Usai Pementasan, Jumlah Anggota Semakin Banyak

  • Bagikan
BAGUS PUTRA PAMUNGKAS/JAWA POS LESTARIKAN KEBUDAYAAN. Retno Mukti Handayani mengajari anak-anak tari dolanan di Sanggar Saraswati, Minggu (9/2).

Sanggar Saraswati, Tempat Berlatih dan Pentas Kesenian Tradisional Anak-anak

Berawal dari keresahan melihat generasi muda yang jauh dari budaya, Akbar Firmansyah mendirikan Sanggar Saraswati. Kini ada lebih dari 100 anak yang belajar tari, karawitan, hingga seni rupa.

BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Tulungagung

ALUNAN musik yang bergema itu tiba-tiba dimatikan. Sejurus kemudian, suara lantang terdengar. ”Kakinya nggak begitu. Seharusnya mingkup (menutup). Yang kemarin nggak masuk pasti bingung”.

Begitu ucap Retno Mukti Handayani dengan nada kalem. Dia gemas karena gerakan beberapa muridnya tampak salah. Minggu (9/2) pagi Retno memang tengah mengajar tari dolenan di Sanggar Saraswati Tulungagung.

Ketika tahu ada muridnya yang salah, wanita 18 tahun itu lebih memilih sabar. ”Itu cara agar saya bisa didengar oleh murid-murid. Biar mereka tetap semangat, nggak mutung (putus asa),” kata Retno. Apalagi, di zaman serbadigital ini, tidak mudah mencari anak-anak yang mau latihan tari tradisional.

Dari fakta itulah, Akbar Firmansyah yang sudah 18 tahun merantau di Surabaya memilih pulang ke Tulungagung. Halaman belakang rumahnya di kawasan Mojoarum, Kecamatan Gondang, disulap menjadi sanggar.

Dia resmi mendirikan Sanggar Saraswati pada 20 Mei 2023. ”Tanggal berdirinya sanggar itu bertepatan dengan Hari Raya Saraswati,” kata Akbar.

Tidak Ada di Kurikulum Pendidikan

Keputusannya mendirikan sanggar memang sudah tidak terbendung. Dia geregetan melihat anak-anak sekarang yang jauh dari budaya. Mereka lebih suka memegang gadget daripada mempelajari kesenian tradisional. ”Bagi saya, itu penjajahan. Dan penjajahan harus dilawan,” ucapnya.

Dia makin geregetan melihat tidak ada seni tari di kurikulum pendidikan yang seharusnya bisa jadi juru selamat kesenian tradisional. ”Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kurikulum pendidikan di Indonesia ini malah jauh dari program kesenian. Kalau sudah begitu, bagaimana kesenian bisa dilestarikan?” beber sulung dari tiga bersaudara itu.

”Sanggar kami rutin melakukan pertunjukan setiap Hari Raya Saraswati yang jatuh 30 pekan sekali. Jadi, setiap tahun ada dua kali pementasan,” imbuhnya. Mereka menampilkan beragam jenis tarian, karawitan, hingga memajang hasil seni rupa. Setiap Minggu sore, Akbar memang memimpin langsung latihan seni rupa di sanggarnya.

”Usai pementasan, jumlah anak yang datang ke sanggar semakin banyak. Mereka ingin jadi bagian dari kami. Total, mulai dari tari sampai seni rupa, jumlah muridnya 130 orang. Dan, ini bisa nambah terus,” ujarnya.

Hal itu membuktikan bahwa kesenian tradisional sejatinya masih diminati. ”Masyarakat punya rasa kangen dengan pertunjukan kebudayaan. Cuma, mereka kesulitan mendapatkan itu,” ucapnya.

Dengan sanggar miliknya, Akbar kini mampu mewujudkan cita-cita besarnya. Yakni, membantu pendidikan melalui program kesenian. ”Dulu, jarang sekali ada anak yang bisa menari di sekitar wilayah sanggar (Mojoarum). Tapi setelah adanya sanggar ini, sekarang sudah ada 100 anak yang pandai menari,’’ jelas pria kelahiran 7 Maret 1987 tersebut.

Makin Diminati Pasca Pertunjukan Perdana

Faida Annaila mendapat nomor induk 001. Bocah yang akrab disapa Naila itulah yang menjadi murid pertama di Sanggar Saraswati. Pertunjukan tari yang ditonton bersama kedua orang tuanya membuat siswi kelas V SDN 1 Blendis itu jatuh hati.

”Saya sendiri yang minta ke orang tua, apa boleh aku ikut sanggar? Bapak ibu lalu mencarikan sanggar yang bagus. Akhirnya, ya didaftarkan di sini (Sanggar Saraswati),” kata Naila.

Orang tuanya juga sangat mendukung. Apalagi dia tahu kebiasaan Naila sebelum bergabung dengan sanggar. ”Saya kalau di rumah biasanya cuma mainan HP. Kata bapak, itu juga tidak baik buat mata,” ungkapnya.

Bocah kelahiran 28 April 2014 itu akhirnya menguasai delapan jenis tari. Mulai beksan jatayu, gambyong, hingga tari dolanan. Dia juga telah dua kali juara lomba tari di Tulungagung.

Sepak Bola Adalah Seni

Pada pementasan Hari Raya Saraswati 28 September 2024, ada satu pertunjukan yang berbeda. Mantan pemain sepak bola tim nasional Evan Dimas diminta melakukan juggling di atas panggung. Akbar yang secara khusus meminta Evan melakukan pertunjukan itu. ”Karena bagi saya, sepak bola itu adalah seni,’’ katanya.

Apalagi, pemain asal Surabaya itu memang tinggal di Sanggar Saraswati. Dia sudah menjadi bagian keluarga besar sanggar.

Evan pun mengaku senang tampil nyentrik di panggung kesenian. Dia memakai celana jins, kaus lengan panjang, dan sepatu running, kemudian melakukan juggling. ”Saya takut bolanya tersepak ke arah penonton. Soalnya, agak susah juggling pakai celana jins,” kenang Evan, lantas terbahak.                

Evan pun kemudian mendirikan SSB Saraswati. Dia menjadi pelatih kepala. Siswanya adalah anak-anak di sekitar Desa Mojoarum. ”Pekan lalu masih ada 17 pemain yang bergabung. Alhamdulillah, sekarang yang rutin ikut latihan sudah ada 22 anak. Semoga terus bertambah,’’ ucap pemain jebolan Mitra Surabaya itu. (c6/dio/jpc/ays/jpg/ays/dek)

  • Bagikan