Tekan Ketergantungan Bahan Baku Dari Luar Negeri

  • Bagikan
ilustrasi (NET)

Industri Mamin Investasi Sistem Otomasi Monitoring Energi

BEKASI,TIMEX.FAJAR.CO.ID - Sebagai sektor turunan agro, industri makanan dan minuman (mamin) masih belum mampu bebas dari ketergantungan impor bahan baku. Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian mendorong pelaku usaha meningkatkan efisiensi dan penggunaan teknologi. Selain menekan cost, harapannya mampu menyubtitusi kebutuhan bahan baku impor.

Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika membeberkan, ketergantungan impor bahan baku mamin masih 60 sampai 65 persen. Kebutuhan tidak hanya berlaku untuk industri besar, tetapi juga UMKM.

”Yang kita impor itu utamanya susu, gula kita butuh banyak, dan bahan baku tepung,” ujarnya di sela media tour Schneider Electric Indonesia dan PT Niramas Utama (Inaco) dalam rangka peresmian "Go Live" Sistem Otomasi Monitoring Energi Menuju Green Industry di Bekasi kemarin (31/1).

Putu mencontohkan, produk susu mencapai 78 persen impor dan 22 persen dari lokal. Padahal, ada perusahaan yang dapat menganggarkan belanja susu mencapai Rp 1,6 triliun. Untuk gula, kebutuhan konsumsi mencapai 7 juta ton. Padahal, produksi dalam negeri sekitar 2,25 juta ton.

”Juga untuk industri kakao. Kita impor lebih dari 50 persen. Padahal kalau dari resource kita terbesar ketiga di dunia,” bebernya.

Menurut Putu, banyak hal yang harus disikapi soal bahan baku impor. Utamanya dari sisi manufacturing production agar supply chain bahan baku dapat terbentuk. Misalnya, peningkatan digitalisasi pada lini produksi. Pada sektor susu, digitalisasi berhasil membuat produktivitas meningkat berlipat dari sisi kuantitas dan kualitas.

”Sektor mamin lain juga perlu mengikuti, karena dengan transformasi pada sistem digital plus pemangkasan energi, pabrik bisa menekan cost minimal 20 persen,” ujarnya.

Kemenperin pun mengapresiasi kerjasama antara PT Niramas Utama dan Schneider Electric Indonesia yang baru saja terjalin. Perseroan menanamkan investasi awal sekitar Rp 4 miliar untuk membangun sistem manajemen informasi produksi dan monitoring energi di pabrik di Bekasi.

”Dengan sistem terdigitalisasi ini, kami bisa mengawasi kinerja mesin produksi yang tidak optimal. Misalnya, ada salah satu mesin yang boros energi karena ada kerusakan part,” ujar CEO PT Niramas Utama Adhi S Lukman.

Adhi menilai bahwa persaingan pasar industri mamin sangat ketat. Baik dalam konteks pasar domestik maupun internasional. Oleh karena itu, pemutakhiran sistem produksi adalah hal yang cukup vital untuk dilakukan.

Cluster President Schneider Electric Indonesia & Timor Leste Roberto Rossi mengatakan, tantangan mendasar yang mayoritas dialami IKM (industri kecil menengah) saat ini adalah belum adanya visibilitas menyeluruh dan integrasi data terhadap manajemen sumber daya (energi, air, gas, dan sebagainya).

”Hal itu karena proses pencatatan dan pengumpulan data yang masih manual. Selain itu, pola pikir dan kesiapan sumber daya manusia dalam mengoperasikan teknologi juga membutuhkan atensi khusus,” ujarnya.

Dia menegaskan Schneider Electric dalam hal ini siap menjadi mitra digital bagi pelaku industri. Selain teknologi, perseroan memberikan pendampingan melalui pelatihan, workshop, forum-forum diskusi di tiap level manajemen baik untuk manajemen lini pertama, menengah hingga top manajemen.

”Kami akan memetakan kebutuhan transformasi, target hingga detil rencana aksi untuk memastikan transformasi yang dilakukan memberikan keuntungan bisnis dan keberpihakan pada lingkungan,” pungkasnya. (agf/dio/thi)

  • Bagikan