Syarat Administratif Tidak Boleh Gugurkan Hak Pilih

  • Bagikan
John Tuba Helan

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Hingga 31 Januari 2024, terdapat sebanyak 111.851 masyarakat NTT belum memiliki e-KTP dan belum melakukan perekaman e-KTP. Hal itu menjadi tantangan baru dan dapat memunculkan potensi-potensi yang mengganggu kelancaran pemilu.

Pakar Hukum Tata Negara dari Undana, John Tuba Helan kepada Timor Express, Minggu (4/2) mengatakan, syarat administratif tidak boleh menghapus hak politik rakyat. Apapun syarat yang ditentukan oleh undang-undang harus tetap menghormati hak masyarakat dalam memilih, karena hak memilih adalah hak dasar.

"Karena itu, dokumen lain seperti kartu keluarga dan surat keterangan boleh dijadikan dasar untuk memilih," jelas John.

Ia menegaskan, undang-undang mewajibkan memilih dengan menggunakan e-KTP merupakan hal yang salah. Sebab, faktanya masih banyak warga negara belum memiliki e-KTP.

"Sama halnya membatasi mereka yang tidak memiliki KTP elektronik dalam menggunakan hak pilih. Sesungguhnya, syarat administratif tidak boleh menggugurkan hal prinsip yakni hak memilih," tegas John.

Dosen Ilmu Politik Undana, Yohanes Jimmy Nami menyampaikan, hak politik warga dilindungi undang-undang (UU). Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memastikan hak politik warga dapat dijalankan sesuai ketentuan UU.

"Terkait masih banyak warga yang secara administratif terancam tidak bisa menjalankan hak politiknya perlu dicarikan jalan keluarnya," terang Jimmy.

Salah satu caranya adalah perlu perekaman secara kolektif dengan kesiapan infrastruktur yang memadai, baik dari sumber daya manusia (SDM) maupun teknis.

"Pemilu tinggal hitungan hari, perlu kerja ekstra agar jalannya perekaman e-KTP bisa maksimal. Ini juga bisa jadi upaya strategis bukan hanya untuk pemilu tapi juga pilkada dan kebutuhan administrasi lainnya," tambahnya.

Pengamat Politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek menyampaikan, sebenarnya masalah tersebut dapat diminimalisir ketika KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu melakukan sosialisasi secara sungguh-sungguh untuk mengantisipasi hal itu.

Menurut Urbanus, penyelenggara berkoordinasi dengan pemerintah ketika melakukan pendaftaran pemilih. Data pemilih yang didaftar termasuk didalamnya telah mengantisipasi usia penduduk (anak) yang pada saat pendaftaran belum berusia 17 tahun, namun pada 14 Februari 2024 berusia 17 tahun.

"Kelompok pemilih potensial ini wajib didaftar sebagai peserta pemilu sementara. Solusi apapun yang diambil penyelenggara pemilu di NTT, wajib mendapat arahan dari KPU pusat," jelasnya.

Dikatakan, KPU Provinsi NTT tidak dibenarkan secara parsial mengambil keputusan diluar regulasi dan panduan pedoman dari KPU pusat. KPU sebagai penyelenggara membolehkan penggunaan KK sebagai pengganti e-KTP untuk mendaftar sebagai peserta pemilu.

Dasar argumentasinya adalah untuk mengawal hak pilih warga negara dan meningkatkan partisipasi politik pemilih dalam pemilihan umum. Langkah ini dipandang cukup progresif, namun berimplikasi serius dan rumit.

"Persoalan rumit akan dihadapi pada tataran operasionalnya di lapangan. Kerumitannya terletak pada verifikasi dan validasi dokumen identitas diri yang digunakan sebagai pengganti e-KTP. Persoalan seriusnya adalah keabsahan penggunaaan KK sebagai pengganti e-KTP tersebut belum memiliki payung regulasi sebagai pendasaran dan berefek pada saling gugat-menggugat," jelasnya.

