Enam Tahun Terakhir, Rumah Perempuan Kupang Tangani 1.469 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak

  • Bagikan
Ilustrasi kekerasan terhadap anak.

Korban Kekerasan Seksual Belum Sepenuhnya Diberikan Keadilan

KUPANG,TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Tema kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2022, merefleksikan potret kekerasan terhadap perempuan dan anak yang cukup tinggi.

Catatan Rumah Perempuan Kupang/SSP Kupang selama 6 Tahun terakhir yakni tahun 2016-2021 terdapat 1.469 kasus kekerasan terhadap Perempuan dan anak dengan jenis kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT menempati urutan pertama sebanyak 565 kasus.

Diurutan kedua adalah kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), sebanyak 232 kasus. ketiga Kekerasan seksual sebanyak 201 kasus, keempat Anak Membutuhkan perlindungan khusus (AMPK) sebanyak sebanyak 130 kasus, Kelima Kekerasan lainnya sebanyak 129 kasus, Keenam kasus Ingkar Janji Menikah (IJM) sebanyak 115 kasus.

Ketujuh, Penganiayaan sebanyak 80 kasus dan Kedelapan Kasus Buruh Migran sebanyak 1 kasus.

Ketua Rumah Perempuan/SSP Kupang, Libby Sinlaeloe, mengatakan, catatan pendampingan Rumah Perempuan periode Januari hingga Oktober 2022, tercatat 127 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan rincian 65 kasus KDRT, 9 kasus IJM, 32 kasus kekerasan seksual, 5 kasus penganiayaan dan 16 kasus kekerasan lainnya.

Jumlah kasus ini bukan merupakan representative angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di NTT, ibarat fenomena gunung es, dimana yang muncul dipermukaan masih sangat sedikit karena pengetahuan dan kesadaran dan keberaniaan orang untuk melaporkan kasus masih rendah.

Libby Sinlaeloe, mengatakan, korban juga sudah mengakses layanan dari lembaga penyedia layanan yang melakukan pendampingan dan advokasi terhadap kasus perempuan dan anak.

Refleksi Pendampingan Rumah Perempuan, kata Libby, beberapa faktor yang yang masih terjadi dalam masyarakat yakni masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang di pendam bahkan di kubur diam-diam oleh korban maupun keluarga karena ketidak berdayaan korban dan keluarga membawa kasusnya kepermukan.

Hal ini, kata Libby, disebabkan oleh cara pandang yang menganggap tabuh untuk membicarakan kekerasan kepada pihak lain, layanan yang di butuhkan cukup jauh dan terbatas, biaya yang cukup tinggi karena jarak korban dan layanan yang di butuhkan sangat jauh.

"Selain itu, minimnya perlindungan saksi dan korban, minimnya dukungan semua pihak terhadap korban termasuk keenganan masyarakat untuk menjadi saksi dan sehingga persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini juga merupakan venomena gunung es, banyak terjadi namun sedikit yang mencuat ke permukaan," kata Libby saat diwawancarai usai melakukan kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Selasa (6/12).

Libby menjelaskan, kekerasan seksual membawa trauma seumur hidup hingga kematian. Kasus kekerasan seksual tercatat 201 kasus.

Dampak Kekerasan seksual mendatangkan penderitaan seumur hidup bagi korban hingga meregang nyawa korban.Dikatakan, dari 201 kasus kekerasan seksual terdapat 198 kasus korbanya adalah anak. Dampak dari kasus ini tercatat 5 kasus yang korbanya meninggal, 24 lainya hamil dan menjadi orangtua sebelum waktunya, 8 orang putus sekolah.

"Secara umum korban mengalami gangguan alat reproduksi seperti kerusakan alat reproduski dan teriveksi kasus IMS," katanya.

Libby mengaku, penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan belum memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

Beberapa hambatan dalam proses penanganan kasus yang dijumpai adalah dukungan masyarakat untuk bersaksi atau menjadi saksi untuk proses hukum masih terbatas, bahkan masih ada praktek menyelesaikan kasus kekerasan secara adat dan bahkan menikahkan korban dengan pelaku.

"Gambaran proses ini tentu tidak memberikan rasa keadilan bagi korban bahkan hak-hak korban lebih banyak terabaikan," tegasnya.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, dari tahun 2016 sampai 2021, tercatat ada 24.786 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Ini menggambarkan potret buram kondisi perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Linda berharap, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan(HKTP) ini di harapkan dapat menjadi amunisi untuk semua elemen memberi ruang dalam pemenuhan hak bagi perempuan dan anak korban kekerasan termasuk juga dapat meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender.

"Juga dapat memperkuat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Membangun kerjasama dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Mengembangkan metode yang lebih efektif dalam gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menunjukkan solidaritas kelompok perempuan dan menekan serta menggugah pemerintah untuk melaksanakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan," tandasnya.

Beberapa agenda yang dilakukan Rumah Perempuan Kupang, mengkampanyekan HKTP, diantaranya, pemasangan spanduk di jalan umum, kampanye melalui media sosial, dialog Radio dan sosialisasi tentang Perlindungan Anak di SMPN 11 Kota Kupang. (r2)

  • Bagikan