Pdt. Yandi Manobe: Sinode GMIT Harus Beradaptasi dan Bertransformasi

  • Bagikan
Pdt. Yandi Manobe saat memberi keterangan di Paradoxx Cafe, Jumat (6/10). (FOTO: RESTI SELI/TIMEX)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) harus berbenah dalam menghadapi dunia yang terus mengalami perubahan. Pasalnya, apabila tidak beradaptasi dan bertransformasi, maka gereja tidak akan mampu mempertahankan eksistensinya.

Hal itu dikemukakan Pendeta (Pdt) Yandi Manobe kepada Timor Express, di Kupang, Jumat (6/10) lalu.

Menurutnya, GMIT perlu melakukan beberapa cara untuk menghadapi hal tersebut. Pertama, GMIT harus merespon setiap problema kehidupan yang terjadi. Kedua, gaya gereja ketika merespon harus benar-benar bergaya seperti gereja yang ada Tuhan di dalamnya, dan tidak mengeksploitir untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Ketiga, kata Pdt. Yandi, sistem di GMIT sudah sangat jelas, sebab ada buku tata gereja yang mengatur seluruh sistem itu dengan baik. "Gereja menghasilkan banyak sekali hal, tapi kita belum mampu untuk mensosialisasikan dengan baik. Hanya di tataran tertentu orang yang tahu sistem itu, jadi tidak sampai ke jemaat, sehingga muncul banyak pertanyaan," tegas Pdt. Yandi.

Gereja, demikian Pdt. Yandi, memiliki dua urusan penting, yaitu jasmani dan rohani jemaatnya. Secara rohani diatur tentang ibadah, pastoral, dan keimamatan. Sementara jasmani, gereja bertanggung jawab menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di tengah dunia. Tanda tersebut berkaitan dengan pemerintahan Allah yang penuh kasih, keadilan, dan cinta.

Pdt. Yandi menegaskan, dalam menjalankan dua tanggung jawab tersebut, GMIT menghadapi berbagai persoalan. Spiritualitas menjadi permasalahan pertama. Baginya, gereja jangan hanya mementingkan pencitraannya tetapi harus mampu mempertemukan teologi dan etika di tengah masyarakat.

Masalah kedua, lanjut Pdt. Yandi, berkaitan dengan pemahaman tentang pokok-pokok eklesiologi GMIT. Tambahnya, tujuan, visi, dan misi GMIT telah tergambar jelas, namun GMIT masih terbatas pada sosialisasi.

"Kalau sosialisasi benar, maka apa yang diketahui oleh pendeta sama dengan yang diketahui jemaat. Karena di pokok eklesiologi juga menyangkut pokok ajaran GMIT yang belum semua orang GMIT tahu. Kantor sinode saja belum tentu semua orang GMIT tahu," kata Pdt. Yandi.

Masalah ketiga ada pada homiletika atau ilmu berkhotbah. Pdt. Yandi katakan, di GMIT ada empat pejabat gereja, yakni pendeta, penatua, diaken, dan pengajar yang setara. Namun, tak jarang ditemui masih banyak pendeta yang belum mampu menarik atau pun mempengaruhi jemaat untuk fokus mendengarkannya.

"Pendeta khotbah saja masih banyak jemaat yang tidak mau dengar apalagi dengan yang tidak bikin apa-apa. Hasilnya ada banyak anggota GMIT yang tidak menetap di GMIT atau bahkan ada perpindahan anggota GMIT, yang seharusnya ini sudah di titik meresahkan," tegas Yandi.

Hal tersebut, lanjutnya, akibat komunikasi atau cara berkhotbah yang masih konvensional. Di zaman yang semakin canggih, gereja harus mampu beradaptasi dengan dunia digital.

Bagaimana memanfaatkan media sosial sebagai wadah berkhotbah. Gereja harus berkreasi untuk menciptakan teknik-teknik pengajaran yang kreatif, diikuti dengan kemampuan komunikasi yang harus dibenah. Menarik perhatian dan mempengaruhi massa adalah kemampuan komunikasi yang harus dimiliki.

"Harus punya kreatifitas lebih, mampu adaptasi dengan medsos. Jadi, pendeta itu harus mengandaikan jemaat ada di depan kamera. Komunikasi kita harus lebih di atas rata-rata, kalau tidak orang tidur," katanya.

Selain itu, kolaborasi. Pdt. Yandi mengungkapkan, gereja telah menerapkan kolaborasi sejak dahulu, yaitu persekutuan. Karena itu, ia mendorong agar GMIT harus mampu berkolaborasi, memberikan porsi yang sama kepada setiap orang untuk berbicara tentang persekutuan, sehingga tidak menjadikan pihak tertentu menjadi superior.

"Sekarang komitmen untuk ada disitu, kolaborasi bersama. Ketika berbicara tentang gereja, semua orang harus diberikan kesempatan untuk berbicara. Kepintaran terbatas, tidak ada satu orang yang tahu semua, harus belajar memberi telinga, mata, dan kesempatan agar orang juga menjadi penting dalam kepentingan gereja dan jemaat," urainya.

Untuk itu, Yandi menyebut, terdapat dua hal yang perlu digebrak. Pertama, tetap berdasarkan pada gaya gereja dengan pendekatan sesama saudara. Kedua, kolaborasi. Sebab, pergumulan yang dihadapi ada begitu banyak dan tidak dapat dikerjakan sendiri. Karena itu, orang yang terpilih mengetuai GMIT nanti adalah orang yang mampu memberi jawaban terhadap pergumulan masa kini.

"Harus berusaha untuk ada di jaman ini, karena dunia telah berubah bahkan sangat cepat. Kalau terus konvensional, saya kira tidak bisa. Orang yang mendukung kita harus akrab dengan ini," tegasnya.

Selain itu, juga tetap berfokus pada kebutuhan jasmani dan rohani jemaat. Secara jasmani bagaimana belajar untuk mengembangkan ekonomi dengan membentuk kelompok pertanian, dan sebagainya

. Hal itu agar ketika jemaat ingin belajar, bisa datang ke GMIT. Untuk rohani, Pdt. Yandi mengatakan, GMIT harus menyediakan tempat untuk belajar tentang nyanyian GMIT, ibadah, liturgis maupun ajaran apapun itu, bisa datang ke GMIT sebagai bengkel teologi. "Supaya yang rohani dan jasman sama-sama berjalan. Berimbang," tuturnya.

Karena itu, dengan segudang pengalaman yang telah diketahui publik NTT, nasional bahkan hingga internasional, Pdt. Yandi bertekad untuk memajukan GMIT di tengah tantangan dunia yang terus menerpa. (Cr1)

  • Bagikan