Provinsi Kepulauan Flores dalam Gerakan NTT Membelah Diri, Ancaman atau Tantangan?

  • Bagikan

Gaung NTT Membelah Diri terus menggema. Jejak perjuangan berdirinya Provinsi Kepulauan Flores (PKF) hingga kini telah memakan waktu lebih dari 67 tahun. Kongres/Mubes Rakyat Flores-Lembata pun digelar untuk kembali bangkitkan jejak perjuangan terdahulu. Melalui berbagai jejaring media sosial, keluarga besar Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Flores (P4KF) berkumpul
untuk satu tujuan, “Berdirinya Provinsi Kepulauan Flores paling lambat di Tahun 2028.”

Definisi pemekaran, dari berbagai teori, berarti membangun daerah administrasi/pemerintahan baru dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik dan percepatan proses pembangunan. Karena itu, beberapa calon daerah otonomi baru (DOB), akan ditinjau kesiapannya dengan menggunakan parameter Desain Besar Penataan Daerah yang meliputi dimensi geografis, demografis dan teknis.

Tetapi, yang menarik untuk dikaji dari ketiga parameter tersebut adalah dimensi teknis terkait pertumbuhan ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Keduanya menarik untuk ditinjau karena tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesiapan SDM sebagai tantangan calon DOB menghadapi ancaman kemiskinan.

Ancaman kemiskinan mungkin saja terjadi jika tingkat pertumbuhan ekonomi dan SDM tidak dikaji dengan baik. Beberapa studi terdahulu mengklaim bahwa ancaman kemiskinan tak lepas dari rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) sebagai akibat ketidakmampuan mengelola potensi sumber-sumber pendapatan daerah. Lambatnya gerak pertumbuhan ekonomi daerah (PAD) disebabkan karena kesiapan SDM yang belum memadai.

Keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pemekaran yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik dan percepatan proses pembangunan. Kesiapan infrastruktur pelayanan publik dan percepatan pembangunan sangat bergantung pada konsistensi pertumbuhan ekonomi daerah yang menjadi salah satu indikator dibentuknya DOB.

Konsistensi pertumbuhan ekonomi daerah dapat dikaji dengan berpedoman pada Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) kabupaten/kota dan
provinsi. Kajian IKF tersebut akan mengevaluasi rasio kinerja keuangan daerah (RKKD) dengan cara membandingkan total PAD terhadap ketergantungan dana perimbangan pemerintah pusat. Hasil evaluasi RKKD menentukkan kemampuan pengelolaan PAD untuk pembangunan infrastruktur pelayanan publik dan percepatan pembangunan DOB.

Evaluasi RKKD Provinsi NTT bisa digunakan sebagai rujukan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Dikutip dalam BPS NTT (2021), dimana akumulasi RKKD Provinsi NTT tahun 2020 terdiri dari PAD sebesar Rp 1,588,859,230, sedangkan Dana Perimbangan Rp 4,514,110,811 atau nilai RKKD 35,20% (Rendah).

Disamping itu, rincian APBD Provinsi NTT tahun 2020 terdiri dari PAD (25,58%), dana perimbangan (72,68%) dan sisanya 1,74% bersumber dari pendapatan lain yang sah. Untuk proses pembangunan, seperti dikatakan Sri Mulyani (2017), bahwa rata-rata 70% dari APBD habis digunakan untuk kegiatan rutin (belanja pegawai), sehingga anggaran pembangunan infrastruktur kurang dari 30%. Dengan kata lain, PAD Provinsi NTT perlu ditingkatkan untuk mempercepat proses pembangunan.

Demikian pula, percepatan pembangunan DOB masih bergantung pada APBD induk dan dana perimbangan pemerintah pusat. Regulasi terkait anggaran pembangunan DOB dibebankan pada APBN, PAD daerah induk, dana perimbangan dari daerah induk serta sumber pendapatan lain yang sah. Dengan menggunakan analisis rasio keuangan APBD untuk sembilan kabupaten calon DOB PKF, terlihat anggaran pembangunan infrastruktur pelayanan publik yang bersumber dari PAD masih sangat rendah. Karena itu, proses pembangunannya masih bergantung pada APBD induk dan APBN.

Seperti dikutip BPS NTT (2021), akumulasi total pendapatan sembilan kabupaten tahun 2018 sebesar Rp 8,978,711,646 dan tahun 2019 sebesar Rp 9,463,696,602. BPS NTT juga merilis pendapatan terendah tahun 2018 untuk Kabupaten Ngada (Rp. 761,773,721), sebaliknya tertinggi Kabupaten Ende (Rp. 1,251,378,591). Sedangkan, pendapatan terendah tahun 2019 untuk Kabupaten Nagekeo (Rp 792,635,806) dan tertinggi masih diperoleh Kabupaten Ende (Rp 1,257,657,080).

Dengan demikian, tantangan calon DOB PKF saat ini adalah meningkatkan PAD sebagai indikator gerak pertumbuhan ekonomi daerah. Indikator tersebut memiliki multiplier effect termasuk memicu investasi melalui penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA), misalnya investasi infrastruktur ekonomi untuk sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Lazimnya,
PMDN maupun PMA menggunakan skema “Public Private Partnership” (P3) sehingga dapat menghemat APBD dan tidak membebani APBN.

Cara ini juga memiliki dampak lain yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tantangan lainnya terkait kualifikasi SDM. Semakin tinggi kualifikasi pendidikan, semakin baik pula pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber pendapatan fiskal, misalnya melalui skema investasi P3. Data berikut menunjukan kesiapan SDM aparatur sipil negara (ASN) berdasarkan kualifikasi pendidikan di sembilan
kabupaten calon DOB PKF, dimana 3 ASN dengan kualifikasi Doktor (S3), 788 ASN dengan kualifikasi Magister (S2) dan 17.985 ASN dengan kualifikasi Sarjana (S1), belum termasuk ASN dengan kualifikasi SD, SLTP, dan SLTA, BPS NTT (2021).

Merujuk pada gerak pertumbuham ekonomi daerah dan kualifikasi SDM yang dimiliki, maka kesimpulan dan saran dirangkum terkait optimisme “Provinsi Kepulauan Flores dalam Gerakan NTT Membelah Diri”. Baik pemerintah pusat maupun provinsi induk, ingin memastikan calon DOB PKF telah mampu berperan sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Peran tersebut ditunjukan melalui
konsistensi pertumbuhan ekonomi daerah serta kesiapan SDM yang memadai sehingga pelayanan publik dan percepatan pembangunan untuk masyarakat yang sejahtera bisa terwujud. Kedua parameter tersebut sebagai tantangan calon DOB PKF menghadapi ancaman kemiskinan selama masa persiapan lima tahun ke depan (2022-2027). (*)

*) Pengajar/Penulis

  • Bagikan