Jadi Sumber Kekuatan Arungi Kegetiran,Monumen Pelanggaran HAM di Oesao

  • Bagikan
FENTI ANIN/TIMEX SERAHKAN BUKU. Suasana penyerahan buku dari penyintas dan JPIT ke Komnas HAM, Komnas Perempuan Republik Indonesia dan Majelis Sinode GMIT di Oesao, Kabupaten Kupang, NTT, Sabtu (8/12).

KUPANG,TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan Republik Indonesia dan Majelis Sinode GMIT serta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang, meresmikan Monumen Peristiwa Pelanggaran Berat HAM 1965 di TPU Oesao, Kabupaten Kupang, NTT, Sabtu (8/12).

Mantan Presiden Joko Widodo juga telah mengakui adanya pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia dan mengeluarkan instruksi kepada 17 lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, untuk berkoordinasi dengan lembaga independen di luar eksekutif, demi menyelesaikan seluruh rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Masa Lalu (PPHAM).

Terkait itu, maka telah dibentuk Tim PPHAM di tingkat nasional. Mantan Presiden Joko Widodo juga menyampaikan bahwa pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana. Selain itu, pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang.

Salah satu rekomendasi Tim PPHAM, adalah pembangunan memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.Berdasarkan penelitian JPIT yang dilakukan sejak 2009, terdapat ratusan orang yang ditangkap, disiksa, dan dibunuh secara sewenang-wenang pada periode 1965–1966 di NTT.

Mereka yang tidak dibunuh diharuskan wajib lapor, kerja paksa serta memikul stigma dan diskriminasi di dalam masyarakat selama bertahun-tahun kemudian. Bahkan beberapa dampak masih dirasakan oleh para korban dan penyintas hingga hari ini seperti hubungan kekerabatan hancur, trauma, dan masih banyak korban yang belum mau membuka diri.

"Selain mendokumentasikan, menyuarakan kisah korban dan penyintas, serta melakukan pendidikan kepada masyarakat melalui diskusi buku dan kampanye, JPIT telah mendampingi dan mengadvokasi hak korban dan penyintas," ungkapnya.

Sejak tahun 2013, JPIT bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) dan juga stakeholders di tingkat lokal seperti Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (MS GMIT), akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk mengadvokasi hak hak para korban.

Atas permintaan dari para korban dan penyintas ’65' yang didampingi, JPIT mengupayakan pembangunan sebuah monumen sebagai salah satu bentuk pendidikan publik bagi masyarakat.

Monumen itu juga dimaksudkan sebagai sarana pengungkapan sejarah kelam tragedi 1965–1966 yang pernah terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur. Sebagai langkah awal, telah dibangun sebuah monumen di situs kekerasan ’65.

Ketua Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia, Atnike Nova Sigiro, mengatakan, tugu peringatan korban kekerasan peristiwa 1965-1966 di Oesao, secara khusus merupakan peringatan bagi ingatan masyarakat akan 18 orang yang terbunuh dan dikuburkan pada masa itu, namun belum dapat dikubur layak dan diantar secara manusiawi dan rohani.

Sebagai Komnas HAM, adalah tugas untuk melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM Berat, dan peristiwa 1965 di Oesao adalah salah satu peristiwa yang pernah diselidiki oleh Komnas HAM dan disimpulkan sebagai pelanggaran HAM Berat

"Tragedi 1965 adalah salah satu peristiwa pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di Indonesia," tegasnya.

Pemerintah komitmen untuk mendorong mekanisme non Judisial bagi korban berupa pemulihan, memorialisasi, pemulihan fisik, psikis, keadilan dan pengakuan akan peristiwa pelanggaran HAM Berat merupakan hak korban dan upaya mencegah peristiwa serupa tidak terulang kembali.

Inpres nomor no 2 tahun 2023, Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah mengakui adanya pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia dan mengeluarkan instruksi kepada 17 lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian untuk berkoordinasi dengan lembaga independen di luar eksekutif demi menyelesaikan seluruh rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat di Masa Lalu (PPHAM).

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) RI, Andy Yentriyani menyampaikan terima kasih untuk para komunitas penyintas peristiwa politik 1965 di Oesao yang telah menjadi sumber inspirasi, kekuatan mengarungi kegetiran dan juga penderitaan yang tebal dan dalam, juga berkenan untuk bersuara sehingga memungkinan semua keluar dari kegelapan menuju terang untuk membuat sebuah kehidupan yang lebih baik.

