Keserakahan Pangkal Kehancuran

  • Bagikan
Rm. Siprianus S. Senda, Pr

TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID - Ada beberapa ungkapan terkait kata pangkal sebagai titik mula sesuatu. Misalnya rajin pangkal pandai. Hemat pangkal kaya. Malas pangkal bodoh. Malas pangkal gagal. Dll. Semua ungkapan itu hanya mau menegaskan hubungan sebab akibat dari sebuah tindakan manusia. Tindakan baik yang dilakukan manusia akan bermuara pada kebaikan tertentu sebagai konsekuensi logisnya. Keburukan yang dilakukan manusia akan berakhir dengan keburukan tertentu sebagai akibatnya.

Demikian pula halnya dengan keserakahan. Manusia serakah cenderung mencaplok, merampas, menguasai, dan memiliki sendiri apa yang diingininya. Keserakahan menghasilkan pertikaian, permusuhan, pertentangan, bahkan pembunuhan dan pembinasaan. Manusia serakah condong menghalalkan segala cara untuk menguasai apa yang diinginkannya.

Bacaan Kitab Suci Minggu Biasa ke-18 Tahun C mengajak kita untuk merenungkan keserakahan manusia dan belajar untuk mewaspadai mentalitas buruk ini. Yesus memberikan pengajaran berharga melalui perumpamaan yang sangat mengena.

Inspirasi Injil Luk 12:13-21

Perikop ini berbicara tentang ajaran Yesus mengenai sikap terhadap kekayaan. Ajaran ini muncul sebagai tanggapan terhadap permintaan seseorang kepada Yesus untuk menjadi hakim atas perkara perebutan harta warisan. Ajaran Yesus disampaikan lewat perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Kebodohan di sini bukanlah bermakna kurangnya kapasitas intelektual, melainkan sikap tidak bijaksana.
Dalam perkara sosial orang Yahudi zaman itu, biasanya orang meminta Ahli Taurat yang menguasai seluk beluk hukum Taurat dan implementasinya, untuk menyelesaikan perkara. Ahli Taurat menjadi hakim dan memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya tentang Hukum Taurat. Kepakarannya dalam hukum memberi legitimasi baginya untuk menjadi guru yang mengajar sekaligus tempat konsultasi hukum dan pengambilan keputusan berdasarkan hukum.

Rupanya orang tersebut mengira bahwa Yesus adalah Guru seperti kebanyakan Ahli Taurat yang mengajar dan menerapkan Hukum Taurat dalam kehidupan, termasuk dalam penyelesaian perkara tertentu. Dengan demikian dia belum sampai pada iman akan Yesus sebagai Tuhan. Baginya Yesus sama seperti Ahli Taurat lainnya yang bisa dimintai nasihat hukum dan keputusan atas perkara tertentu.

Tentu saja Yesus menolak permintaan itu. Yesus tidak mau menjadi hakim atas perkara pertikaian memperebutkan harta warisan itu. Justeru kesempatan itu digunakanNya untuk pengajaran Injil yaitu sikap yang benar dalam mempergunakan harta dunia atau kekayaan material. Yesus meminta orang banyak untuk berwaspada terhadap keserakahan yang menjadi pangkal pertikaian, perkelahian dan bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Keserakahan atau ketamakan adalah pangkal kehancuran relasi dan kehidupan sosial.

