GEREJA Katolik memulai tahun liturgi baru dengan merayakan masa Adven. Kata Adven bermakna penantian. Maksudnya menantikan kedatangan Mesias, baik dalam Pesta Natal maupun kelak pada hari kiamat.
Minggu kedua Adven bertema damai. Manusia diajak untuk berdamai dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri. Rekonsiliasi tiga dimensi ini dilakukan dalam rangka persiapan diri untuk menyambut kedatangan Kristus. Maka bacaan Mat 3:1-12 memperlihatkan tema damai dalam keseluruhan kisah. Tokoh Yohanes Pembaptis berperan sentral dalam warta pertobatan untuk didamaikan dengan Tuhan dan sesama, serta diri sendiri. Adven menjadi momen pendamaian atau rekonsiliasi tiga dimensi. Menanti Kristus di masa adventus kiranya menjadi momen pembaharuan diri untuk mengasihi secara sejati.
Inspirasi Injil
Teks Mat 3:1-12 menampilkan Yohanes Pembaptis yang menyuarakan pertobatan kepada publik Yerusalem, Yudea dan seluruh daerah sekitar Yordan.
Seruan pertobatan itu disusul dengan ajakan untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan. Tindakan simbolis pertobatan adalah pengakuan dosa dan pemberian diri untuk dibaptis. Baptisan Yohanes adalah penyucian manusia dari dosa untuk menyambut kedatangan Mesias. Dalam pembaptisan itu Yohanes juga memberikan pengajaran dan pewartaan tentang datangnya Mesias yang dinantikan publik Israel. Pengajaran Yohanes tertuju kepada kaum Farisi dan Saduki yang beberapa di antaranya datang juga untuk dibaptis. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari pengajaran ini. Yang pertama, sebutan kepada orang Farisi dan Saduki sebagai keturunan ular berbisa. Sebutan ini sungguh terasa kasar. Kaum Farisi dan Saduki pada masa itu mendapat tempat terhormat dalam masyarakat. Kaum Farisi memegang teguh Hukum Taurat dan melaksanakannya secara murni dan konsekuen, walaupun dalam praktik kelihatan kemunafikan mereka juga.
Yohanes rupanya tahu tentang isi dalam kebobrokan mereka, maka ia menyebut mereka keturunan ular berbisa. Demikian pula halnya kaum Saduki sebagai kaum imam yang melayani di Bait Allah. Mereka orang terhormat di hadapan masyarakat umum, tetapi juga terperangkap dalam keserakahan menguasai harta Bait Allah. Yohanes juga mengetahui keserakahan mereka dan praktik manipulasi yang dilakukan, maka sebutan keras ini ada alasannya.
Kedua, Yohanes tegaskan bahwa murka Allah berlaku bagi semua orang yang berdosa, termasuk kaum Farisi dan Saduki. Jika tidak bertobat, maka hukuman Allah ditimpakan kepada mereka. Intinya harus ada pertobatan untuk menghasilkan buah kasih dalam kehidupan.
Ketiga, tidak ada privilese sebagai anak Abraham dalam hal pertobatan. Kaum Farisi dan Saduki cenderung menuntut privilese dalam kehidupan sosial karena pelbagai alasan, termasuk alasan status sosial atau keturunan Abraham. Yohanes langsung menukik pada sasaran dengan menyatakan tidak ada keistimewaan lantaran keturunan Abraham. Semua dituntut yang sama yaitu bertobat. Bertobat berarti didamaikan dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri, dan dengan demikian dapat menghasilkan buah kasih, keadilan, damai sejahtera dalam hidup bersama.
Berkaitan dengan pewartaan mengenai kedatangan Mesias, Yohanes mengakui dengan rendah hati bahwa Mesias lebih tinggi kedudukannya dari pada Yohanes. Maka dia pun membuat perbandingan antara dirinya dengan Mesias yang akan datang itu. Pertama tentang pembaptisan, bahwa ia membaptis dengan air sebagai tanda pertobatan demi pendamaian dengan Tuhan dan sesama serta diri sendiri. Sedangkan Dia yang akan datang itu akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api.
Kedua, Yohanes memposisikan diri sebagai hamba yang tidak berkuasa, bahkan untuk membuka tali kasutpun ia merasa tidak layak. Salah satu pekerjaan seorang hamba adalah membuka tali kasut tuannya ketika tuannya datang atau tiba kembali di rumah sesudah melakukan perjalanan. Yohanes merendahkan diri di hadapan Mesias yang lebih berkuasa atas dirinya. Ini tanda kerendahan hati yang luar biasa.
