Demi Kemanusiaan, Jepang Hibah 200 Vial Obat Gagal Ginjal Akut untuk Indonesia

  • Bagikan
ILUSTRASI. Gagal ginjal akut. (FOTO: JawaPos.com)

JAKARTA, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Upaya Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mendatangan obat penawar gangguan ginjal akut terwujud. Sebanyak 200 vial obat gangguan ginjal, Fomepizole berukuran 1,5 ml telah tiba di Indonesia. Obat ini didatangkan dari Jepang dan merupakan donasi dari PT Takeda Indonesia.

Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, obat tersebut keluar langsung dari bandara pada pukul 02.00 WIB dini hari pada Sabtu (29/10) setelah melewati proses di bandara. Obat itu langsung dikirim ke instalasi Farmasi Pusat. “Hibah ini dilaksanakan dengan itikad baik atas nama kemanusiaan untuk kepentingan kesehatan anak Indonesia,” ujar Nadia kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (29/10).

Nadia mengatakan, Kemenkes melalui Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan akan mendistribusikan obat tersebut sesuai kebutuhan ke seluruh rumah sakit rujukan tingkat provinsi di Indonesia. “Obat antidotum ini akan diberikan secara gratis kepada seluruh pasien di Indonesia,” tegasnya.

Nadia menjelaskan, 10 dari 11 pasien gangguan ginjal akut yang mengonsumsi obat sirup yang diduga tercemar senyawa kimia tertentu berangsur membaik kondisinya setelah diberi obat ini selama dalam perawatan di rumah sakit rujukan RSCM. Tiga orang anak sudah tidak membutuhkan ventilator dan satu orang sudah dipulangkan.

“Bisa disimpulkan bahwa obat ini (Fomepizole) memberikan dampak positif untuk pengobatan pasien gangguan ginjal akut,” ucapnya.

Sebelumnya, diketahui bahwa Indonesia telah mendatangkan Fomepizole dari Singapura, Australia dan Jepang. Selanjutnya, kata ia, obat gagal ginjal akut itu akan datang dari Amerika Serikat.

“Ini upaya yang kita lakukan untuk melakukan pencegahan peningkatan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal. Kita akan didistribusikan ke seluruh rumah sakit pemerintah yang merawat pasien gangguan ginjal akut,” tandasnya.

Belum KLB

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy memastikan biaya pengobatan pasien gagal ginjal akut seluruhnya akan ditanggung pemerintah.

Pengadaan Fomipezole sebagai obat penawar keracunan EG dan DEG, dari berbagai sumber seperti Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan Jepang sedang digencarkan. Saat ini sudah tersedia 20 vial dan stok masih akan bertambah. “Presiden tegas. Itu gratis ditanggung pemerintah. Semuanya,” kata Muhadjir kepada wartawan, Sabtu (29/10).

Muhadjir menuturkan, pada rapat terbatas soal kasus gagal ginjal akut yang sebelumnya telah digelar bersama Presiden Jokowi, para menteri diminta untuk menangani kasus ini dengan serius.

Peredaran obat yang diduga menjadi penyebab kasus gagal ginjal harus dihentikan sementara, sambil menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Selain itu, eksplorasi terhadap seluruh faktor risiko penyebab kasus gagal ginjal, baik dari sumber obat-obatan maupun potensi penyebab lainnya harus dilakukan. Pemerintah berkomitmen akan terus melakukan berbagai upaya pencegahan dan pengobatan kasus gagal ginjal akut pada anak.

“Presiden juga setuju untuk segera menindak hukum pidana kepada produsen obat dengan kandungan EG dan DEG diluar ambang batas. Kita harus memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat agar mereka mendaparkan kepastian dan rasa aman dan nyaman, tidak hanya pendekatan akademik saja tapi juga memahami suasana kebatinan masyarakat,” jelasnya.

Saat ini, Mabes Polri telah membentuk tim khusus untuk mengusut dugaan pidana terkait kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang telah menyebabkan ratusan anak meninggal dunia. Tim tersebut dipimpin oleh Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter), Brigjen Pipit Rismanto.

Sementara itu, kasus gagal ginjal belum bisa ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti yang didesak oleh Ombudsman dan Epidemolog. Alasannya, penetapan KLB memiliki payung hukum tertentu.

“Perlu dikaji lebih dalam. Jika tidak menimbulkan eskalasi yang luas saya pikir kita cukup tangani secara cepat dan maksimal dan semua obat sirup yang menggunakan 4 jenis pelarut itu tidak boleh diedarkan dulu, karena alhamdulillah saat ini kasusnya menurun,” tutupnya. (JPC/JPG)

  • Bagikan