Kuasa Hukum Keluarga Koroh: Harusnya Pemkot Malu

  • Bagikan
PAGAR SENG. Bangunan ruko di kompleks Stadion Merdeka, Kelurahan Merdeka yang sudah dipagari dengan pagar seng oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Gambar diabadikan Kamis (5/5). (FOTO: FENTI ANIN/TIMEX)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Polemik pemagaran area Stadion Merdeka Kota Kupang di Jl. A. Yani, Kelurahan Merdeka belum juga tuntas. Hingga saat ini, area tersebut masih ditutup pagar, sehingga akses ke kios-kios yang disewa para pedagang di ruko Stadion Merdeka itu menjadi sulit.

Pemerintah (Pemkot) Kota Kupang juga Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT telah melakukan pertemuan untuk membongkar paksa pagar tersebut.

Menyikapi hal ini, kuasa hukum Keluarga Koroh, Rudiyanto Tonubesi, SH., MH menyebut, Pemkot Kupang harusnya malu dalam merespon polemik ini. Pasalnya, Pemkot Kupang tidak punya dokumen kepemilikan atas tanah di Stadion Merdeka, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang itu. Selama ini, tanah atau lokasi itu dimanfaatkan Pemkot Kupang, namun tak bersurat.

Rudiyanto menjelaskan, sejak lima tahun lalu, ia telah memasang plang hingga akhirnya diikuti dengan pemasangan pagar. Dengan pemagaran itu artinya, secara tegas dideklarasikan bawah tanah itu merupakan milik pihak yang ia wakili.
"Saya tidak ada urusan dengan kios dan pedagang," kata kuasa hukum yang akrab disapa Rudi itu ketika dihubungi, Minggu (29/5).

Pemkot Kupang, lanjut Rudi, sudah menyampaikan bahwa tidak memiliki dokumen. Karena itu, kata Rudi, Pemkot Kupang mestinya malu. "Tidak memiliki dokumen tetapi memanfaatkan tanah itu sebagai sumber pendapatan dan ingin tetap bertahan," tegasnya.

Rudi mengatakan, Pemerintah yang memahami hukum harusnya tidak bertahan di atas tanah tanpa ketiadaan alas hak.

Baginya, Pemkot bertahan dengan ketidakmengertian dari sesuatu yang sebenarnya bukan miliknya. Rudi mengaku mengetahui betul riwayat bangunan itu sejak ia menjadi anggota DPRD Kota Kupang. Bangunan tersebut sempat direncanakan untuk renovasi namun ditentang oleh keluarga Koroh. "Setelahnya, justru didiamkan dan merasa semua aman," ujarnya.

Rudi menyebut, ia menggunakan prinsip pemisahan antara tanah dan bangunan. Sehingga yang dipagari merupakan tanah milik pihak yang ia wakilkan.

"Kalau pemerintah merasa bawah dia punya surat-surat, alas hak, ya…ambil langkah hukum karena saya sudah pasang plang," tegasnya.

Rudi juga menantang DPRD yang juga mengomentari masalah tempat itu. Ketika ada masalah semacam ini, harusnya pedagang yang ada diatur agar dipindahkan pada tempat lain. Untuk itu, dia menegaskan agar Pemkot tidak perlu memaksakan diri bertahan dengan kehampaan dokumen mengenai tanah itu.

Ia mengaku tidak ada rencana ke ranah pengadilan. Ranah itu harusnya ditempuh pemerintah bila memiliki surat.

Rudi di mengaku, telah memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalah itu dengan pihak Korem 161/WS Kupang, sebagai pihak yang juga mempunyai kewenangan ditempat itu. Menurutnya, sudah ada titik temu antara pihaknya dan pihak Korem 161/WS.

Rudi menyebutkan, pihaknya pernah menyurati pedagang dan baginya itu merupakan pendekatan kemanusiaan. Rudi berujar agar pemerintah tidak memasang pedagang di depan sebagai tameng, sementara Pemerintah sendiri tidak mengantongi kepemilikan yang sah atas tanah itu.

"Kalau pemerintah lepas tangan, itu pedagang saya kasih free bisa. Bisa aja kok. Saya mengerti, saya lebih mengerti daripada mereka. Kita kasih gratis lebih baik daripada pemerintah ambil keuntungan," katanya.(r2)

Editor: Marthen Bana

  • Bagikan