Dakwaan Tidak Jelas, Anthony Nitti Susanto Bebas Demi Hukum, Begini Kata PH

  • Bagikan
KETERANGAN PERS. Penasehat hukum terdakwa Anthony Nitti Susanto, Harry Pandie (kanan) dan Rydo Manafe (kiri) ketika memberikan keterangan pers menanggapi putusan sela dari Majelis Hakim PN Kelas 1A Kupang, Sabtu (12/8). (FOTO: INTHO HERISON TIHU/TIMEX).

Diduga Ada Upaya Lobi-lobi JPU ke Hakim

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Kasus penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) Tahun 2018 di Kabupaten Sabu Raijua dengan terdakwa Anthony Nitti Susanto tengah menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, perkara yang melibatkan pengusaha ternama di Kota Kupang itu berakhir batal demi hukum.

Melalui eksepsinya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Kupang memutuskan untuk menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dinyatakan batal demi hukum.

Putusan sela perkara nomor: 104/Pid.B/2023/PN.KPG, Senin (7/8) lalu tersebut juga memerintahkan JPU untuk membebaskan terdakwa sebagai tahanan Kota.

Terhadap putusan tersebut, JPU diduga melakukan lobi-lobi untuk mendaftarkan kembali perkara tersebut dan disarankan oleh majelis hakim untuk upaya perlawanan sesuai batas waktu yang diatur dalam KUHAP.

Belakangan beredar informasi tentang adanya upaya penolakan majelis hakim terkait adanya penolakan untuk pelimpahan perkara tersebut oleh Kejaksaan Negeri Sabu Raijua ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang. Pada hal secara aturan, Pengadilan tidak berhak atau tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara yang dilimpahkan Jaksa.

Menanggapi hal ini, Harry Pandie dan Rydo Manafe selalu penasehat hukum (PH) terdakwa menegaskan dalam pertimbangan hukumnya oleh Majelis Hakim, menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum karena salah menerapkan pasal.

Ia menjelaskan, dalam surat dakwaan JPU tidak mencantumkan pasal dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2020, tentang cipta kerja yang merubah pasal 55 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, Tentang Minyak dan Gas Bumi.

Padahal apabila penuntut umum mencantumkan pasal 55 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2020, tentang cipta kerja maka akan terlihat jelas adanya perbedaan pengaturan delik pidana yang sangat fundamental antara kedua pasal tersebut.

"Bahwa sebelumnya pasal 55 Undang-undang nomor 22 tahun 2001 hanya mengatur delik pidana tentang penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah dalam hal ini yang dimaksud bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah dalam pasal 55 undang-undang nomor 22 tahun 2001 adalah BBM dengan merek dagang Premium yang di subsidi pemerintah," jelasnya.

Lanjut Harry Pandie, pengaturan delik tentang bahan bakar minyak khusus penugasan pemerintah (JBKP) dalam hal ini Pertalite, bahan bakar gas dan atau Liquefied Petroleum Gas (LPG) merupakan delik baru yang diatur dalam pada pasal 55 undang-undang 11 tahun 2020 tentang cipta kerja.

"JPU dalam menyusun surat dakwaan telah menetapkan unsur delik yang ditentukan dalam Peraturan pengganti undang-undang (Perpu) nomor 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja, yang mana Perpu nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja belum berlaku pada saat terjadinya tindak pidana yang disangkakan ke klien kami," pintanya.

'Sebab dalam uraian tentang waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) menurut JPU dilakukan oleh terdakwa sejak tahun 2018 sampai dengan April 2022, sedangkan Perpu Nomor 2 tahun 2022 baru ditetapkan menjadi undang-undang nomor 6 tahun 2023 tentang cipta kerja tanggal 31 Maret 2023," tambah Harry.

Menurut pertimbangan itu, hakim dalam putusan selanya, sejalan dengan asas legalitas sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan".

