Menuju NTT Bebas Rabies, FKKH Undana Gelar Semnas

  • Bagikan
POSE BERSAMA. Dekan FKKH Undana pose bersama narasumber yang hadir dalam Seminar Nasional di Hotel Aston, Sabtu (1/7). (FOTO: RESTI SELLY).

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan (FKKH) Universitas Nusa Cendana (Undana) menggelar Seminar Nasional (Semnas) yang bertajuk "From One Health to NTT Rabies-Free" di Hotel Aston Kupang, Sabtu (1/7).

Dekan FKKH Undana, Dr. dr. Christina Olly Lada, M.Gizi mengatakan, kasus rabies yang meningkat di Kabupaten TTS menjadi perhatian bersama. Karena itu, perlu ada tindak lanjut serius untuk mencegah adanya peningkatan, bahkan korban jiwa.

"Kita masih berjuang melawan hal ini. Kita bisa belajar dari narasumber kita dari Pulau Bali yang juga mengalami kasus rabies, bagaimana mereka mengatasi masalah," jelas Dr. Christina.

Ia berharap, adanya seminar tersebut dapat membekali mahasiswa FKKH yang akan turun ke masyarakat untuk mengedukasi masyarakat terkait rabies.

Disamping itu, terdapat lima narasumber yang dihadirkan dalam seminar tersebut diantaranya, drh. Diana Agustina Wuri, M.Si
dengan materi "The Awareness of Rabies in NTT: How to Recognize and Prevent The Infection", dan Dr. drh. I Nyoman Dibia, M.P dari Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar dengan materi "Repel rabies by healthy lifestyle, eating habits, and pay attention to animal welfare".

Selanjutnya, ada Dr. dr. I Ketut Agus Somia, SpPD, K-PTI, FINASIM
dengan materi "How to control rabies: sharing about the plan of eradicating rabies in Bali". Selain itu, ada pula narasumber dari Pemerintah Provinsi NTT, yaitu Kepala Dinas Kesehatan Ruth Laiskodat dan Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan, Melky Angsar.

Dr. Dibia dari BBVet Denpasar mengatakan, hingga Juni 2023, baru 23 sampel otak anjing dari Kabupaten TTS yang diterima oleh BBVet. Dari 23 sampel tersebut, baru 10 sampel yang dinyatakan positif rabies. Menurutnya, hal itu tidak sebanding dengan kasus gigitan yang terjadi di TTS dimana telah lebih dari 600 kasus.

Dr. Dibia menjelaskan, dengan pengujian Frozen Antibody Technique (FAT), sampel otak diambil oleh Dinas Peternakan dari anjing yang menggigit atau diduga terinfeksi rabies. Sayangnya, sampel yang diperiksa beda jauh dengan ratusan kasus yang sudah terjadi. Harus ada pemetaan penyakit.

"Status hewan sebaiknya dipetakan. Jadi setiap yang menggigit wajib ditelusuri. Kalau anjingnya tidak bisa dibunuh, maka diobservasi 14 hari. Tapi yakinkan jangan sampai anjing tersebut lepas/menggigit yang lain," terang Dr Dibia.

Menurutnya, salah satu kendala adalah penelusuran anjing yang menggigit. Dimana, setelah menggigit, anjing berlari hilang entah kemana. "Sebaiknya hewan itu terpetakan, yakni rabies atau tidak, baik melalui observasi atau pun diagnosa," pungkasnya.

Kiriman sampel dari TTS kke BBVet Denpasar membutuhkan waktu. Dimana, moda transportasi yang bisa memakan waktu berhari-hari. "Kalau sudah kami terima sampelnya, besoknya sudah ada jawaban. Transportasi itu yang menjadi kendala, bisa 2-3 hari dalam perjalanan," pintanya.

Ia menjelaskan, di masing-masing provinsi memiliki laboratorium veteriner, begitu pun di NTT. Namun, Lab Veteriner di Kupang masih oerlu didukung dengan alat dan bahan uji.

"Kemampuan petugas di lab sudah bisa. Tapi tidak tersedia bahan uji. Dalam minggu ini akan ada metode dRIT yang akan dilatih ke tenaga di lab veteriner," lanjutnya.

Sehingga dengan begitu, maka tidak perlu mengirimkan sampel jauh hingga ke Denpasar. Tinggal didukung dengan sarana prasarana yang signifikan.

Sementara itu, Kepala Bidan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan NTT, Melky Angsar menyebut, memang sampel yang diambil tidak sebanyak yang diharapkan pihaknya.

"Banyak anjing yang positif dibunuh langsung dikubur. Makanya sampel yang kita dapat adalah yang petugas tahu dan petugas bunuh anjing dan ambil sampel otaknya," ucapnya.

