Komunitas Akarpohon Mataram kembali menggelar Majelis Buku Tipis, sebuah perayaan tahunan yang dimulai sejak 2024. Acara ini juga menjadi penanda 15 tahun perjalanan komunitas tersebut.
SANCHIA VANEKA, Mataram
GAGASAN Majelis Buku Tipis berangkat dari keinginan mendokumentasikan karya-karya sastra yang jumlahnya terbatas, tetapi memiliki nilai yang pantas. Karya-karya tersebut, baik dari penulis generasi terkini maupun sebelumnya, perlu mendapat tempat dan dibukukan.
“Karena kuantitasnya terbatas, kami mengadopsi model extended play (EP) dari industri musik,” kata Tara, pemandu acara di hari kedua Majelis Buku Tipis.
Konsep "buku tipis" diibaratkan seperti rekaman EP atau mini album. Model ini dianggap sebagai solusi penerbitan bagi penulis generasi baru di Lombok serta untuk mendokumentasikan kembali karya-karya lama yang sebelumnya tersebar di berbagai publikasi lepas.
Tahun ini, Majelis Buku Tipis menerbitkan delapan buku, yakni Panaroma karya Zajima Zan, Hipertimesia karya Eyok El Abrorii, Rumah Rosa karya Ismawati Ahmad, Orang-Orang Selundupan karya Intan Soraya, Anjing Perawan karya Dian Havivia, Bilai karya De Galih Mulyadi, Sireh Buani karya Yasran Hadi dan Hari Pertama Menjadi Kucing karya Nuraisah Maulida Adnani.
Semua buku ini diluncurkan dan didiskusikan bersama dalam majelis yang berlangsung selama dua hari. Para pembicara berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka berkenalan dengan sastra serta proses kreatif dalam menulis karya mereka.
Pada sesi hari kedua, Dian Havivia yang akrab disapa Vivi berbicara tentang bukunya, Anjing Perawan. Ia ingin dikenal sebagai penulis yang "rebel" -berani menyoroti hal-hal yang menurutnya tidak sesuai.
"Vivi mau dikenal sebagai apa sih kalau menjadi penulis," tanya pemandu acara.
Vivi menjawab lewat karya-karyanya, termasuk lima cerpen dalam bukunya: Anjing Perawan, Bus Berhenti di Depan Kantor Polisi, Gendewa, Jeroan dan Makanan Surga.
Awalnya, Vivi tidak terlalu peduli dengan dunia menulis. Ketertarikannya muncul setelah melihat gurunya yang mahir menulis saat menjelaskan pelajaran.
“Saya tertarik kalau mendengarkan bagaimana guru saya yang pintar menulis menjelaskan pelajaran,” ucap Vivi.
Gurunya, yang akrab disapa Bang Ical, kemudian membimbingnya dalam menulis. Dari sana, Vivi mengembangkan gaya bercerita yang mencerminkan kegelisahan dan kritik sosial.
Selain Vivi, Eyok El Abrorii juga hadir dengan bukunya, Hipertimesia. Buku ini berisi lima cerpen, yakni Hipertimesia, Fatimah Tak Sempat Mengaji, Tuan Guru Senan, Warna Laut dan Taman Puputan.
Dalam karyanya, Eyok menyampaikan keresahan sosial yang dekat dengan dirinya, termasuk lingkungan tempat ia tumbuh dan dibesarkan.
"Lebih kepada isu-isu sosial, keresahan yang dekat dengan saya," ucapnya.
Salah satu cerpennya, Tuan Guru Senan, menggambarkan bagaimana sosok pemuka agama yang kurang memiliki landasan kuat tetap bisa menjadi pemimpin yang suaranya didengar. Sebuah kutipan dalam cerpen itu berbunyi:
"Pekerjaan apa pun dapat dipandang baik oleh Tuhan jika dilaksanakan dengan tujuan baik. Benar, kesejahteraan warga mulai membaik. Istri-istri mendapat penghasilan dari tamunya, suami-suami dari dominonya, bujang-bujang dari minuman oplosan yang dijual ke kampung-kampung tetangga. Tapi aku takut Tuhan marah, aku sudah mengajarkan hal yang salah".
Seperti Vivi, Eyok juga mengasah kemampuannya melalui Komunitas Rabu Langit.
Selain membahas isi buku, para penulis juga berbagi pengalaman tentang proses penerbitan karya mereka. Setiap sesi ditutup dengan pembacaan karya masing-masing.
Majelis Buku Tipis bukan sekadar perayaan sastra, tetapi juga upaya menjaga dokumentasi dan regenerasi penulis di Lombok. (r7/jpg/ays/dek)