"Dengan demikian, sudah tepat dan benar pertimbangan hukum Majelis Hakim yang berpendapat bahwa dakwaan JPU tidak cermat dan jelas, sehingga batal demi hukum," terang Harry Pandie.

Pihaknya juga menegaskan Pengadilan Negeri Kupang agar tetap menolak upaya pendaftaran kembali perkara yang menyeret kliennya, sebab tidak mungkin satu perkara yang sama terdapat dua putusan pada tingkatan Pengadilan yang sama, dengan putusan yang berbeda.

"Sesuai dengan informasi dan berita-berita yang berkembang bahwa ada upaya JPU untuk mendaftarkan kembali perkara ini. Sedangkan tidak ada aturan yang mengatur bahwa suatu perkara diputus dua kali," pintanya menanggapi isu yang berkembang.

Terpisah, Kasi Penkum Kejati NTT, A.A Raka Putra Dharmana menjelaskan pihaknya membantah adanya upaya mendaftarkan ulang perkara tersebut dengan nomor yang sama.

Ia menegaskan pihaknya juga tidak melakukan upaya hukum atas putusan sela majelis hakim namun penuntut umum melimpahkan berkas perkara baru dalam perkara yang sama.

"Jadi langkah yang kita lakukan itu, bukan upaya hukum. Jadi setelah dilakukan teliti ada kekeliruan di dakwaan kami. Jadi sesuai dengan hukum acara kita bisa limpah lagi," ujarnya.

Raka Putra menambahkan, walaupun eksepsi terdakwa melalui penasihat hukum sebelumnya diterima majelis hakim yang mengadili perkara tersebut, kini pihaknya melimpahkan perkara yang sama.

"Sebelumnya batal demi hukum adalah dakwaan unsurnya, kita koreksi dakwaan saja setelah itu kita limpah ulang lagi. Jadi surat-suratnya yang diperbaiki nomornya, dan kita limpah ulang," beber Raka Putra Dharmana yang baru menjabat Kasi Penkum Kejati NTT itu.

Juru Bicara (Jubir) PN Kelas 1A Kupang, Murtadha Mberu menyebut pada dasarnya pengadilan dan hakim sesuai undang-undang tidak dibolehkan untuk menolak perkara, hal itu dibuktikan dengan PN Kupang tidak memiliki alasan untuk menolak berkas perkara.

"Jadi pada dasarnya pengadilan dan hakim tidak boleh atau tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara. Jadi kita tidak punya alasan yang cukup untuk itu," ujarnya di PN Kupang, Senin (14/8).

Ia menjelaskan bahwa benar sebelumnya pihaknya mengadili perkara tersebut dengan menyatakan dakwaan batal demi hukum pada sidang lanjutan dengan agenda sidang putusan sela beberapa waktu lalu.

Dari putusan tersebut, JPU dipersilahkan untuk melakukan upaya hukum perlawanan sesuai ketentuan yang berlaku atau melimpah ulang perkara.

"Pendapat kami dari pengadilan kalau memang mau upaya hukum masih memungkinkan, kalau tidak harus daftar baru dengan nomor yang baru. Untuk melanjutkan perkara yang sudah diputus walaupun putusan sela, sudah tidak bisa karena sudah melewati batasnya," tandasnya.

Ditambahkan, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 28 Tahun 2022, perkara yang batal demi hukum pada putusan sela, penuntut umum dapat mengajukan kembali satu kali. Namun dalam proses persidangan penasihat hukum terdakwa mengajukan eksepsi yang sama sesuai nomor perkara yang sebelumnya, maka majelis hakim akan mengabaikannya dan akan masuk dalam pemeriksaan pokok perkara.

"Apabila disaat persidangan kuasa dari terdakwa ini mengajukan eksepsi yang sama, maka majelis mengabaikan hal itu dan masuk langsung pada pokok perkara." Tandas Mberu. (r3)

  • Bagikan