UPTD KPH Mabar Sulap Hutan Jadi Eko Wisata

  • Bagikan
Danau Sano Limbung dalam kawasan hutan lindung disulap menjadi kawasan Eko Wisata. Obyek ini diharapkan menjadi wahana bagi peningkatan ekonomi masyarakat setempat. (FOTO: HANS BATAONA/TIMEX)

LABUAN BAJO, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah Manggarai Barat (Mabar), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTT, tidak mau tinggal diam dalam pengembangan sektor pariwisata di wilayah itu.

Instansi ini menyulap dua titik kawasan hutan lindung menjadi sentra eko wisata alam yang patut dikunjungi wisatawan baik nusantara maupun wisatawan manca negara. Lokasi wisata ini berada di wilayah Kecamatan Boleng. Dua kawasan hutan lindung itu, yakni Wae Bobok, Desa Tanjung Boleng, dan Danau Sano Limbung, Desa Golo Lujang.

"Kita sudah buat dua tutik kawasan hutan lindung jadi tempat berwisata yang langsung dikelola warga desa setempat. Dua kawasan hutan itu, masing-masing Wae Bobok dan Sano Limbung telah dikembangkan sebagai kawasan eko wisata alam dengan hawa udara segar dan sejuk, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan sehingga bebas polusi udara," kata Kepala UPTD KPH Wilayah Mabar, Dinas LHK NTT, Stefanus Nali kepada media ini di Labuan Bajo, Minggu (9/7).

Menurut Stefanus, pengembangan kawasan ini dilakukan agar bisa memberi dampak ekonomi bagi masyarakat setempat. Misalnya untuk kawasan Wae Bobok, ini dikelola kelompok tani hutan Ca Nai yang merupakan warga kampung Rareng. Di lokasi ini, disiapkan jenis permainan seperti flying fox, sepeda layang, serta tenda kamping, disamping kuliner dengan total 11 stan. "Setiap hari ada saja tamu manca negara maupun tamu nusantara yg berkunjung. Rata-rata omzet untuk warga Rp 500 ribu perhari," beber Stefanus.

Sementara itu untuk kawasan Sano Limbung, di Desa Golo Lujang, pengelolanya juga warga Kampung Ngaet. Di lokasi ini ada usaha kuliner, tracking danau dengan luas 1 ha, serta 13 stan kuliner. Kondisi danau sendiri air keruh tidak bisa mandi, ada unsur mistisnyaa. Kalau tracking menurun dari jalan utama jalur Lando - Noa," katanya.

Stefanus mengaku, dari usaha ini, tidak ada setoran ke dinas. "Selama ini gratis saja, dan kita berkoordinasi dengan dinas pariwisata," ujarnya.

Stefanus mengaku, dalam mengelola dua kawasan ini, pihaknya mengalami kendala, khususnya dalam hal pengembangan pasar dan promosi. Juga SDM karena murni swadaya masyarakat desa. "Stan warga bangun sendiri termasuk modal usaha. Selain itu SDM masyarakat untuk pengembangan belum bisa," beberya.

UPTD KPH, demikian Stefanus, telah membentuk pengrajin Kelompok Tani Hutan (KTH) bekerjasama dengan UMKM, dan saat ini ada dua kelompok pengrajin, yakni di Desa Semang, Kecamatan Welak, dan Desa Benteng Suru, Kecamatan Kuwus. Jenis usaha yang dikembangkan berupa kerajinan bambu, yakni membuat kemasan kopi dari bambu ukuran 300 gram, 200 gram dan 150 gram, serta gantungan kunci. "Kita masih kesulitan pemasaran, ini juga menjadi kendala dalam pengembangan bisnis," tambahnya.

Stefanus mengatakan, untuk rencana pengembangan ke depan, pihaknya akan membuat jalur tracking, pengenalan jenis pohon dalam kawasan hutan, pembangunan home stay yang ramah lingkungan dari bambu dan ijuk, serta wisata healing.

"Kami minta masyarakat sekitar kawasan untuk selalu terlibat menjaga dan merawat hutan, tidak boleh tebang pohon sembarangan. Masyarakat agar menjadi mitra kehutanan dalam pengawasan dan pengendalian kerusakan hutan," pinta Stefanus.

Stefanus juga berterima kasih karena selama ini masyarakat beberapa kali terlibat secara aktif memadamkan api yang membakar hutan. (Kr2)

  • Bagikan