Dipol FISIP Undana Gelar Workshop Pengarusutamaan Gender di Perguruan Tinggi

  • Bagikan

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) di lingkungan Perguruan Tinggi merupakan suatu keniscayaan. Hal ini mengingat gunung es persoalan ketidakadilan gender yang marak terjadi mulai dari pelecehan dan kekerasan seksual, lingkungan kerja yang tidak ramah perempuan hingga watak maskulinitas yang menonjol dalam tata kelola dan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.

Merespon situasi tersebut, Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nusa Cendana (Dipol FISIP Undana) menyelenggarakan workshop bertajuk Gender Mainstreaming in Higher Education, yang berlangsung selama dua hari, Kamis (3/2) hingga Jumat (4/2) bertempat di hotel Kristal, Kupang.

Kegiatan ini merupakan bagian dari program Capacity Building bertema Citizens Participations in Resource Governance and Sustainable Transition (CitRes) dalam program Kerjasama internasional Norwegian Program for Capasity Development in Higher Education and Research for Development II (NORHED II).

Ini juga merupakan kolaborasi antara Faculty of Social and Educational Science Norwegian University of Science and Technology (FSES NTNU), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM), FISIP Undana, FISIP Universitas Bangka Belitung (UBB), dan Politeknik Negeri Pontianak (Polnep).

Dekan FISIP Undana, Dr. Melkisedek N. B. C. Neolaka, M.Si dalam sambutannya mengungkapkan bahwa Program Norhed II ini merupakan kerja sama di bidang peningkatan kapasitas staf pengajar, administrasi, dan institusi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi agar menjadi sensitif terhadap kesetaraan dan keadilan gender.

Sementara itu, Manajer Program Norhed II, Dr. Rudi Rohi mengungkapkan, tujuan utama dari kegiatan ini adalah menginternalisasi pengarusutamaan gender. Baik sebagai perspektif yang melandasi interaksi akademik dan non akademik di lingkungan kampus, maupun sebagai suatu bidang kajian politik yang terintegrasi dengan pengajaran dan pengabdian masyarakat ke dalam kurikulum program studi.

Rudi berharap kegiatan ini bisa menghasilkan setidaknya suatu code of conduct bagi interaksi akademik dan non akademik yang ramah perempuan dan menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan gender di dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Dipol FISIP Undana dan lingkungan kampus sekitarnya.

“Kegiatan workshop yang berlangsung selama dua hari ini menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, baik unsur akademisi maupun praktisi yang bergelut dengan isu gender,” ungkap Rudi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/2).

Narasumber pertama, demikian Rudi, adalah Dr. Tedi Erviantono dari FISIP Universitas Udayana (Unud) Bali yang menyajikan materi bertopik Pengarusutamaan Gender Dalam Diskursus Pemikiran Feminisme Global dan Pertautannya dengan Praksis Pengarusutamaan Gender.

Dalam paparanya, Dr. Tedi menyampaikan bahwa perlu ada diversifikasi metodologis dalam kajian gender. Artinya, kajian tentang gender tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja, semisal radikal atau liberalis. Aspek penting dalam meperkuat kesetaraan dan keadilan gender adalah memperkuat kapasitas negosiasi terutama bagi perempuan, agar mampu bernegosiasi dengan struktur dan kultur yang seringkali menempatkan perempuan pada posisi sebagai subordinat laki-laki.

Senada dengan Dr. Tedi, dari internal Undana turut hadir Dr. Detjy K. E. R. Nuban, SH., M.Hum selaku Koordinator Pusat Studi HAM, Gender, dan Anak. Dalam paparannya Dr. Detjy menyampaikan kilas balik pengarusutamaan gender di lingkungan kampus Undana.

Bagi Detjy, Undana secara kelembagaan sudah memiliki pusat studi yang fokus pada kajian gender. Namun pada praksisnya, banyak problem yang menyebabkan kajian-kajian gender di Undana belum terlalu produktif dalam mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender.

Narasumber lainnya, yakni Pdt. Dr. Ira D. Mangililo, MABL., ThM., S.Si-Teol dari Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang menyampaikan Potret Pengarusutamaan Gender di Perguruan Tinggi di NTT.

Bagi Pdt. Ira, problem dasar institusi pendidikan saat ini adalah cenderung melayani kepentingan industri yang berwatak maskulin. Pengarusutamaan gender sebagai isu di perguruan tinggi, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan neoloiberal yang memaksa para dosen dan peneliti menghasilkan karya akademik yang memenuhi standar internasional.

“Akibatnya, problem ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender tidak menyentuh aspek substansi, tetapi hanya sebatas upaya memenuhi tuntutan global,” kata Pdt. Ira.

Pada akhir sesi workshop ini, tambah Rudi Rohi, dilakukan penyusunan policy document tentang penanganan masalah pelecehan seksual dan pencegahan kekerasan berbasis gender di perguruan tinggi, serta aturan, dan kebijakan prodi yang inklusif dan sensitive gender. (aln)

  • Bagikan