Apa yang Terjadi Jika Masyarakat tidak Lagi Mau Membayar Pajak?

  • Bagikan
ILUSTRASI. Pajak. (FOTO: ISTIMEWA)

Oleh: Syamsul Hidayatullah *)

Baru-baru ini masyarakat dihebohkan oleh kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang berinisial MDS, yang juga merupakan anak dari pegawai pajak berinisial RAT. Pasalnya, MDS pada saat itu mengendarai mobil mewah Jeep Rubicon. Sikap angkuh dan perilaku memamerkan harta kekayaan keluarganya menimbulkan kekesalan dan kecurigaan di masyarakat.

RAT diduga memiliki harta kekayaan tidak wajar dan tidak sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disampaikannya. Kekayaan RAT disebut-sebut mencapai Rp 1,2 triliun. Masyarakat menilai bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak mungkin memiliki harta sebanyak itu. Kasus ini pun memicu gerakan tolak bayar pajak dari sebagian masyarakat.

Selain itu beredar komentar-komentar di media sosial seperti: “Percuma bayar pajak hanya memperkaya pegawai pajak”, “Setiap tahun sudah bayar pajak motor dan tanah, tapi masih saja dikorupsi”, “Semua dikenakan pajak, makanan, barang, tanah, motor, tapi pembangunan tidak merata”, dan masih banyak lagi komentar dari netizen.

 Pajak Apa Saja yang Sudah Anda Bayarkan?

Keresahan yang timbul di masyarakat wajar saja terjadi. Hal tersebut merupakan bentuk keprihatinan dan protes terhadap pengelolaan uang pajak yang sudah masyarakat bayarkan.

Ada banyak sekali jenis pajak di Indonesia. Berdasarkan lembaga pemungutnya, pajak dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Singkatnya, Pajak Pusat dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan digunakan untuk kepentingan negara yang lebih besar. Sedangkan Pajak Daerah dikelola Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Jenis-jenis pajak pusat antara lain adalah:

  1. Pajak Penghasilan (PPh)
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  4. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) 
  5. Bea Materai

Sedangkan jenis-jenis pajak daerah antara lain adalah:

  1. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2)
  2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  3. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  4. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
  5. Pajak Hotel dan Restoran
  6. Pajak Reklame
  7. Pajak Air Tanah
  8. Pajak Hiburan

Namun apakah Anda tahu bahwa tidak serta-merta semua harta atau barang dikenakan pajak? Tidak semua subjek pajak wajib membayar pajak dan tidak semua objek pajak dikenai pajak.

Sebagai contoh Pajak Penghasilan, untuk wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya masih di bawah ketentuan yaitu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak dikenaki pajak. PTKP untuk orang pribadi tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan (TK/0) adalah 54 Juta Rupiah dalam satu tahun. Dalam kata lain penghasilan di bawah 4,5 Juta Rupiah per bulannya tidak dikenakan pajak.

Contoh lainnya, Pajak Pertambahan Nilai, juga dikenakan hanya pada Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang ditentukan. Untuk kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, tidaklah dikenakan PPN.

Sedangkan Pajak Daerah, masyarakat hanya akan membayar pajak atas objek yang digunakan atau diperoleh manfaatnya. Sebagai contoh Pajak Kendaraan Bermotor dibayarkan atas motor yang dimiliki. Pajak Restoran dikenakan ketika seseorang makan di Restoran tersebut.

Masyarakat kecewa terhadap institusi, boleh-boleh saja. Namun di sisi lain, kekecewaan tersebut tidak seharusnya mendorong masyarakat untuk tidak membayar pajak. Sampai dengan saat ini, penerimaan pajak masih menjadi penopang utama dalam APBN. APBN sendiri digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan pemerintah di bidang pelayanan publik, infrastruktur, subsidi, bantuan sosial dan lain-lain.

Dilansir dari laman Kementerian Keuangan, persentase penerimaan pajak terhadap pendapatan negara pada APBN dalam 3 tahun terakhir cukup besar.

  1. Tahun 2020: Pendapatan Negara Rp 1.647,8 T, Penerimaan Pajak Rp 1.285,1 T (77,99%)
  2. Tahun 2021: Pendapatan Negara Rp 2.011,3 T, Penerimaan Pajak Rp 1.547,9 T (76,96%)
  3. Tahun 2022: Pendapatan Negara Rp 2.626,4 T, Penerimaan Pajak Rp 2.034,5 T (77,46%)

Pada APBN 2022, Realisasi Belanja Negara adalah Rp 3.090,75 T sehingga APBN defisit sebesar Rp 464,33 T. Pemerintah akhirnya melakukan Pembiayaan Anggaran sebesar Rp 583,54 T.

 Bagaimana Jika Masyarakat tidak Lagi Mau Membayar Pajak?

