereka sebenarnya ingin saling serang dan berseberangan ide.

Contohnya saat Ganjar bicara, Anies memberi jempol. Itu artinya Anies sebenarnya setuju dengan Ganjar untuk membantah gagasan Prabowo. Jadi, secara keseluruhan, debat ini antiklimaks, normatif, landai dan membosankan karena para capres menghindari blunder. Mereka tidak mau salah bicara. Sehingga terlihat bagaimana masing-masing berjuang mengendalikan diri, menahan emosi, menghindari gimik dan  tidak mau menyerang lawan dalam debat.

Hanya di satu sesi itu ketika Prabowo bertanya dan Ganjar menjawab tegas bahwa ia menolak program makan siang gratis jika hanya untuk menurunkan stunting, sebab stunting itu masalahnya berkaitan dengan ibu dan anak dalam kandungan, bukan saat anak sudah usia sekolah.

"Jadi, saya melihat bahwa peran para konsultan politik untuk mengendalikan para capres cukup berhasil. Para capres dilarang untuk menyerang pihak lain secara frontal untuk menjaga elektoral. Mereka wajib menghindari salah bicara atau gimik yang bisa menjadi blunder. Dalam bacaan saya hampir semua konsultan politik di masing-masing kubu itu terpaku pada hitungan elektoral," ucapnya.

Para konsultan dipaksa oleh hitungan statistik untuk tidak berimprovisasi. Padahal jika itu dilakukan, mungkin ceruk elektoral yang belum memutuskan pilihan, juga kelompok rasional dan kelas menengah kota bisa mengubah pilihannya. Peran para konsultan politik yang mengajarkan kepada para capres bahwa ini debat terakhir jadi pengendalian diri itu penting dan krusial.

Sehingga, debat menjadi kaku dan landai, akhirnya membuat publik terlihat bosan dalam menonton debat semalam. Beda dengan debat pilpres 2019 silam, di mana dalam pernyataan penutup mereka, duet Jokowi dan Ma'ruf Amin saat itu, lewat Jokowi, dengan tegas memberi closing statement bahwa "Kami tidak punya potongan diktator atau otoriter. Kami tidak punya rekam jejak melanggar HAM, kami tidak punya rekam jejak melakukan kekerasan, kami juga tidak punya rekam jejak melakukan korupsi," kata Jokowi ketika itu.

"Dalam debat semalam, hal ini memang coba dilakukan Ganjar, tapi tidak dengan gaya yang seperti dilakukan Jokowi di tahun 2019. Karena saat itu, Jokowi menyampaikan kata-kata sangat panas ini dalam penutup debat dan diminta moderator bahwa masih ada waktu tersisa, tapi Jokowi mengatakan , "cukup..!" Itulah yang saya kira menjadi pembeda dengan debat semalam. Semua capres kelihatan cari aman dan tidak mau melakukan blunder sebagaimana arahan para konsultan politik dan penasehat di kubu masing-masing," bebernya.

Sementara itu, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang menilai, debat capres terakhir jauh lebih bagus dibandingkan debat-debat sebelumnya. Masing-masing capres lebih mengelaborasi program kerja sesuai visi dan misinya, daripada menggugat program yang sudah dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi. Begitu juga para capres mampu mengontrol emosi, sehingga terlihat tenang dan santun dalam berdebat.

"Secara umum materi debat cukup bagus. Namun pertanyaan tidak menukik tajam soal isu pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, disabilitas, namun masih seputar nasib guru, dokter, faskes dan isu ini selalu muncul setiap debat capres yang hanya dipermukaan saja. Padahal masalahnya cukup kompleks yang tidak terurai," ucap Ahmad.

Capres juga belum memberi tawaran yang konkret sebagai formula menyelesaikan masalah yang diperdebatkan. Begitu pun para capres tidak secara tegas berkomitmen untuk meneruskan atau menghentikan program Jokowi seperti KIP dan BPJS.

Menurut Ahmad, capres cenderung mengambil sikap hati-hati terhadap program Jokowi karena rakyat sedang menikmatinya.

"Jika secara terbuka ada upaya capres untuk menghilangkan program tersebut, sudah dapat dipastikan masyarakat tidak akan memberikan rasa simpatinya. Kondisi psikologis inilah membuat capres tidak menyinggung masalah kartu sehat dan kartu pintar," tutup Ahmad. (cr1/ays)

  • Bagikan