Ajaran Yesus melalui perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh atau tidak bijaksana memperlihatkan sebuah contoh mengenai nasib orang serakah yang egois, ingat diri, tertutup, dan lupa Tuhan. Orang ini bukan bodoh dalam arti kurang kapasitas intelektual. Dia malah cerdas, punya kemampuan merancang keberhasilan dalam usaha, strategi rasional menggapai sukses. Yang kurang padanya adalah iman akan Allah dan kepedulian pada sesama. Di sinilah letak sikap kurang bijaksana itu. Pikirnya, hidupnya tenang dan bahagia atas usahanya sendiri, tanpa campur tangan Tuhan dan bantuan sesama. Hidupnya terpusat pada dirinya sendiri. Dia menjadi tuhan dan tuan atas kehidupannya. Dia merasa nyaman dengan kecerdasannya mengelola usahanya tanpa peduli akan Tuhan dan sesama. Sangat kental terlihat sikap arogan, serakah, egois, egosentris, kikir, ateis, anti sosial. Dia lupa bahwa hidupnya bergantung pada Tuhan yang mahakuasa, sumber rezeki, sumber kehidupannya. Pada akhir perumpamaan Yesus menampilkan penghakiman Tuhan atas dirinya. Dia mati malam itu juga, dan sia-sialah usahanya yang kental beraroma keserakahan, nafsu harta, kesombongan. Keserakahannya berujung kehancuran, kebinasaan, kehampaan di hadapan Tuhan. Dia miskin di hadapan Tuhan, pemilik kehidupan.
Tipe manusia serakah ini dipakai Yesus sebagai peringatan bagi orang banyak, termasuk si pengadu tersebut. Bahwasanya keserakahan dan kekayaan dunia tidak membawa manusia pada kesejatian hidup. Yesus meminta para pendengarNya untuk mewaspadai ketamakan atau keserakahan.

Relevansi Kristiani

Keserakahan adalah akar dari sikap merampas hak orang lain, mencaplok, menguasai, memiliki secara tidak adil. Keserakahan menyebabkan relasi manusiawi menjadi retak. Ada pertikaian, permusuhan, perkelahian, bahkan sampai pada pembunuhan.

Melalui perumpamaan tentang orang kaya yang tidak bijaksana, Yesus mengajarkan pentingnya hidup yang tidak melekat pada harta kekayaan, tetapi berserah pada penyelenggaraan ilahi. Nasib orang kaya yang tidak bijaksana itu berakhir kehampaan. Segala upayanya sia-sia, karena Tuhan menentukan nasibnya yang berbeda dengan harapan dan rancangannya. Keserakahan dan kekikirannya tidak membawa dia pada kenyamanan dan ketenangan menikmati usahanya. Sebaliknya ia mati tanpa menikmati hasil usahanya. Itulah nasib orang serakah dan kikir; orang egois yang lupa Tuhan dan sesama.
Peringatan Yesus jelas: hati-hati dengan keserakahan. Bila hati dikuasai olehnya, maka perilaku seperti orang kaya yang tidak bijaksana dapat terjadi. Relasi dengan Tuhan diabaikan. Relasi dengan sesama berantakan. Kemelekatan akan harta kekayaan menutup mata hatinya. Ia buta secara spiritual dan juga secara moral-sosial. Orang yang terjebak dalam keserakahan sesungguhnya buta hati, buta iman. Pada titik itu, hanya ada kehampaan makna hidup.

Para murid Kristus masa kini hendaknya mewaspadai mentalitas manusia serakah. Manusia serakah yang terungkap dalam bacaan injil ini memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: egois, egosentris, ateis, arogan, kikir, asosial. Sifat-sifat seperti ini membuat relasinya dengan Tuhan terabaikan. Orang yang jauh dari Tuhan akan juga jauh dari sesama. Relasinya dengan sesama menjadi rusak oleh pertentangan, pertikaian, permusuhan, konflik kepentingan, dll. Di mana kserakahan berkecamuk, di situ cinta kasih disingkirkan. Di mana tak ada cinta kasih, di situ hanya ada kejahatan. Tak ada damai sejahtera, solidaritas, kepedulian, hormat akan kehidupan manusia, dan takut akan Tuhan. Jika semuanya ini nihil, maka hidup adalah neraka.

Maka melalui perumpamaan itu Yesus menegaskan pentingnya cinta kasih untuk menepis keserakahan. Cinta kepada Allah dan sesama memungkinkan manusia bijaksana mengelola hidup kaya arti di hadapan Tuhan. Segala harta kekayaan yang diperoleh diyakini sebagai anugerah dari Tuhan dan dimanfaatkan dengan benar sesuai kehendak Tuhan untuk kebaikan dirinya dan sesama.

Dalam kehidupan yang menekankan penguasaan dan pemilikan kekayaan material sebagai tujuan hidup, pengajaran Yesus ini menjadi rambu-rambu yang tetap relevan. Makna hidup yang sejati tidak pernah datang dari keserakahan. Tetapi hidup yang berarti datang dari hati yang bijaksana dan penuh kasih terhadap Tuhan dan sesama.

Rm. Siprianus Soleman Senda, Pr
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

  • Bagikan