Menepis Kesombongan, Menghayati Kerendahan Hati

  • Bagikan
Romo Sipri Senda, Pr

SALAH satu sifat manusia yang menjadi akar dosa adalah sombong. Sifat ini membuat manusia menganggap diri lebih dari pada yang lain, dan serentak meremehkan orang lain. Sifat sombong kerap disebut pula dengan istilah tinggi hati. Ini pun menyiratkan perendahan terhadap orang lain, sekaligus pengangkatan diri sendiri yang melampaui orang lain dalam pelbagai aspek. Segala yang lebih disematkan pada diri sendiri: lebih pintar, lebih kaya, lebih baik, lebih cantik, lebih ganteng, lebih suci, dll.
Kesombongan menjerumuskan manusia tindakan tidak adil atau berat sebelah. Sesama dipandang rendah, sedangkan dirinya dianggap lebih tinggi. Ada sikap prejudice dan diskriminatif terhadap sesama secara tidak adil. Sesama dihakimi dan dinilai buruk, sedangkan diri sendiri dinilai benar. Dengan cara demikian orang sombong bertindak sebagai "hakim diskriminatif" terhadap orang lain. Sikap ini tentu saja bertentangan dengan kehendak ilahi maupun kodrat kemanusiaan sebagai makhluk cinta kasih.

Pembelajaran dari Kitab Suci

Kitab suci berisi hikmat ilahi yang menuntun manusia untuk hidup bijaksana dan bermakna. Berkaitan dengan orang sombong terdapat pembelajaran hikmat yang mengarahkan manusia untuk rendah hati. Kitab Sirakh 35:12-14.16-18 mengajarkan manusia untuk rendah hati di hadapan Tuhan yang maha adil. Tuhan adalah hakim yang menilai manusia hingga ke lubuk terdalam. Dialah hakim yang tidak memihak. Keadilan Tuhan berlaku bagi manusia. Maka manusia sombong yang egois diskriminatif tak luput dari penghakiman Tuhan. Keadilan Tuhan menjadi rambu bagi manusia sombong untuk belajar menjadi manusia rendah hati. Orang miskin dan rendah hati didengarkan Tuhan. Orang sombong dan egois direndahkanNya.
Santo Paulus dalam suratnya yang kedua kepada Timotius 4:6-8.16-18 menjelaskan tentang spiritualitas kerendahan hati yang dihayatinya sebagai pelayan Kristus. Paulus menyadari bahwa dirinya hampir purna menyelesaikan karya penginjilan. Dia menyerahkan seluruh pengabdian dirinya kepada Tuhan, Hakim yang adil. Tuhanlah yang menilai seluruh karya pelayanan Paulus. Dia yakin, Tuhan yang memberikan pelayanan ini tidak pernah meninggalkan dia, dan sampai akhir hidupnya, Tuhan tetap menyertai dan memberikan mahkota kebenaran. Paulus dengan rendah hati berserah diri pada pengabdian bagi Tuhan dengan total. Tuhan meninggikan dia dengan anugerah mahkota kebenaran.
Dalam Injil Lukas 18:9-14, Yesus mengatakan sebuah perumpamaan untuk menyentil beberapa orang sombong yang menganggap diri benar dan merendahkan orang lain. Tokoh yang ditampilkan dalam perumpamaan ini adalah orang Farisi dan pemungut cukai. Kaum Farisi dan pemungut cukai adalah dua kelompok sosial dalam masyarakat Yahudi zaman Yesus. Keduanya bertentangan dalam banyak hal. Kaum Farisi menekankan penghayatan hukum Taurat dan tradisi agama Yahudi secara murni dan konsekuen. Dalam haluan politik, mereka anti penjajahan Romawi dan membenci siapapun yang bekerja sama dengan kaum penjajah. Tidak heran kaum Farisi membenci kelompok pemungut cukai yang dicap orang berdosa karena kolaborasinya dengan kaum penjajah.
Kelompok pemungut cukai adalah segelintir orang Yahudi yang bekerja sama dengan penjajah demi kepentingan penguasa Romawi dalam hal pajak. Bangsa Romawi tidak mau repot memungut pajak dari bangsa jajahan. Maka salah satu cara adalah memberikan lisensi kepada orang tertentu dari bangsa jajahan untuk memungut pajak, dengan terlebih dahulu membayar total pajak yang harus dibayarkan masyarakat di kota tertentu sesuai jumlah wajib pajak di situ. Misalnya di kota Yeriko, ada Zakeus yang membayar sejumlah uang kepada pihak Romawi, dan mendapat lisensi untuk memungut pajak di wilayah kota Yeriko. Dalam praktik, si pemungut pajak dapat memungut lebih dari ketentuan. Terjadilah pemerasan. Selain itu si pemungut dapat mempekerjakan orang lain untuk memungut pajak. Dia disebut kepala pemungut cukai. Bawahannya memungut pajak, dan hasilnya dibagi sesuai kesepakatan.
Dalam kehidupan masyarakat, hubungan kedua kelompok ini tidak harmonis. Kaum Farisi menolak bergaul dengan pemungut cukai. Mereka digolongkan sebagai orang berdosa. Maka mereka dikucilkan dari pergaulan sosial, dan dilarang terlibat dalam kehidupan keagamaan yang menuntut ketahiran fisik dan spiritual.
Menarik bahwa Yesus menggunakan dua figur tersebut dalam perumpamaan ini. Figur Farisi ditampilkan sebagai orang sombong, yang hidup hanya untuk diri sendiri, dan memandang rendah sesamanya. Si pemungut cukai ditampilkan sebagai orang berdosa yang menyadari kesalahannya danemohon ampun dengan rendah hati di hadapan Tuhan. Keduanya dikatakan pergi berdoa di Bait Allah. Si Farisi dikatakan berdiri dan berdoa. Tapi doanya berisi pujian terhadap diri sendiri. Doanya berupa laporan kebaikan yang dilakukan tapi hanya sebatas perbuatan legalistik, tanpa dilandasi oleh kasih. Dengan demikian jelas bahwa si Farisi bukannya berdoa tetapi membeberkan kesombongannya dan sikap mengadili terhadap pemungut cukai yang dicapnya berdosa.
Sebaliknya si pemungut cukai berdiri jauh-jauh di belakang. Dia merasa tidak layak di hadapan Tuhan dan sesamanya, apalagi setelah mendengarkan doa si Farisi yang isinya menyudutkan dirinya sebagai pemungut cukai. Dia menebah dadanya dan hanya berdoa singkat, "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!"
Jelas terlihat perbedaan yang tajam antara sikap batin dan isi doa kedua orang ini. Yang pertama bersikap angkuh dan merendahkan sesama. Yang kedua bersikap rendah hati, tulus, sadari kelemahan dan kesalahan diri, dan mengakuinya di hadapan Tuhan seraya memohon pengampunan.
Sebagai penutup, Yesus menegaskan bahwa orang yang dibenarkan Tuhan justeru pemungut cukai yang dicap pendosa. Sedangkan si Farisi yang saleh tapi salah itu tidak diindahkan Tuhan. Tuhan sebagai Hakim yang adil menilai isi hati kedua orang yang berdoa itu. Orang yang sombong dan merendahkan sesama tidak diindahkan Tuhan. Orang yang rendah hati, jujur, tulus, mengakui kelemahan diri, justeru diindahkan Tuhan. Kata-kata pamungkas Yesus sangat jelas: Sebab siapa saja yang meninggikan diri, akan direndahkan, dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan.

