Albert Riwu Kore Pra Peradilkan Kapolda NTT, Yanto Ekon Nilai Tak Cukup Bukti

  • Bagikan
Dr. Yanto P. Ekon, SH, M.Si. (FOTO: ISTIMEWA)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Notaris Albert Wilson Riwu Kore, SH meminta hakim tunggal pra peradilan membatalkan penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan sertifikat hak milik yang dilaporkan oleh PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Christa Jaya Perdana Kupang. Dia menilai, penetapannya sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Permintaan itu disampaikan Albert Riwu Kore, SH melalui tiga kuasa hukumnya dalam materi gugatan pra peradilan terhadap Kapolri, Cq Kapolda NTT, Cq. Direktur Reserse Kriminal Umum Kapolda NTT selaku penyidik.

Untuk diketahui, penyidik Polda NTT telah menetapkan Alberth Riwu Kore, SH sebagai tersangka melalui Surat Penetapan Tersangka No. S.TAP TSK/26/VII/2022/Ditreskrimum, tanggal 8 Juli 2022. Adapun pasal yang disangkakan adalah Pasal 374 KUHP atau penggelapan sebagaimana dimaksud Pasal 372 KUHP.

Atas penetapannya sebagai tersangka, Alberth Riwu Kore lalu mengajukan gugatan pra peradilan dan telah disidangkan, Kamis (21/7) dengan agenda pembacaan materi gugatan. Sidang ini dipimpin hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Kupang, Murtado Muhammad Mberu, SH., MH. Hadir pada saat itu para penyidik Polda NTT sebagai Termohon dan Pemohon yang diwakili tiga kuasa hukumnya masing-masing Yohanis D. Rihi, SH., Dr. Yanto P. Ekon, SH., M.Hum., dan Meriyeta Soruh, SH., MH.

Yanto Ekon, selaku kuasa hukum Alberth Riwu Kore kepada TIMEX di Kantor Pengadilan Negeri Kupang, menjelaskan, pihaknya melayangkan gugatan pra peradilan kepada Kapolda NTT Cq Tim Penyidik Polda NTT dengan alasan bahwa penetapan kliennya Alberth Riwu Kore sebagai tersangka tidak memiliki dasar hukum yang kuat. "Semuanya kita sudah uraikan dalam materi gugatan yang telah kami serahkan ke hakim," kata Yanto.

Adapun kronologisnya, pada 14 Februari 2019, PT. BPR Christa Jaya Perdana Kupang yang diwakili Junus Laiskodat melaporkan Alberth Riwu Kore ke Polda NTT dengan laporan Nomor: LP/B/52/II/2019/SPKT, tanggal 14 Februari 2019 dengan dugaan penggelapan 9 (sembilan) Sertifikat Hak Milik Atas Tanah yang ingin dijadikan jaminan hak tanggungan.

Berdasarkan laporan tersebut, penyidik melakukan serangkaian penyelidikan dan mengumpulkan barang bukti serta memeriksa sejumlah saksi-saksi. Penyidik juga melakukan penyitaan sejumlah dokumen.

Selanjutnya, penyidik Polda NTT dalam hal ini Termohon melakukan gelar perkara khusus tanggal 4 Oktober 2021 dan menetapkan Albert Riwu Kore sebagai tersangka sesuai Pasal 374 KUHP Jo. Pasal 52 KUHP. Namun penetapan Albert sebagai tersangka masih harus melakukan koordinasi dan petunjuk dari Mabes Polri di Jakarta, mengingat masih adanya gugatan perdata oleh Albert terhadap PT. BPR Christa Jaya Perdana selaku pelapor.

Kemudian, tanggal 4 November 2021, penyidik Polda NTT melakukan gelar perkara di Biro Wassidik Mabes Polri dan direkomendasikan beberapa hal diantaranya, membuktikan apakah pemecahan Sertifikat Hak Milik No. 368 menjadi 18 (delapan belas) Sertifikat Hak Milik melalui persetujuan PT. BPR Christa Jaya Kupang sebagai Kreditor dan melakukan pemeriksaan saksi tambahan.

