PDIP Sedang Bermain Dua Kaki

  • Bagikan

Gibran Masih Berstatus Kader PDIP

KUPANG, TIMEX - Gibran Rakabuming Raka telah menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) dari Prabowo Subianto yang berasal dari Koalisi Indonesia Maju (KIM). Meski Gibran merupakan kader PDIP, namun hingga

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri tak kunjung memecat Gibran.

Padahal, dalam beberapa kali tampil di publik, Megawati terus menegaskan kader yang bermanuver dan bermain dua kaki, keluar dari partai. Namun, ketegasan tersebut belum juga diberikan kepada Gibran yang secara resmi menjadi bacawapres Prabowo.

Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang kepada Timor Express, Kamis (25/10) menilai, PDIP memiliki aturan main untuk itu. Jika Gibran yang menjadi bacawapres Prabowo telah mendapat restu dari Megawati, maka Gibran tentu masih menjadi kader PDIP.

"Namun sebaliknya, jika keputusan Gibran menjadi bacawapres Prabowo di luar sepengetahuan atau belum mendapat izin dari PDIP, maka hal ini sebagai sebuah pelanggaran etik dan konstitusi partai," kata Ahmad.

Terhadap hal itu, belum dapat dilihat secara pasti apa sikap PDIP, apakah akan memberikan teguran, pemecatan atau bahkan merestui. Menurutnya, PDIP sangat berhati-hati dalam mengambil langkah, sebab Jokowi masih menjadi Presiden.

PDIP tampak gusar di depan publik atas langkah politiknya Gibran, namun yang terjadi di belakang masih menjadi misteri yang tidak dapat dijangkau oleh publik. Apabila Gibran merasa tidak nyaman dengan PDIP, maka langkah paling elegan adalah mengundurkan diri. Namun, hingga kini Gibran belum melakukannya, sehingga yang mengetahui secara pasti apa yang terjadi adalah Gibran dan PDIP itu sendiri.

Ahmad menyebut, bisa jadi PDIP juga sedang bermain dua kaki, sebab Gibran masih berstatus kader PDIP.

"Membiarkan Gibran Rakabuming Raka menjadi bacawapresnya Prabowo, maka dapat diduga bahwa bukan saja Jokowi yang main dua kali, tetapi boleh jadi PDIP juga sedang bermain dua kaki," tuturnya.

Dalam hitungan politik, dua pasangan calon yang didalamnya ada kader PDIP, jika salah satunya menang, apakah Ganjar atau Prabowo, maka akan menguntungkan PDIP.

"Jika PDIP membuang peluang Gibran dan hanya fokus pada Ganjar, maka PDIP akan kehilangan kesempatan berkuasa jika yang menang bukan Ganjar dan akan kembali menjadi oposisi sebagaimana pada zaman SBY," pungkas Ahmad.

Karena itu, menurut Ahmad, PDIP masih melihat momentum dan tidak dalam waktu dekat atau bahkan setelah pilpres, barulah memutuskan. Jika Gibran kalah, maka akan langsung dipecat, namun apabila sebaliknya, maka PDIP tidak akan mengambil tindakan apapun dan Gibran tetap kader PDIP.

Sementara menurut pengamat politik dari Undana, Lasarus Jehamat, menjaga suara elektoral jauh lebih utama ketimbang sibuk memecat kader untuk saat ini. Sebab, setiap pemecatan selalu diikuti dampak tertentu.

"Jika proses pemecatan Gibran dilakukan, akan dibaca dalam dua jalan. Pertama, Gibran akan ditempatkan sebagai korban dan itu merugikan PDIP. Kedua, memecat Gibran tanpa ada efek politik tertentu," ujar Lasarus.

Menurutnya, PDIP saat ini tengah bermain di posisi aman sembari menjaga elektabilitasnya. Apabila memecat Gibran akan mempengaruhi hilangnya basis suara pemilih, maka PDIP tidak akan melakukannya.

Lasarus menyebut, PDIP sedang tidak bermain dua kaki, melainkan sedang melakukan politik terukur agar tidak mempengaruhi elektabilitas di 14 Februarai 2024 nanti.

"Ini lebih ke soal playing victim atau berlagak menjadi korban sebetulnya. Kan nanti Gibran dianggap sebagai korban. Itu yang bahaya malah," tegasnya.

Sementara itu, menurut dosen Ilmu Politik, Yohanes Jimmy Nami, figur Gibran tidak terlepas dari peran Jokowi dalam tubuh PDIP. Jimmy menuturkan, hubungan antara PDIP dan Jokowi adalah simbiosis mutualisme.

"PDIP merupakan partai yang membesarkan dan mengorbitkan Jokowi dalam kancah politik Indonesia, juga PDIP yang mendapatkan elektoral profit dengan branding Jokowi yang begitu kuat," kata Jimmy.

Karena itu, posisi Gibran tidak dapat dianalisis tunggal tanpa menghadirkan Jokowi sebagai aktor utamanya. Gibran tidak bisa dipandang sepihak tanpa melihat kedekatan Jokowi dan PDIP.

"Pecat memecat, kembalikan KTA itu hanya prosedur teknis yang tidak mempengaruhi substansi dari relasi yang cukup intim antara Jokowi dan PDIP. Jadi tidak ada pengaruhnya jika itu terjadi atau tidak," tegasnya.

Jimmy melihat, manajemen partai tidak melulu hitam putih, siapa yang dianggap merugikan akan didisiplinkan dalam ukuran batasan tertentu dan kalkulasinya sejauhmana proses tersebut mempengaruhi partai secara institusi.

"Jadi tidak bisa dibandingkan antara satu kader dengan kader lainnya karena punya investasi politik yang beda, perlakuan juga beda. Bisa dilihat dari sikap Gibran terhadap PDIP atau sebaliknya saat ini," tutup Jimmy. (cr1/ays)

Editor: Linda Makandoloe

  • Bagikan