Bahaya TikTok Politik

  • Bagikan
Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. (FOTO: ISTIMEWA).

Oleh: Sugeng Winarno

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

TikTok dipakai untuk konten politik, gak bahaya tah? Menurut penulis, ini bahaya. Sebab, pesan komunikasi yang muncul lewat TikTok sejatinya semu. Realitas yang dihadirkan para pengunggah pesan di TikTok kebanyakan juga realitas yang berlebihan (hyperreality). Hal inilah yang menjadikan konten TikTok bisa menipu dan tak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Di sinilah bahaya TikTok, terutama TikTok politik di tahun politik saat ini.

TikTok diluncurkan pada 2016 di Tiongkok dan dapat diakses secara internasional sejak 2017. Melansir data dari We Are Social, jumlah pengguna TikTok di dunia diperkirakan mencapai angka 1,09 miliar per April 2023 dengan mayoritas pengguna atau 38,5 persen berusia 18–24 tahun. Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna TikTok terbesar kedua di dunia pada April 2023. Setidaknya ada 113 juta pengguna medsos ini di dalam negeri. Sementara, Amerika Serikat di posisi pertama dengan 116,5 juta pengguna.

Kehadiran medsos kini telah menyita waktu banyak penggunanya. Data terkini menunjukkan bahwa pengguna medsos menghabiskan waktu 23 jam 28 menit dalam sebulan untuk mengakses TikTok. Saat ini TikTok menempati urutan pertama diakses orang, menyusul YouTube yang diakses 23 jam dan 9 menit, Facebook selama 19 jam 43 menit, WhatsApp selama 17 jam 3 menit, dan Instagram selama 12 jam.

TikTok Politik

Dalam kontestasi politik, penggunaan TikTok telah banyak dimanfaatkan tim sukses partai politik dan simpatisan kontestan politik. Kini TikTok semakin ramai digunakan menuju kontestasi Pemilu 2024. Saat ini saja perang narasi antar pendukung kandidat yang berkontestasi politik sudah mulai gaduh. Aneka unggahan dalam wujud teks, infografis, meme, foto, dan video dari para simpatisan terus bermunculan. TikTok bakal menjadi media yang perkasa dalam memengaruhi massa politik.

Dalam Pemilu 2024, jumlah pemilih muda dengan usia 17–39 tahun dipercaya mendominasi daftar pemilih dengan proporsi mendekati 60 persen. Kondisi ini menjadikan semua kandidat berperang merebut hati para pemilih yang mayoritas generasi muda. TikTok adalah media yang tepat untuk mendekati kaum muda. TikTok bakal menjadi salah satu panggung yang paling banyak diperebutkan sekaligus patut diwaspadai.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berbicara di acara TikTok Southeast Asia Impact Forum di Jakarta pada Kamis (15/6/2023). Luhut menyatakan, penggunaan TikTok untuk kampanye politik perlu dilakukan tanpa politik identitas. Munculnya kekhawatiran terjadi banalitas kampanye di medsos dari sejumlah pihak cukup beralasan mengingat pengendalian kampanye di medsos memang sangat sulit.

Tanpa pengawasan yang tepat, TikTok berpotensi menjadi tempat berkembang biak bagi para aktor politik dan tentara siber (cyber armies). Cyber armies adalah kelompok individu yang terorganisasi dan terlibat dalam aktivitas siber dengan tujuan memengaruhi opini publik dan melakukan perang siber.

Karena itu, TikTok perlu meningkatkan sistem moderasi kontennya untuk membatasi propaganda di platformnya. TikTok juga harus meningkatkan algoritma AI dan machine learning dengan set data yang beragam untuk meningkatkan deteksi propaganda. Melalui pendekatan yang komprehensif dan proaktif, diharapkan TikTok dapat menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan inklusif selama pemilu.

Realitas Hiper

Sejatinya penggunaan platform TikTok dalam politik bukan tanpa masalah. TikTok muncul memfasilitasi eksistensi seseorang melebihi esensinya. Realitas yang ditampilkan lewat TikTok sejatinya merupakan realitas hiper dan semu. Hiperrealitas merupakan sebuah ungkapan yang dikonsepkan Jean Baudrillard dalam bukunya yang berjudul Simulacra and Simulation. Secara harfiah, hiperrealitas bisa dimaknai sebagai sebuah kondisi yang melampaui realitas.

Menurut Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hipersemiotika, dalam hiperrealitas kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dan dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dunia hiperrealitas sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas lewat permainan tanda yang melampaui kenyataan sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang ditampilkan ulang.

Penggunaan aplikasi TikTok juga mengaburkan realitas itu sendiri. Kenyataan bisa direkayasa sedemikian rupa di TikTok sehingga hanya menjadi citra dan kehilangan kontak dengan realitas. Yang justru muncul adalah realitas yang seperti diangankan, bukan realitas yang nyata. Kesadaran memahami realitas semu dengan kenyataan yang sesungguhnya inilah yang sering menimbulkan persoalan serius. Orang akan hidup dalam situasi kepura-puraan.

Kondisi inilah yang sebenarnya berbahaya, terutama penggunaan TikTok dalam urusan politik. TikTok telah mendangkalkan cara berpikir manusia. Melalui media maya ini, manusia selalu dijejali dengan citra-citra semu dan palsu. Tak jarang, orang tampil justru bertolak belakang dari kenyataan dirinya. Orang bisa menjadi orang lain dan bukan dirinya sendiri.

Kenyataan inilah yang menjadikan TikTok politik sangat berbahaya. Kesadaran bahwa realitas yang diusung TikTok adalah realitas yang berlebihan dan semu perlu ditanamkan kepada masyarakat agar para calon pemilih dalam kontestasi politik tak lantas tertipu, salah memilih orang, dan ujung-ujungnya kontestasi politik menjadi tak ubahnya membeli kucing dalam karung. (*)

  • Bagikan