Setelah melakukan pemeriksaan tambahan, penyidik selanjutnya pada 13 Januari 2022, penyidik melakukan gelar perkara di Mabes Polri dan diputuskan agar penyidik menghentikan penyidikan karena Albert selaku terlapor tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka karena tidak cukup bukti sehingga terbitlah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP) Nomor: SPPP/37/I/2022/Ditreskrimum, tanggal 17 Januari 2022.

Tidak puas dengan penerbitan SP3, BPR Christa Jaya Perdana Kupang melalui Direktur Utama, Wilson Liyanto sebagai korban mengajukan praperadilan terhadap penyidik Polda NTT tanggal 24 Januari 2022.

Setelah melalui persidangan, hakim tunggal Pengadilan Negeri Kupang dalam salah satu amar putusannya memerintahkan penyidik Polda NTT sebagai termohon untuk membuka kembali penyidikan terhadap perkara dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/52/II/2019/SPKT, tanggal 14 Februari 2019 Tentang Tindak Pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 KUHP Subsidier Pasal 372 KUHP Jo. Pasal 56 KUHP atas nama terlapor Albert Riwu Kore, SH.

Tidak Cukup Bukti

Yanto Ekon, selaku kuasa hukum Alberth Riwu mengatakan, pada sidang pra peradilan antara BPR Christa Jaya Perdana Kupang melawan penyidik Polda NTT, disebutkan bukti yang diperoleh tidak cukup untuk menetapkan tersangka sehingga terbitlah SP3 dan kemudian dibatalkan oleh hakim pra peradilan.

Pertimbangan hukum dari pra peradilan itu adalah menyatakan bahwa terdapat dua gelar perkara yang berbeda yaitu gelar perkara tahun 2021, dimana penyidik menyatakan cukup bukti, sedangkan gelar perkara tahun 2022, penyidik menyatakan tidak cukup bukti.

Selanjutnya, jelas Yanto lagi, dilakukan gelar perkara di Mabes Polri dan merekomendasikan untuk memeriksa kembali saksi-saksi untuk membuktikan apakah pemecahan 9 sertifikat itu atas persetujuan PT. BPR Christa Jaya Perdana Kupang atau tidak. Dan dalam pemeriksaan lanjutan, ternyata ditemukan bahwa pemecahan 9 sertifikat itu atas persetujuan PT. BPR Christa Jaya Perdana Kupang.

"Inti permohonan pra peradilan kami adalah bukti baru apa yang dimiliki oleh penyidik sehingga menetapkan klien kami sebagai tersangka. Sebab pada awalnya dikatakan tidak cukup bukti dan bukti awal yang dimiliki juga adalah pemecahan sertifikat itu atas persetujuan dari BPR," tanya Yanto.

Selain itu, demikian Yanto, bukti baru yang dimiliki kliennya adalah berupa putusan perdata antara PT. BPR Christa Jaya Perdana Kupang melawan Albert Riwu Kore dalam sidang Perkara Perdata dalam dua putusan Nomor 184 dan Nomor 186.

"Disitu PT. BPR Christa Jaya Perdana Kupang mengaku secara tegas bahwa pemecahan sertifikat itu memang atas persetujuan bank. Itu bukti baru yang kami miliki. Dan berdasarkan bukti baru itu, seharusnya Albert tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka. Dan karena itu, dalam gugatan pra peradilan kami mohon supaya penetapan tersangka dibatalkan," tegasnya.

Yanto percaya hakim pra peradilan akan profesional menjatuhkan putusan karena perkara tersebut sudah ada pra peradilan terdahulu. "Itu artinya bahwa secara formil hakim pra peradilan harus melihat putusan pra peradilan terdahulu untuk menjadi landasan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini karena pertimbangan hukumnya sangat jelas," demikian kata Yanto yang didampingi Merieta Soruh. (*/yl)

  • Bagikan