Hal itu tidak sebanding dengan kasus gigitan. Sampel yang berhasil diambil petugas itu tidak banyak. Sebab, anjing setelah menggigit hilang dari pantauan.

"Tidak tahu anjing lari kemana, karena kalau 14 hari dia mati dengan sendirinya. Tidak terdata berapa banyak anjing yang hilang. Kasus 600an itu yang terdata di puskesmas. Tetapi yang tergigit nyatanya bisa lebih dari itu," tutur Melky.

Ia menyebut, apabila anjing tidak tertangkap, maka korban yang digigit dipastikan mendapatkan vaksin sebanyak 4 kali. Ia juga menuturkan, untuk eliminasi anjing sendiri belum ada data berapa jumlahnya.

"Eliminasi oleh pemerintah sendiri tidak ada data bahwa anjing sudah dieliminasi atau tidak. Karena itu sensitif karena takutnya melanggar animal walfare. Tapi pentingkan nyawa manusia atau hewan," ungkapnya.

Ia menegaskan, apabila tidak ingin mengikat/mengandangkan anjingnya, maka pilihannya adalah dibunuh. Sementara untuk lab veteriner di Kupang, sudah tersedia alat untuk mulai dioperasikan. Namun, masih akan diperlengkapi dengan pelatihan Metode dRIT yang akan dilaksanakan pada 3 Juli mendatang.

"Tapi setelah pelatihan dRIT tanggal 3 ini, setelah itu kita sudah bisa operasi, jadi mempermudah kita. Alat ujinya sudah ada karena alat tidak susah. Petugas ini yang akan dilatih metode dRIT ini," bebernya.

Menurut drh. Diana, penularan rabies dari gigitan anjing, dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas khususnya mamalia, aves hingga hewan lainnya. Meskipun sangat jarang, rabies juga dapat tersebar tanpa melalui gigitan, seperti melalui inhalasi.

"Bisa juga melalui mukosa. Dalam penanganan anjing, kemungkinan orang yang memotong daging anjing terinfeksi rabies, bisa terkena bagian kulit yang terluka dan itu bisa rabies," jelasnya.

Sementara itu, untuk gejala klinis pada anjing, ada tiga tipe yaitu, tipe ganas, tipe tenang dan tipe asymptomatik.
"Kebanyakan ganas. Tapi tidak semua anjing rabies ganas, dan tidak semua menggigit. Intinya kalau sudah rabies itu ada perubahan perilaku, ada saliva atau air liur yang penuh di mulut, bisa menggigit, takut cahaya, kelumpuhan dan kematian," pungkasnya.

Ia menjelaskan, ada tahapan hewan terkena rabies, mulai dari 1-3 hari hewan mulai menyendiri. Kemudian hari ke 5-7 anjing mulai menyerang. Kemudian, tahap terakhir, hewan mengalami kelumpuhan dan kematian.

"Ada juga yang tipe tenang, dia menyendiri, air liur banyak dan alami kelumpuhan, kemudian mati," sebutnya.

Menurutnya, vaksinasi merupakan pencegahan paling manjur. Minimal 70% vaksinasi anjing sudah cukup. Namun, permasalahan terus dihadapi. Seperti stok vaksin, kemudian kapasitas vaksinator.

"Vaksinator datang mau suntik anjing akan kesulitan. Diperlukan skil, jumlahnya saja terbatas," tuturnya.

Kemudian, masalah efektivitas vaksinasi. Menurut drh. Diana, vaksinasi yang tidak efektif akan mempengaruhi antibodi yang terbentuk, yaitu hanya 49 persen. "Ini berarti ada hal yang teledor entah karena pemberiannya salah atau vaksin tidak disimpan dalam kondisi yang baik," sebutnya.

Karena itu, menurutnya, konsep one health, dimana semua hewan anjing yang menggigit harus ditangkap, kemudian diobservasi 10-14 hari.

Kepala Dinas Kesehatan NTT, Ruth Laiskodat menegaskan agar ketika mendapatkan kasus gigitan, maka harus segera mencuci dengan detergen di air mengalir.

Ruth pun mengatakan, untuk ketersediaan vaksin manusia masih terpenuhi. Sehingga, setelah mencuci bekas gigitan, harus segera mendatangi rumah sakit/puskesmas terdekat. "Sudah ada center rabies di tiap puskesmas, di rumah sakit juga, jadi jangan keliru," pungkasnya.

Dirinya berharap, para mahasiswa yang hadir bisa menyebarluaskan informasi yang edukatif kepada masyarakat terkait penanganan gigitan rabies tersebut.

Untuk laporan kasus rabies di TTS sendiri hingga 1 Juli 2023, sudah ada 650 kasus gigitan, tersebar di 30 kecamatan dan 164 desa. (cr1)

Editor: Intho Herison Tihu

  • Bagikan