Usulan Hak Angket Bakal Bokeh

  • Bagikan
Pengamat Hukum Tata Negara Undana, Jhon Tuba Helan. (FOTO: ISTIMEWA).

KUPANG, TIMEX.FAJAR.CO.ID - Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo mengusulkan agar DPR menggunakan hak angket guna mengusut dugaan kecurangan pemilu 2024. Usulan itu juga didukung capres nomor urut 1, Anies Baswedan.

Pakar Hukum Tata Negara dari Undana, John Tuba Helan kepada Timor Express, Jumat (23/2) mengatakan, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Wacana penggunaan hak angket sangat tepat untuk mengetahui dengan jelas dan terang pelaksanaan pemilu 2024, karena selama pemilu berlangsung banyak tuduhan terjadinya pelanggaran, namun hal ini disuarakan secara perorangan atau kelompok, sehingga tidak ada penyelesaian," kata John.

Agar masalah tersebut menjadi terang dan jelas, maka DPR sebagai lembaga yang berwenang perlu melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan ke publik, agar tidak lagi terjadi tuduhan penyimpangan yang dapat berdampak pada kekacauan pemerintahan.

Dikatakan, pemilu adalah hal penting dan strategis karena masyarakat memilih para pemimpin di lembaga legislatif dan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.

"Tidak ada yang ditakutkan dari penggunaan hak angket, karena memiliki dasar legalitas yang kuat dan merupakan implementasi dari fungsi pengawasan DPR," ucapnya.

Sementara, pengamat politik dari Unwira Kupang, Urbanus Ola Hurek mengatakan, wacana pengguliran hak angket tersebut sah-sah saja, terpenting hak angket yang akan digunakan dikelola sesuai mekanisme resmi yang semestinya. Sebab, hak angket adalah satu dari tiga hak istimewa DPR.

Lanjutnya, fraksi dari parpol yang mengusung kedua paket inilah berpeluang mengajukan hak angket tersebut. Namun, hak angket tersebut dapat berproses perlu mendapat persetujuan anggota DPR dalam rapat paripurna DPR. Sesuai UU MD3, di mana hak angket diajukan oleh sekurang-kurangnya 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

"Hak angket dapat dijalankan bila pengajuannya dilengkapi dokumen tentang alasan penyelidikan serta mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil pun mendapat persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir," jelas Urbanus.

Dilihat dari komposisi keanggotaan DPR RI saat ini, sebanyak 575 anggota. Apabila kubu Ganjar dan Amin bersatu, maka presentasinya 54,61 persen, di mana dari 314 kursi, PDIP 128, PPP 19, Nasdem 59, PKS 50 dan PKB 58 kursi, lebih besar dari kubu Prabowo–Gibran yang hanya 45,39 persen, terdiri dari 261 kursi, yakni Gerindra 75, Golkar 85, Demokrat 54 dan PAN 44 kursi.

"Bila konstelasi koalisi ini terbentuk sesuai kalkulasi di atas kertas, maka diprediksi hak angket ini bisa digunakan untuk memanggil para pejabat eksekutif/pemerintah dan pihak terkait lain yang dianggap mengetahui kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilu 2024," tegas Urbanus.

Hasil akhirnya, tentu belum bisa diketahui, namun dapat dipastikan proses ini tentu akan menguras biaya, energi dan memakan waktu yang tidak sedikit. Sedangkan, pengamat politik dari Unmuh Kupang, Ahmad Atang menilai, usulan hak angket di DPR akan bokeh (kabur). Sebab, ada partai yang bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju.

"Saya berkeyakinan jika hak angket ini akan patah di tengah jalan karena bokeh. Jadi ada partai yang akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju," terang Ahmad.

Menurutnya, hak angket yang digulirkan melalui DPR, maka anggota DPR dari partai koalisi dapat menggunakan hak tersebut untuk meminta pertanggungjawaban penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu bahwa menurut mereka telah terjadi kecurangan secara sistematis, struktural dan masif.

"Maka yang melakukan hak angket bukan pasangan calon, akan tetapi partai politik koalisi yang memiliki kursi di DPR pusat," ujarnya.

Untuk membuktikan bahwa pilpres berjalan di atas kecurangan, tidak bisa dibuktikan secara politik, namun harus dibuktikan secara hukum. Ahmad menyebut, proses politik pilpres hanya dapat dinyatakan adanya kecurangan apabila proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi.

"Bahwa DPR mempunyai hak konstitusi namun tidak menggalakkan proses politik yang sedang berjalan," terangnya.

Langkah politik ini pun, lanjutnya, hanya akan menghasilkan dua hal, yakni mendelegitimasi atau melegitimasi hasil pilpres. Karena itu, koalisi nomor urut 2 tidak perlu menghabiskan energi untuk melakukan blok, karena apapun hasil dari hak angket tidak akan mengubah apa-apa jika hasil real count menyatakan paslon nomor urut 2 menang.

"Menurut saya, sebaiknya paslon nomor urut 1 dan 3 mempersiapkan bukti yang cukup untuk melakukan gugatan di MK dibandingkan melalui hak angket," pungkasnya. (cr1/ays)

  • Bagikan