Menurut data DJP, jumlah wajib pajak terdaftar pada tahun 2022 mencapai 52,7 juta wajib pajak yang terdiri dari 48,9 juta orang pribadi dan 3,8 juta badan.

Proporsi Realisasi Pajak Penghasilan dalam APBN 2022 adalah sebesar 895,1 T (36,7% dari Penerimaan Negara). Jika 52,7 juta wajib pajak tersebut tidak lagi mau membayar pajak dalam sektor pajak penghasilan saja, maka akan menambah defisit APBN dan Pembiayaan Anggaran akan menjadi Rp 1.478,64 T.

Defisit APBN bukan perkara gampang. Hal tersebut akan memiliki dampak yang luas seperti:

  1. Menambah beban utang negara. Pinjaman yang diambil untuk menutup defisit APBN akan menambah jumlah utang negara yang harus dibayar kembali beserta bunganya di masa depan. Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 7.733,99 triliun pada akhir Desember 2022. Sedangkan rasio Utang Luar Negeri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada pada kisaran 30,1%. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ditetapkan batas rasio utang pemerintah yakni 60% terhadap PDB. Desisit APBN tidak boleh terus dibiarkan begitu saja. Rasio utang negara harus tetap dijaga dan memperhitungkan kemampuan membayarnya.
  2. Menurunkan kredibilitas negara. Defisit APBN yang tinggi dan berkelanjutan dapat menurunkan kredibilitas atau kepercayaan investor dan lembaga keuangan internasional terhadap kemampuan pemerintah untuk mengelola keuangan negara dengan baik.
  3. Menghambat pertumbuhan ekonomi. Rendahnya pendapatan negara mengakibatkan perekonomian melemah. Hal ini karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai belanja produktif seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan inovasi teknologi. Realisasi Transfer ke Daerah APBN 2022 mencapai 816,24 T (26,4% dari Belanja Negara). Ditambah lagi APBD yang merosot menghambat pembangunan di daerah.
  4. Meningkatkan ketimpangan sosial. Tingginya belanja negara akibat meningkatnya subsidi dan bantuan sosial dapat meningkatkan ketimpangan sosial antar kelompok masyarakat. Realisasi belanja subsidi akhir Desember 2022 mencapai Rp252,81 (8,2% dari Belanja Negara) meliputi subsidi energi sebesar Rp171,86 T dan subsidi nonenergi sebesar Rp80,95T.

Penerimaan Negara yang menurun akibat masyarakat enggan membayar pajak akan sangat berdampak besar terhadap keberlangsungan negara. Pemerintah akan sangat kesusahan dalam mencari pengganti sumber penerimaan, sedangkan masyarakat akan mengalami kesulitan akibat tidak ada alokasi dana untuk kepentingan masyarakat.

Bagaimana Cara Mengawasi Uang Pajak?

Masyarakat seyogyanya tetap membayar pajak dan menjalankan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya. Namun, masyarakat perlu bekerja sama dalam mengawasi penggunaan pajak yang telah dibayarkannya.

Sebagai masyarakat yang peduli terhadap negara, masyarakat tidak boleh memberikan suap, gratifikasi atau pemberian apapun terhadap petugas pajak. Pajak dibayarkan langsung ke kas negara melalui bank persepsi, bukan melalui pegawai pajak. Sangat disayangkan, jika pajak yang harusnya masuk ke kas negara, tetapi masuk ke kantong pribadi pegawai pajak melalui tindakan fraud.

Masyarakat juga dapat melakukan pengawasan terhadap ASN baik pusat maupun daerah yang terindikasi memiliki harta melebihi kemampuan yang didapatkannya, baik dari gaji, tunjangan atau usaha yang dimilikinya.

Sebagai institusi penghimpun pajak pusat, DJP harus memastikan bahwa penerimaan negara telah dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan. DJP juga perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap tindakan pegawainya yang melanggar seperti suap, gratifikasi dan tindakan yang fraud lainnya.

DJP sendiri sudah menyediakan saluran pengaduan sebagai bentuk pengawasan. Saluran tersebut dapat diakses melalui telepon 1500200 dan laman pengaduan pengaduan.pajak.go.id. Selain itu terdapat juga Whistleblowing System Kementerian Keuangan di wise.kemenkeu.go.id dan Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat lapor.go.id.

Penerimaan Pajak memang bukanlah satu-satunya sumber pendapatan negara, namun melalui penerimaan negara yang optimal, APBN dan APBD menjadi sangat kuat dan andal untuk dapat digunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Masyarakat dan Pemerintah harus bisa bersinergi dan bekerja sama dalam melakukan pengawasan penggunaan APBN dan APBD. Sehingga uang masyarakat yang dibayarkan melalui pajak dapat lebih dipertanggungjawabkan. Pajak Kita, Untuk Kita. (*)

*) Fungsional Asisten Penyuluh Pajak, KPP Atambua

  • Bagikan