KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTT menjamin hak pilih orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam pemilu 14 Februari mendatang. Juru bicara KPU NTT, Yosafat Koli menjelaskan, perlakuan terhadap ODGJ dalam pemungutan suara sama dengan pemilih lainnya.
"Tentunya kita tidak berhak membatasi hak yang bersangkutan saat ini," ucap Yosafat, Rabu (17/1).
Ia menjelaskan, apabila ODGJ jenis disabilitas mental bagi ODGJ yang sudah asosial atau tidak dapat diarahkan lagi, maka tidak bisa dipaksakan.
"Kondisinya parah dan tidak bisa di atur dan kita tidak bisa arahkan, tentu tidak bisa paksakan," katanya.
Dia menyebut, dirinya tidak bisa mendeteksi ODGJ itu kambuh, tapi secara undang-undang mempunyai hak konstitusi. Meski begitu, pada hari pemungutan suara nanti, tidak ada pelayanan khusus untuk melayani ODGJ.
"Kalau mereka yang asosial itu yang kemudian, kalau tidak bisa susah. Rumusannya asosial ini belum ada. Tingkat keparahannya yang perlu dideteksi," terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Provinsi NTT, Yosef Rasi mengatakan, ODGJ memang jadi tugas tanggung jawab dalam hal ini dinas sosial tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan pusat.
Ruang dan kewenangan provinsi berkaitan dengan mengurus pelayanan sosial berkaitan dengan standar pelayanan minimal (SPM) dalam panti dan pelayanan ketika masalah bencana dan pascabencana.
"Berkaitan dengan ODGJ ini keadaan sosial yang berada di luar panti, kebanyakan berada di wilayah administratif di kabupaten/kota. Sehingga pendampingan ODGJ ruangnya ada di dinas sosial kabupaten/kota," katanya.
KPU dalam berbagai kegiatan sosialisasi, jelasnya, sudah mengundang stakeholder yang ada. Sehingga, pendampingan terhadap ODGJ itu ada di dinas sosial kabupaten/kota.
"Yang harus kita jalani pertama berkaitan dengan pendaftaran mereka dalam daftar pemilih, saat ini sudah pasti masuk dalam kategori DPT. Kita tinggal lihat ODGJ masalahnya apa, apakah gangguan jiwa, gangguan fisik atau gimana," terang Yosef.
Apabila ODGJ dapat berkomunikasi, maka tugas dinas sosial adalah memberikan gambaran terhadap hak mereka sebagai warga negara.
"Kalau bisa berkomunikasi, kita menyampaikan apa saja yang harus dia jalankan haknya dalam proses pemilu itu," tuturnya.
"Ini butuh satu proses pengumpulan mereka berdasarkan wilayah dari TPS-nya. Kita tidak bisa bekerja sendiri karena keterbatasan dari pelayanan sosial, maka kita kerja sama dengan RT/RW setempat agar mereka diarahkan," sambungnya.
Apabila bisa mencoblos, maka akan dituntun, apabila bisa membaca, maka akan dijaga sehingga ODGJ dapat mencoblos dengan baik.
"Kecuali dia buta itu kita dampingi. Itu kan tidak hanya dinas sosial sendiri, ada saksi dan petugas TPS, sehingga memberikan objektivitas, sekalipun ODGJ tapi dia bisa memilih seturut hati nuraninya," tambahnya.
Dia menambahkan, penanganan terhadap ODGJ harus benar-benar ekstra, dibutuhkan pelayan sosial yang memahami ODGJ dengan kondisi gangguan tertentu.
"Ini kan harus orang yang memahami untuk masuk ke dia dan dia bisa memahami bahwa dia punya hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya," jelasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek menyebut ODGJ diakomodir hak pilihnya dalam pemilu 2024. Kejelasan hak pilih ODGJ ditegaskan oleh MK bahwa penderita dapat memperoleh atau memiliki hak pilih sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen.
Elaborasi ketentuan ini lebih lanjut ditegaskan bahwa ODGJ yang berhak menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah ODGJ dalam panti asuhan atau di RS Jiwa. ODGJ di jalanan tidak termasuk dalam kelompok ODGJ yang memiliki hak pilih.
Selanjutnya, dipertegas lagi bahwa ODGJ dalam panti dan RSJ pun tidak otomatis memiliki hak pilih, namun diperiksa oleh kelompok profesional (dokter/psikiater) untuk menerangkan bahwa ODGJ tersebut layak menggunakan hak pilihnya.
"Guna menjamin hak pilih ODGJ, maka perlu kerja keras penyelenggara pemilu terutama KPU. KPU wajib berkoordinasi dengan dinas sosial dan RSJ untuk memperoleh daftar ODGJ yang berada di panti serta sedang di rawat di RSJ," jelas Urbanus.
Berdasarkan data-data tersebut, selanjutnya KPU melakukan validasi data ODGJ yang memiliki hak pilih untuk didaftar sebagai pemilih. Ketika pemungutan suara penyelenggara memastikan kelayakan ODGJ menggunakan hak pilihnya dan didampingi petugas, maka pendampingan oleh petugas/pekerja sosial itu baik di panti maupun di RSJ.
Dalam menggunakan hak suaranya dalam tahapan pemungutan suara, ODGJ di datangi petugas PPS khusus atau bila memungkinkan diantar ke TPS reguler.
"Keterjaminan hak ODGJ ini wajib dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara. Secara teknis operasional KPU wajib menyiapkan kelompok profesional, pendamping dan alokasi anggaran untuk itu," jelasnya.
Tindakan ini sebagai wujud mengawal hak pilih warga tanpa diskriminasi sesuai syarat bahwa WNI yang memiliki hak pilih adalah penduduk yang telah berusia 17 tahun dan atau telah kawin serta WN yang tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Sementara, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang mengatakan, semua warga negara dijamin haknya dalam politik, baik hak memilih dan hak untuk dipilih.
Ahmad mengatakan, dalam hubungan dengan hak pilih ODGJ selama ini terhindar dari perhatian publik. Sebagai ODGJ, adalah merupakan warga negara namun dari sisi kesadaran politik, ODGJ memiliki keterbatasan untuk menyalurkan aspirasi.
"Mereka tidak dapat ajakan untuk berpartisipasi dalam pemilu, karena keterbatasan referensi dan orientasi politik. Karena itu, kelompok ini sebaiknya dibebaskan dalam melaksanakan hak politiknya," jelasnya.
"Kalaupun mereka diberikan hak politik dalam pemilu, tentu dibutuhkan cara untuk membangunkan kesadaran politik. Mereka harus dipahami tentang cara menentukan hak pilih, melakukan pencoblosan dan sebagainya," tambah Ahmad.
Ahmad menilai, apabila ingin hak ODGJ tersalurkan, maka juga harus memahami akan kondisi psikologis mereka. (cr1/ays)