Pengusaha Hiburan Butuh Keringanan Pajak

  • Bagikan
Gambaran kamar hotel pada umunya/image by suksao on freepik

JAKARTA, TIMEX.FAJAR.CO.ID- Pemerintah mengerek batas bawah tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan mencapai 40 persen. Keputusan itu sejalan dengan bisnis sektor pariwisata yang mulai pulih pasca Covid-19. Di sisi lain, kenaikan pajak menuai protes para pengusaha.

Kenaikan besaran pajak mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (HKPD). Dalam beleid itu, berlaku untuk jasa hiburan tertentu seperti bar, club malam, diskotik, karaoke, dan mandi uap/spa.

Founder Niluh Djelantik Foundation dan Aktivis Sosial Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik meminta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno untuk mengajak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Bali untuk bertemu dengan para pengusaha spa dan hiburan. Menurut dia, 60 persen hidup masyarakat Bali bergantung pada sektor pariwisata. Tidak adil rasanya menyamaratakan semua bisnis hiburan untuk orang tertentu.

“Masih banyak sekali keluhan di bawah (pelaku usaha hiburan, beach club, dan spa). Pengusaha memerlukan kepastian dari pemerintah pusat. Dan tentunya tidak hanya Bali yang diberikan keringanan. Tapi juga semua pengusaha hiburan di Indonesia,” ungkap Ni Luh dalam agenda mingguan bareng Menparekraf, kemarin (22/1).

Dia menjelaskan, para pelaku usaha mandi uap/spa yang melakukan massage (pijat) di jalanan Seminyak, Legian, dan Kuta hanya menarik tarif Rp 150 ribu. Jika kenaikan pajak, maka sama dengan membunuh rakyat. “Karena terdapat puluhan ribu orang bekerja di restoran, bar, dan night club,” tegasnya.

Tidak semua orang menyambangi tempat hiburan untuk berfoya-foya dengan tujuan yang tidak baik. Banyak juga yang pergi untuk refreshing melepas penat dari rutinitas pekerjaan. Menggunakan uang hasil keringatnya untuk apresiasi diri.

“Mungkin mereka mau main ke pantai, beach club, restoran, bar, atau diskotik. Tidak semuanya ingin aneh-aneh. Hanya ingin duduk minum sebotol bir atau minuman lain. Jika sekarang diterapkan pajak seperti itu otomatis mereka akan mengalihkan uangnya ke negara lain,” bebernya.

Begitu pula karaoke keluarga. Ni Luh juga menentang bisnis tersebut disamakan dengan bisnis karaoke plus-plus. Sebab, karaoke keluarga hanya digunakan untuk bernyanyi bersama anak-anak, orang tua, saudara, dan kolega.

“Belajarlah kita dari Thailand. Rakyat Bali tidak minta apa-apa, rakyat Indonesia tidak minta apa-apa. Kami bisa menyampaikan air mata rakyat sedang mengalir deras. Tolong dengarkan rakyat,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menyatakan, kurang tepat jika tarif PBJT jasa kesenian dan hiburan naik. Yang tepat adalah secara umum PBJT justru turun. Peraturan sebelumnya yakni UU Nomor 28/2009 mengatur tarif PBJT paling tinggi 35 persen. Melalui UU HKPD tarif pajak paling tinggi harus 10 persen.

“Jadi PBJT ini isinya banyak sekali. Dari satu sampe 12. Nomor satu adalah pajak bioskop. Dari paling tinggi 35 persen, sekarang Pemda (pemerintah daerah) mengenakan paling tinggi 10 persen,” terang Lydia.

Kemudian, pagelaran busana pada undang-undang sebelumnya masuk kategori tertentu atau khusus yang dikenakan tarif sampai 75 persen. Saat ini dengan di UU HKPD tarif tertingginya sampai 10 persen. “Jadi pagelaran busana, kontes kecantikan, dan konser yang semula Pemda boleh menetapkan tarif paling tinggi 35 persen, sekarang 10 persen,” imbuhnya.

Saat ini yang lagi ramai itu di pasal 58 UU HKPD ayat 1 urutan nomor 12. Hanya itu yang dikhususkan sebagai jasa hiburan tertentu. Yaitu, bar, club malam, diskotik, karaoke, dan mandi uap/spa.

Lydia menjelaskan, pajak sebagai instrumen fiskal tidak hanya untuk mencari uang sebanyak-banyaknya untuk daerah. Tapi sekaligus sebagai fungsi regulatori atau pengendalian. “Karena dikonsumsi oleh sebagian masyarakat tertentu,” ujarnya.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerima audiensi asosiasi dan pelaku usaha di bidang perhotelan dan jasa hiburan. “Masukannya tadi sudah kita terima semua. Saya minta, solusinya tadi dengan SE Mendagri (surat edaran Menteri Daam Negeri). Pada waktu di Istana, saya sampaikan bahwa akan ada SE, dan kepada daerah bisa mengacu kepada SE Mendagri,” ucapnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 101 UU HKPD telah jelas diatur bahwa kepala daerah secara jabatan dapat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pokok pajak daerah. Hal ini telah ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/403/SJ 19 Januari 2024 kepada Gubernur Daerah DKI Jakarta dan Bupati/ Walikota. Dengan demikian, kepala daerah memiliki kewenangan yang diberikan UU HKPD untuk melakukan pengurangan tarif PBJT atas jasa hiburan yang tarifnya 40 persen sampai dengan 75 persen.

Dari situ kepala daerah dapat mengurangi tarif PBJT hiburan sama dengan tarif sebelumnya. Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif PBJT hiburan tersebut cukup ditetapkan dengan Perkada. Saat ini Kementerian Keuangan bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyelesaikan kajian untuk memberikan dukungan insentif perpajakan untuk sektor pariwisata yang berupa PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah).

“Besaran insentif pajak PPh Badan DTP tersebut sebesar 10 persen. Sehingga besaran tarif pajak PPh Badan akan turun menjadi 12 persen (dari tarif normal 22 persen). Hal ini diharapkan akan mampu memberikan angin segar bagi pelaku usaha dan dapat menjaga iklim usaha agar tetap kondusif,” pungkas Airlangga.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani mengaku masih kesulitan untuk menaikkan tarif sewa hotel. Meski, tingkat okupansi hotel terus mengalami kenaikan. Sejalan dengan banyaknya hotel yang membuat persaingan tarif ketat dan daya beli masyarakat yang menjadi pertimbangan.

Apalagi saat ini pemesanan mudah dilakukan secara online. Banyak apartemen yang dijadikan penginapan harian dan penginapan di desa wisata. “Ini memang tough kalau hotel naik mendekati atau melebihi 2019, memang tantangannya banyak,” ungkap Hariyadi.

Menurut dia, penetapan UU HKPD mengabaikan konsultasi publik terhadap sektor yang terdampak. Tidak ada sosialisasi. Akibatnya, pelaku usaha tidak ada yang sepakat. Malah justru menilai kenaikan tarif pajak hiburan dapat mematikan usahanya.

Pengusaha beach club sekaligus pengacara kondang Hotman Paris Hutapea juga menyebutkan, besaran pajak hiburan minimal 40 persen akan sangat memberatkan pelaku usaha. “Kalau dia tidak bayar, berarti perusahaan yang bayar. Berarti 40 persen dari pendapatan kotor,” timpalnya. (jpc/thi)

  • Bagikan