Dari pengajaran maupun pewartaan tentang Yesus di atas, terlihat bahwa Yohanes pada dasarnya mengajak orang banyak untuk bertobat dan mempersiapkan diri menyambut kedatangan Dia yang akan segera datang dengan kekuasaan menghakimi. Peran Yohanes adalah mengetuk nurani untuk bertobat dan membaharui diri. Dengan pertobatan orang mengalami hidup baru. Hidup berdamai dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri. Ketika ada damai dalam diri, berkobarlah semangat kasih kepada Tuhan dan sesama. Relasi menjadi tertata dengan baik. Ada kerendahan hati dalam melayani Tuhan dan sesama.
Menghayati Tobat dan Mengasihi
Warta kitab suci di atas mengajak para murid Kristus untuk menghayati tobat dan kasih yang membawa damai sejahtera dalam kehidupan bersama. Yohanes memberikan inspirasi injili melalui seruan pertobatan, pengajaran dan pewartaannya tentang Mesias, tetapi juga melalui penghayatan kerendahan hati. Beberapa hal dapat direnungkan untuk dihayati dalam kehidupan kristiani di masa Adven.
Pertama, seruan pertobatan. Bertobat berarti meninggalkan dosa dan beralih kepada kehidupan yang baik dan benar sesuai kehendak Tuhan. Simbol penyucian diri dengan air mengungkapkan pembersihan jiwa dan seluruh diri dari cara hidup lama yang penuh dosa dan kesalahan. Dengan keadaan batin yang bersih, seseorang menjadi layak untuk menyambut kedatangan Tuhan di hatinya. Melalui pertobatan, orang mengalami batin yang damai, sebagai modal untuk berdamai dengan Tuhan dan sesama. Tobat mendamaikan manusia dengan Tuhan, sesama dan dirinya sendiri.
Kedua, konsekuensi pertobatan adalah berbuat kasih. Tobat membawa perubahan cara pikir, cara bertindak, cara hidup yang baru selaras kehendak Tuhan. Prinsip kasih menjiwai hidup yang baru. Maka orang yang bertobat menghayati satu kehidupan baru bernafaskan kasih. Dalam konteks Adven, seorang beriman menjalani tobat untuk menyiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan. Maka hidup baru ini diisi dengan perbuatan kasih, kebenaran, kebaikan yang membawa damai sejahtera bagi semua.
Ketiga, belajar dari kaum Farisi dan Saduki, tentang mentalitas kemunafikan, keserakahan, manipulasi, kecenderungan menuntut keistimewaan, kesombongan, maka perlu diwaspadai mentalitas ini dalam kehidupan baru. Mentalitas manusia lama ini wajib disingkirkan dari hati, agar hidup menjadi berarti bagi Tuhan dan sesama. Mentalitas ini menjadi peringatan supaya orang beriman terus-menerus menghayati tobat dan berbuat kasih dalam kehidupannya, terlebih dalam menyongsong kedatangan Tuhan.
Keempat, belajar dari Yohanes, yang rendah hati di hadapan Mesias yang didahuluinya. Yohanes menjadi contoh kerendahan hati dan tahu diri. Dia tidak sombong dan menganggap diri lebih utama. Sebaliknya dia menyadari siapa dirinya dan posisinya di hadapan Yesus. Dengan demikian para murid Kristus masa kini dapat belajar untuk selalu tahu diri, rendah hati, tahu menempatkan diri dalam kehidupan bersama.
Dalam rangka menantikan kedatangan Tuhan, jalan tobat yang disuarakan Yohanes sangat inspiratif dan relevan. Jalan tobat adalah jalan pendamaian diri kita dengan Tuhan dan sesama. Kita berdamai dalam diri, maka kita akan mampu berdamai dengan Tuhan dan sesama. Menanti Kristus di masa Adventus adalah aktivitas rohani yang dinamis dan terolah dalam proses tobat tanpa henti.
Dengan cara itu, disposisi lahir dan batin dimurnikan untuk siap menyambut kelahiran Juruselamat di hati. Damai di hati, damai di bumi. (*)
Rm. Siprianus S. Senda, Pr
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang