Gereja Harus Jadi Penyembuh Iman

  • Bagikan
EFRENDI NABEN/TIMEX PENGALUNGAN. Suasana acara pengalungan selendang kepada para undangan yang hadir dalam ibadah pembukaan Persidangan Majelis Kota Kupang Timur, Selasa (30/1).

Pembukaan Persidangan GMIT Kupang Timur

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID- Persidangan Majelis Kota Kupang Timur resmi dibuka. Mengusung tema "Lakukan Keadilan, Cintai Kesetiaan, dan Hidup Rendah Hati di Hadapan Allah," kegiatan inj berlangsung sukses dan meriah, Selasa (30/1).

Acara yang digelar di Gedung Kebaktian Jemaat GMIT Genesaret Danau Ina Lasiana ini menjadi momentum bersejarah bagi Persidangan Jemaat GMIT Kupang Timur. Sesuai rencana, persidangan ini akan berlangsung selama tiga hari yakni Selasa-Kamis (30/1-1/2).

Dalam sambutannya, Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Samuel Pandie menekankan tentang pentingnya menghidupi apa yang diutarakan oleh PGI tentang pergumulan gereja-gereja di Indonesia. Ia mengajak para hamba Allah untuk menghidupi spiritualitas keugaharian, mempertimbangkan bahwa cukuplah untuk segala hal dalam hidup, termasuk makanan, minuman, dan berkat yang Tuhan berikan.

"Bukan soal kita mau menjadi miskin atau tidak, tapi kita harus mengatakan cukup untuk segala sesuatu dalam hidup ini. Termasuk cukup untuk gaji, tanpa perlu tunjangan tak terduga atau terkejut. Terutama, cukuplah untuk semua yang diperoleh," ungkap Pdt. Samuel.

Pdt. Samuel menekankan bahwa kecukupan ini tidak hanya berlaku pada hal-hal materi, namun juga mencakup kejujuran. Pdt. Samuel menyatakan bahwa mulut-mulut para Hamba Allah yang penuh dengan kebohongan tidak disukai oleh Tuhan. Ia menyoroti paradoks bahwa meskipun kita berperan sebagai tabib yang menyembuhkan, kita sendiri bisa terluka, sehingga Spiritualitas Keugaharian harus dihidupkan.

Menambahkan perspektifnya untuk Gereja GMIT, Pdt. Samuel mendorong agar gereja bersuara lebih keras dan menggeser posisinya menjadi penyembuh dalam kehidupan.

"Melalui persidangan yang dilakukan secara rutin, saya berharap cukup satu program yang direncanakan untuk satu tahun, dengan fokus pada mengumpulkan potensi dan sumber daya untuk mantapkan program tersebut," tegasnya.

Sementara Pdt. Yahya Milu dalam khotbahnya mengungkapkan bahwa gereja harus menjadi tempat untuk merangkul dan mendengar teriakan orang-orang kecil, seperti Bartimeus. Ia menegaskan bahwa nama gereja hanya akan tetap harum jika gereja mampu mendengarkan teriakan dari pinggir-pinggir, bukan hanya di pusat gereja.

Menurut Pdt. Yahya, persidangan ini merupakan kesempatan dan momentum untuk belajar mendengar teriakan orang-orang kecil.

"Nama Gereja tidak akan harum lagi apabila orang-orang kecil, biasa, buta itu masih berada di pinggir-pinggir dibandingkan di pusat gereja," tandasnya.

Ia menekankan bahwa melalui persidangan, gereja harus dapat mengembangkan kepekaan untuk mendengar teriakan dari tempat-tempat sulit, jauh dan dalam krisis.

"Dalam persidangan, penting untuk memperluas cakupan perhatian kita terhadap suara-suara dari tempat-tempat sulit dan terpencil yang tengah menghadapi krisis. Dengan demikian, program-program yang disusun selama persidangan harus dirancang agar mampu merespons dan mendengar teriakan-teriakan tersebut," tambahnya.

Dengan semangat ini, persidangan Majelis Kota Kupang Timur diharapkan tidak hanya menjadi forum diskusi, tetapi juga panggung untuk merajut keadilan, cinta kesetiaan, dan hidup rendah hati di hadapan Allah. (cr3/gat)

  • Bagikan