Ungkapan terima kasih juga untuk JPIT yang telah mendokumentasikan dan keberanian untuk mengambil langkah ini, yang tentu tidak mudah berhadapan dengan berbagai tekanan dan stigma yang mempertanyakan itikad baik dari upaya ini.

"Jika bukan karena keberanian penyintas, korban dan JPIT untuk bisa dokumentasikan dan menguak memori-memori terlarang dan dilarang ini, maka kita tidak akan punya pengetahuan,"kata Andy.

Kehidupan yang bermartabat, adil dan tanpa diskriminasi, perlindungan hukum dan rasa aman untuk berbuat ataupun tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sekaligus berdiri setara dihadapan hukum adalah janji konstitusi, maka negara khususnya pemerintah memikul tanggung jawab yang utama untuk memastikan pemenuhannya, pengajuannya dan penegakannya.

Ketua Pengawas Perkumpulan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), Pdt. Dr. Merry Kolimon menjelaskan, berdasar penelitian JPIT yang dilakukan sejak 2009, terdapat ratusan orang yang ditangkap, disiksa, dan dibunuh secara sewenang-wenang pada periode 1965–1966 di NTT.

Mereka yang tidak dibunuh diharuskan wajib lapor, kerja paksa, serta memikul stigma dan diskriminasi di dalam masyarakat selama bertahun-tahun kemudian. Bahkan beberapa dampak masih dirasakan oleh para korban dan penyintas hingga hari ini seperti hubungan kekerabatan hancur, trauma, dan masih banyak korban yang belum mau membuka diri.

Selain mendokumentasikan, menyuarakan kisah korban dan penyintas, serta melakukan pendidikan kepada masyarakat melalui diskusi buku dan kampanye, JPIT telah mendampingi dan mengadvokasi hak korban dan penyintas.

Sejak tahun 2013 JPIT bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan juga stakeholders di tingkat lokal seperti Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (MS GMIT), akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk mengadvokasi hak-hak para korban.

"Atas permintaan dari para korban dan penyintas ’65 yang didampingi, JPIT mengupayakan pembangunan sebuah monumen sebagai salah satu bentuk pendidikan publik bagi masyarakat," jelas Pdt. Merry Kolimon.

Monumen itu juga dimaksudkan sebagai sarana pengungkapan sejarah kelam tragedi 1965–1966, yang pernah terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk NTT.

Sebagai langkah awal, telah dibangun sebuah monumen di situs kekerasan ’65 untuk mengenang kurang lebih 18 korban yang dibantai dan dikubur dalam satu lubang. Saat ini lokasi tersebut telah dijadikan tempat pemakaman umum (TPU). Jika kondisi politik Indonesia cukup mendukung, maka kegiatan yang sama akan diperluas ke enam wilayah lainnya, yakni Sabu, Sumba, Alor, Timor Tengah Selatan, Merbaun (Amarasi Barat, Kabupaten Kupang), dan Kota Kupang.

Ketua Sinode GMIT, Samuel Pandie, mengatakan, gereja menyambut positif apa yang dilakukan oleh JPIT, membuka kembali memori tentang kisah 1965-1966, tentang kekuasaan tentang pelaku, korban dan dampaknya, yang mana juga menjadi auto kritik bagi gereja, sebab gereja juga bisa saja mengambil bagian di dalamnya atau bahkan gereja kehilangan suara kenabian lalu membisu, padahal ingatan kolektif atau keberpihakan hendaknya membuat gereja bersuara, minimal gereja bertutur tentang para korban sehingga tidak mengalami kebodohan kolektif.

"Kami menyambut dengan positif pembuatan tugu korban tragedi 1965, ini harus menjadi peringatan, agar kita menjadi bangsa yang tidak lagi meninggalkan jejak luka bagi yang lain," ujarnya.

Dia menambahkan, monumen peringatan korban kekerasan peristiwa 1965-1966 di Oesao, menjadi pengalaman kelam yang meninggalkan sejarah maupun tentang kehidupan, yang menginspirasi bagi peradaban dunia yang lebih baik. (thi/gat/dek)

  • Bagikan