Mengenal Ferdi Tanoni, Penggerak dan Pejuang Petaka Montara di Laut Timor

  • Bagikan
Ferdi Tanoni dan Daniel Sanda di Sydney Australia saat mendaftarkan gugatan Class Action di Pengadilan Federal Australia tahun 2016 silam. (FOTO: Dok. Ferdi Tanoni)

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Empat belas tahun berlalu, sejak 21 Agustus 2009, perjuangan mencari keadilan atas petaka tumpahan minyak di laut oleh sebuah pengeboran minyak lepas pantai di Australia Barat meledak dan mencemari wilayah perairan di Laut Timor, tak pernah kendor.

Adalah Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), yang berkedudukan di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi tokoh sentral dalam memperjuangkan keadilan atas petaka kemanusiaan ini.

Dari perjuangan tak kenal lelah sejak awal tumpahan minyak ini mencemari lautan tahun 2009 silam hingga kini, sosok yang satu ini tak pernah mundur dari arena perjuangan.

Ferdi berkelana kemana-mana demi perjuangan mencari keadilan atas tumpahan minyak yang membahayakan kehidupan generasi masa depan ini.
Merujuk pada hasil Komisi Penyelidikan Montara buatan Australia tentang Petaka Tumpahan Minyak Montara di Laut Timor tahun 2009, diketahui bahwa pihak yang paling bertanggung jawab atas petaka ini adalah Pemerintah Federal Australia dan Australia Maritime Safety Authority (AMSA), dan PTTEP Bangkok, perusahan minyak terbesar di Thailand.

Ferdi menyebutkan bahwa tumpahan minyak Montara tahun 2009 yang mencemari Laut Timor itu diakui sebagai salah satu petaka kemanusiaan terbesar dunia Abad XXI yang ditutupi selama lebih kurang 14 tahun terakhir.

Ferdi menyatakan bahwa dalam memperjuangkan petaka kemanusiaan ini, ia tidak sekadar mengangkat dirinya sebagai pejuang. Ada dasar pijak yang menjadi bukti legalitasnya dalam memperjuangkan keadilan bagi ratusan ribu warga pesisir di NTT yang menjadi korban atas dampak pencemaran ini.

Ferdi merupakan sosok yang sangat sederhana. Sangat mudah dan juga tidak termasuk orang yang serakah dalam menjalani hidupnya. Inilah yang membuatnya dipercaya mewakili pemerintah, lembaga adat, dan masyarakat NTT korban pencemaran menaruh harapan akan sebuah keadilan dari petaka ini di pundaknya.

Sebagai Sekretaris Working Party dari MoU Pemeritah Indonesia-Australia tahun 1993 - 1998, juga Ketua of East Nusa Tenggara-East Timor and Northern Territory (Australia Utara) Business Forum 1994-1999 serta Agen Imigrasi Australia di Kupang 1995-1997, Ferdi bukanlah sosok yang dianggap biasa saja dalam perjuangan ini.

Sebagai Ketua Tim Pelaksana Tugas Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir yang ditetapkan melalui Sidang Paripurna DPRD NTT tahun 2001 lalu Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Timor-Rote-Sabu dan Alor tahun 2003 untuk perjuangan mencari keadilan di Celah Timor (Timor Gap) ini, Ferdi dipercaya untuk tampil di garis terdepan dalam perjuangan.

Meski melelahkan dan menguras banyak energi, Penulis Buku "Skandal Laut Timor" Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra tahun 2016 ini telah menganggap Laut Timor sebagai isteri keduanya.

Karena itu, meski dihadapkan pada sejumlah hambatan dan tantangan, Ferdi tak pernah mundur dari perjuangan di Laut Timor ini. Sebaliknya Ferdi mendapat suntikan amunisi berupa dukungan sejumlah kepala daerah di NTT.

Sebut saja, pada tahun 2012, bermodalkan Surat Kuasa dari Bupati Rote Ndao, Bupati Kupang, Bupati Belu, Bupati Timor Tengah Utara, Bupati Timor Tengah Selatan, Wali Kota Kupang, dan surat dukungan penuh dari Gubernur NTT, Ferdi mencari jaringan luar negeri untuk menggugat class action ke Pengadilan Federal Australia terkait dampak pencemaran ini.

Pada awal tahun 2014, berkat dukungan penuh dari Menteri Perhubungan RI saat itu, Ferdi terus mekangkah maju hingga menemukan Lembaga Pendana dari Inggris Harbour Litigation Funder yang mendanai proses gugatan yang dilayangkan petani rumput laut di dua kabupaten di NTT, yakni Kabupaten Kupang dan Rote Ndao ke Pengadilan Federal Australia. Hasilnya, setahun yang lalu, Pengadilan Federal Australia memenangkan gugatan class action petani rumput laut NTT.

Menurut Ferdi, setelah gugatan petani rumput laut di dua kabupaten itu, pihaknya akan melanjutkan gugatan untuk 11 kabupaten lainnya yang terdampak langsung pencemaran minyak di Laut Timor itu. "Masih tersisa 11 kabupaten di NTT dan para nelayannya yang belum digugat," ungkap Ferdi kepada media ini, Selasa (8/8).

Ferdi mengaku, pada tahun 2018 lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan membentuk Satuan Tugas Montara (Task Force) yang hanya beranggotakan lima orang, dimana Ferdi Tanoni merupakan salah satu anggotanya. Satgas ini bertugas menyelesaikan penyelesaian persoalan petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor. "Ini perjuangan yang luar biasa. Tidak mudah kisah perjuangan ini," kata Ferdi.

Ferdi Tanoni menyebutkan bahwa, pada tahun 2016, atas kesepakatan bersama tim pengacara, seorang petani rumput laut di Rote Ndao, Daniel Sanda disetujui oleh Ferdi Tanoni untuk dikirim ke Pengadilan Federal Australia sebagai penggugat Class Action.

Ferdi tak cuma menyetujui, namun ikut mengantarnya Daniel Sanda ke Sydney, Australia untuk mendaftarkan gugatan Class Action-nya.

Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa Ferdi Tanoni adalah penggerak utama penyelesaian Kasus Montara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanda stempel basah YPTB dalam surat identitas petani rumput laut di NTT yang berjumlah 15.483 orang yang tercatat sebagai korban dari dampak pencemaran petaka Montara ini.

"Petaka tumpahan minyak Montara 2009 di Laut Timor telah merenggut mata pencaharian masyarakat, nyawa manusia, alam, dan lingkungan sekitar di pesisir NTT. Pemerintah Australia dan PTTEP di Bangkok harus bertanggung jawab atas semua kejahatan yang mereka lakukan," tegas Ferdi yang menegaskan, dirinya tak akan berhenti berjuang hingga keadilan itu benar-benar terwuju untuk masyarakat, bangsa dan negara ini, khususnya para korban yang ada di Nusa Tenggara Timur. (aln)

  • Bagikan