Relevansi Kristiani

Dari pembelajaran berdasarkan teks kitab suci di atas, dapat disimpulkan bahwa Tuhan menghendaki pengikutNya menjadi orang yang rendah hati, bukannya orang sombong. Tuhan sebagai hakim yang adil dapat menilai sampai ke lubuk hati terdalam manusia. Tuhan mengenal siapa yang sombong dan suka merendahkan sesama, dan siapa yang rendah hati di hadapanNya. Dan Dia menyikapi manusia berdasarkan sikap dan perbuatan mereka.
Orang yang rendah hati didengarkan Tuhan. Hidup Santo Paulus mencerminkan kerendahan hati yang total kepada Tuhan. Hidup dan karyanya diabdikan hanya untuk Tuhan. Dia berserah diri dan mengandalkan Tuhan selalu. Dia tidak mengandalkan kekuatan duniawi maupun kehebatan manusiawi. Maka dalam tantangan apapun, biar ditinggalkan oleh manusia, dia yakin bahwa dia tidak ditinggalkan oleh Tuhan. Sikap rendah hati ini merupakan spiritualitas Paulus yang dihayati tuntas sampai akhir hidupnya. Spiritualitas kerendahan hati Paulus menjadi inspirasi bagi para murid Kristus masa kini untuk juga menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari itu, apa yang diajarkan Yesus melalui perumpamaan di atas dengan tegas menandaskan agar para murid hendaknya menjauhkan sikap sombong dan merendahkan sesama. Sebaliknya berusaha untuk menghayati kerendahan hati di hadapan Tuhan dan sesama. Sikap sombong dan merendahkan sesama tidak diindahkan Tuhan. Sikap demikian tidak membawa manusia beriman kepada hidup sejati berdasarkan Injil. Relasi dengan Tuhan dan sesama menjadi buruk. Tak ada kebahagiaan sejati dalam hidupnya.
Manusia beriman yang rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama dikenan Tuhan. Relasinya baik dengan Tuhan dan sesama. Hidupnya menjadi bermakna. Tuhan yang maha adil berkenan meninggikan dia dengan aneka kebaikan.
Murid Kristus masa kini dipanggil dan diutus untuk menghadirkan tatanan kasih dalam hidup insani. Tatanan itu hanya mungkin bila murid Kristus memiliki spiritualitas kerendahan hati. Kesombongan menjadi penghambat utama penciptaan tatanan kasih dalam hidup bersama. Marilah kita selalu menjadi orang beriman yang rendah hati, tulus, beritikad baik, berani mengakui kesalahan dan memperbaiki diri sesuai kehendak Tuhan. Tuhan memberkati.

Rm. Siprianus S. Senda, Pr
Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

  • Bagikan