Bila merujuk pada regulasi pemilu lanjut Urbanus, belum mencantumkan penggunaan KK sebagai pengganti e-KTP bagi pemilih. Bahkan, merujuk pada keputusan MK terkait pasal penggunaan e-KTP ini pun belum eksplisit mengatur bahwa KK dapat digunakan sebagai pengganti bukti identitas diri dalam mendaftar sebagai peserta pemilih dan DPT.

"Dengan demikian bila pemilih potensial diakomodir akan berbuntut  menimbulkan kegaduhan. Para pihak yang kalah atau merasa dirugikan menuding bahwa terjadi manipulasi  dalam proses pemungutan suara, bahkan menuding KPU tidak netral atau mendukung pihak tertentu," ucapnya.

Untuk mengatasi hal itu, salah satu langka strategis yang diperlukan adalah KPU mengambilkan kebijakan strategis. Kebijakan strategis dalam waktu pendek ini dikeluarkan keputusan KPU sebagai dasar untuk mengakomodir KK sebagai pengganti e-KTP untuk mendaftar sebagai peserta pemilu.

KPU melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan seluruh elemen  yang ikut dalam kontestasi pemilu. Koordinasi itu dibutuhkan agar keputusan yang diambil tersebut didukung oleh segenap elemen yang terlibat baik, parpol, calon perorangan maupun paslon capres-cawapres agar keputusan tersebut bukan sebagai inisiatif KPU saja, namun didukung segenap elemen yang ikut dalam kontestasi pemilu 2024.

Sementara itu, menurut pengamat politik Unmuh Kupang, Ahmad Atang menyebut, salah satu syarat seseorang dinyatakan memiliki hak pilih adalah identitas diri yang dibuktikan dengan adanya KTP.

Dengan KTP akan diketahui batas usia pemilih, alamat domisili dan sebagainya. Apabila seseorang walaupun sudah dewasa dengan usia di atas 17 tahun tidak mempunyai hak untuk memilih jika tidak memiliki e-KTP.

Berangkat dari kenyataan tersebut, menurut Ahmad, maka akan terjadi golput, di mana masyarakat tidak melaksanakan hak politik dalam pemilu, yakni untuk memilih bukan karena disengaja tapi karena tidak mempunyai e-KTP.

"Terhadap kasus seperti ini perlu ada upaya paksa. Hal ini dilakukan untuk memastikan dan menjamin tersalurnya hak kedaulatan," kata Ahmad.

Terkait pemilih merupakan domain KPU sebagai penyelenggara, KPU harus memberikan kepastian terhadap hak pilih publik. Jika diketahui bahwa masyarakat masih banyak yang belum memiliki e-KTP, maka perlu ada upaya jemput bola.

KPU harus melakukan sosialisasi dan bekerja sama dengan kependudukan dan catatan sipil untuk menyisir warga yang belum memiliki hak pilih.

Dengan begitu akan teridentifikasi besaran masyarakat yang belum memiliki e-KTP. Namun, masyarakat juga diimbau untuk secara mandiri menginisiasi mengurus e-KTP, karena e-KTP bukan saja untuk kepentingan pemilu tapi ada banyak urusan yang didasarkan pada e-KTP.

Terkait surat keterangan dari dukcapil, Ahmad menilai hal itu sangat selektif, maka tidak semua orang boleh mendapatkan kecuali dengan alasan yang kuat.

"Jadi, pemerintah memberikan suket pada orang tertentu tidak dianggap sebagai potensi kecurangan. Masalah dasarnya adalah mengapa masyarakat tidak mengurus e-KTP elektronik sebagai dasar identitas diri," terangnya.

Maka, suket bukan pilihan, namun hanya mengatasi masalah agar warga bisa menggunakan hak pilih, namun dengan dasar yang kuat tentunya. (cr1/ays)

  • Bagikan