KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Pelaksanaan rekapitulasi hasil suara pemilihan umum tingkat kecamatan sempat ditunda beberapa waktu lalu, lantaran aplikasi Sirekap masih mengalami gangguan. Untuk itu, sejak kemarin dan hari ini 22 kabupaten/kota se-NTT secara serentak menggelar rekapitulasi pleno. Meskipun sempat mengalami kendala, namun pleno tetap menggunakan aplikasi Sirekap.
Ketua Divisi Teknis dan Penyelenggara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTT, Elyas Lomi Rihi mengatakan, penggunaan Sirekap dalam pleno di tingkat kecamatan sebagai alat bantu rekapitulasi. Meski begitu, Elyas menyebut, data di Sirekap tidak bisa dijadikan patokan. Sebab, data resmi hasil suara berpatokan pada formulir C Hasil.
Dia menjelaskan, Sirekap tidak bisa dijadikan patokan, karena itu pleno dilakukan secara manual. Sirekap memiliki kesalahan-kesalahan kecil yang dapat mengacaukan penghitungan suara. Misalnya, kata Elyas, adanya kesalah membaca data oleh Sirekap yang berbeda dengan C Hasil.
"Prinsip plenonya, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) mengeluarkan formulir C Hasil dari kotak, kemudian dibuka secara terang-terangan. Selanjutnya, PPS/PPK akan membacakan hasil dari C Hasil itu yang kemudian, saksi dan Panwas mencocokan data yang dibacakan dengan data yang didapatkan dari salinan C Hasil," ujar Elyas kepada Timor Express, Senin (19/2).
Apabila data yang ada di Sirekap berbeda atau tidak sesuai dengan data yang ada di C Hasil, maka data di Sirekap lah yang diperbaiki dan disesuaikan dengan C Hasil. Pasalnya, data yang akurat adalah C Hasil. Namun, apabila masih ada ketidaksesuaian data yang dipegang saksi dan Panwas dengan data yang ada di C Hasil, maka saat itu juga akan dilakukan perbaikan.
"Sesungguhnya, salinan C Hasil yang dimiliki oleh saksi dan Panwas merupakan salinan dari C Hasil yang besar itu. Kemudian, pada proses pemungutan suara yang terjadi kemarin, setelah KPPS melakukan penyalinan dari C Hasil ke salinan, kan terlebih dahulu diberikan untuk memeriksa kembali data yang di salinan dengan data yang ada di C Hasil. Tetapi, kalau pun besok masih ada yang tidak sesuai, maka disitu mereka akan melakukan pembetulan," katanya.
Elyas melanjutkan, kalau pun masih ada data yang tidak sesuai, maka sebagaimana tercantum dalam PKPU Nomor 5/2024, akan diberikan ruang untuk penghitungan ulang.
"Tetapi, itu kecil kemungkinan terjadi," sambungnya.
Elyas menjamin, berapapun suara yang diperoleh peserta pemilu, selama data yang dipegang adalah salinan C Hasil, maka suara tersebut tidak akan hilang. Apalagi, seusai rekapitulasi, data tersebut akan di print out dan diberikan kepada saksi dan Panwas untuk dilihat kembali.
"Jadi tidak ada yang tersembunyi dan tidak akan ada suara yang hilang," tegasnya.
Lanjutnya, berdasarkan rapat dengan KPU di 22 kabupaten/kota se-NTT, maka penundaan rekapitulasi yang sempat tertunda akan dimulai hari ini. Dirinya mengingatkan, apabila dalam pelaksanaannya akan menyita banyak waktu, maka dapat dilakukan Model Pleno Paralel dengan membuat 2-3 kelompok untuk menghemat waktu. Karena itu, harus disampaikan kepada partai politik untuk dapat menyiapkan saksi sejumlah model paralel tersebut.
Sementara itu, anggota Bawaslu Provinsi NTT, Magdalena Yunita Wake mengatakan, Sirekap merupakan salah satu alat kerja dalam penghitungan suara yang digunakan KPU. Sehingga, Sirekap bukan satu-satunya alat kerja. Dia menegaskan, C Hasil masing-masing TPS menjadi data dasar perekapan suara yang akan dikawal Bawaslu secara berjenjang.
Sementara, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang menilai, persoalan Sirekap merupakan masalah faktual dalam pemilu kali ini. Ahmad menyebut, KPU tidak memperhitungkan sumber daya manusia (KPPS), sebab tidak semua menguasai IT, juga ada keterbatasan jaringan dengan tingkat topografis wilayah yang rentan serta jaminan pasokan listrik yang tidak stabil, justru mengganggu proses pelaporan melalui Sirekap.
"Fenomena ini merupakan potensi kerawanan yang terjadi pada TPS, di mana faktor human error dapat berakibat pada kesalahan menginput data, yang bisa berdampak pada terjadinya kekeliruan bahkan kecurangan. Oleh karena itu, saat ini prosesnya bergeser dari TPS ke PPK di tingkat kecamatan supaya dipastikan agar tidak terjadi kesalahan sebagaimana di TPS," jelas Ahmad.
Dengan begitu, langkah yang diambil oleh penyelenggara untuk menghentikan sementara rekapitulasi di kecamatan dapat dipahami. Maka, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas perlu melakukan konsolidasi ulang dengan saksi partai untuk memastikan proses ini tidak menimbulkan kecurigaan publik.
"Bawaslu dan saksi partai politik, DPD dan capres harus membangun persetujuan bersama sebagai bentuk pertanggungjawaban publik," terangnya.
Disamping itu, Ahmad menjelaskan, Sirekap hanya berfungsi untuk meng-input data yang telah dihitung secara manual. Sehingga, meskipun ada Sirekap, namun tidak akan mengubah fungsi hitung manual di TPS.
"Maka yang dikhawatirkan bukan hitungan manualnya tetapi inputnya di Sirekap," tegasnya. (cr1/ays)