KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Peristiwa Covid-19 cukup membuat tatanan dunia banyak mengalami perubahan, sehingga setelah periode covid-19, semua mengalami proses recovery, dan secara penyakitnya sudah selesai, tetapi secara dampak pada perekonomian dapat dikatakan hampir selesai.
Pada waktu covid-19, semua negara di dunia, termasuk Indonesia memikirkan cara bagaimana membantu perekonomian negara, ekonomi masyarakat agar tetap bergerak.
Pada masa itu, semua negara menempuh cara agar bagaimana kebijakan fiskal bisa ekspansif, atau defisit anggaran lebih besar, anggaran semua difokuskan untuk kemanusiaan dan kesehatan.
Demikian disampaikan, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI Pusat, Ramdan Denny Prakoso, saat memberikan materi di Situs Hotel Kupang, Minggu (21/7).
Ramdan menjelaskan, kondisi itu juga membuat bank central di dunia memilih langkah untuk menurunkan suku bunga, untuk membantu secara likuiditas. "Dampak kebijakan ekspansif dari fiskal dan moneter akhirnya berdampak pada inflasi yang berlebihan di berbagai negara.
Sebelum covid-19, Amerika berbangga karena mempunyai target inflasi 2 persen, dan selalu tercapai, demikian juga Eropa. Namun setelah covid-19, Amerika dan Eropa alami inflasi bahkan pernah tercatat sebesar 10 persen.
"Sehingga bank-bank Sentral di dunia, dalam rangka mengamankan target inflasinya, dengan menaikan suku bunga kebijakan. Pada Desember 2020, suku bunga Amerika, hanya 0,25 persen. Karena inflasi yang sangat tinggi, dan menaikan suku bunga, agar inflasi kembali ke level 2 persen," jelasnya.
Ramdan mengatakan, Amerika pada Desember 2020 dengan suku bunga 0,25 persen, sekarang menjadi 5,25 persen, artinya dalam periode itu, Amerika menaikan suku bunga sebanyak 2.000 persen.
Berbicara Indonesia, yang pada Desember 2020, BI Rate nya 3,75 persen, sekarang mencapai 6,25. Memang naiknya sekitar 100 persen, tetapi masih lumayan dibandingkan Amerika.
"Jadi, dampak covid-19 sangat besar, terutama ke negara super power seperti Amerika dan Eropa. Sehingga ketika Amerika menaikan suku bunganya sebanyak itu, dampaknya kepada US Dollar, yang sangat super power atau menguat," jelasnya.
Berbicara tentang pergerakan nilai tukar, semua negara mengalami pelemahan, karena dollar yang semakin menguat.
"Jadi yang menjadi perhatian adalah kapan diturunkan suku bunga, dan banyak spekulasi, bahwa pada triwulan IV, atau September dan November, akan terjadi penurunan suku bunga," jelasnya.
Kegiatan ini diikuti oleh Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudensial (DKMP) BI Pusat, Nugroho Joko Prastowo, dan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT, Agus Sistyo Widjajati, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT, Pratyaksa Candraditya dan Manager DKMP BI Pusat, Vidi Adyatma Nugraha. (thi/dek)