Ragam Pengalaman Emergency Medical Team Indonesia di Myanmar
Tak cuma para korban langsung gempa Myanmar bermagnitudo 7,7 yang ditangani, ada pula pasien yang melanjutkan rawat jalan. Kasus yang ditangani juga beragam, mulai patah tulang sampai hipertensi.
RETNO DYAH AGUSTINA, Surabaya
AWALNYA, tim tenaga kesehatan dari Indonesia untuk para korban Myanmar mempersiapkan layanan terhadap 100 pasien per hari. Tapi, yang terjadi di lapangan berlipat-lipat dari itu yang membutuhkan bantuan mereka.
Jumlah pasien yang datang ke fasilitas kesehatan Tenaga Cadangan Kesehatan-Emergency Medical Team (TCK-EMT) Indonesia di Naypyidaw sebanyak 200–400 orang per hari. Dengan durasi layanan dari pukul 09.00 sampai 17.00, antrean panjang pun jadi pemandangan rutin.
”Fasilitas kesehatan di sini memang masih terbatas karena banyak yang rusak akibat gempa. Petugas medisnya juga nggak banyak yang siap melayani,” ucap dr M Hardian Basuki, SpOT, salah satu delegasi kesehatan Indonesia, kepada Jawa Pos (grup Timex) yang mewawancarainya dari Surabaya melalui panggilan telepon WhatsApp dalam sejumlah kesempatan, Kamis (10/4) sampai Minggu (13/4).
Gempa berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada 28 Maret dan efeknya dirasakan sampai ke Thailand dan Tiongkok. Hampir 3.700 nyawa melayang dan sekitar 5 ribu orang mengalami luka.
Hingga Minggu (13/4), tim TCK-EMT Indonesia telah melayani 1.738 pasien dalam rentang tujuh hari. Naypyidaw, ibu kota baru Myanmar, memang termasuk dalam enam wilayah dengan kerusakan berat akibat gempa. Sebagaimana juga Sagaing, Mandalay, Magway, Northeastern Shan State dan Bago.
Dari Dokter sampai Perawat
Ribuan pasien yang mendapat layanan TCK-EMT pun bukan hanya korban kejadian gempa secara langsung. Bahkan sekitar 92 persen pasien selama sepekan memiliki kondisi yang tak berkaitan dengan gempa.
”Banyak juga yang melanjutkan rawat jalan akibat kondisi sebelumnya, misalnya punya gangguan ginjal,” kata dr Jaya Ariheryanto, SpA, delegasi lainnya.
Jenis kasus yang ditangani tim medis Indonesia pun cukup beragam. Mulai kasus-kasus patah tulang yang membutuhkan pemasangan gips dan luka robek yang belum tertangani. Sampai penyakit yang memang sudah ada sebelumnya seperti hipertensi, ISPA dan myalgia.
”Di hari-hari pertama, pasien datang dengan luka yang belum tertangani sama sekali,” tutur Basuki.
Beberapa kasus patah tulang yang rumit tak bisa ditangani langsung. ”Kami bikin klinik tipe 1 menetap, jadi layanannya hanya rawat jalan. Tidak bisa operasi, tidak ada rawat inap,” ucap Ketua TCK-EMT Indonesia untuk Myanmar dr Eko Medistianto, MEpid.
Mereka hanya bisa menjaga agar pergerakan di area tulang terbatas. Sambil merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih besar.
Tim TCK-EMT Indonesia untuk Myanmar berjumlah 32 orang. Dijadwalkan bertugas sampai 21 April mendatang, mereka berasal dari berbagai kementerian, organisasi dan lembaga dari beragam wilayah di Indonesia.
Di dalam tim ada dokter umum, dokter spesialis bedah, spesialis ortopedi, spesialis anak, spesialis emergensi dan spesialis anestesi. Ada pula bidan, perawat, tenaga farmasi dan petugas logistik.
”Penyakit di pengungsian juga banyak kami tangani,” sambung Eko.
Higienitas lokasi pengungsian memang selalu jadi problem. Kasus paling banyak adalah batuk, pilek, diare, hingga gatal kulit. Sedangkan terkait anak-anak tak mencapai 10 persen dari semua yang ditangani.
Keamanan Terjaga
Para anggota TCK-EMT Indonesia diizinkan tinggal di salah satu guest house yang dimiliki pemerintah setempat. ”Layak banget meski tanpa AC ya. Tapi, air bersih ada dan kami juga bisa istirahat optimal,” tutur Jaya.
Jaraknya juga tak terlalu jauh dari klinik, hanya sekitar 7-8 kilometer. Sekitar 15–20 menit perjalanan. Sedangkan kebutuhan makanan dan minuman para delegasi dibantu Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
”Kami tidak kekurangan apa pun,” kata Eko.
Jaya mengamini. Dia menilai sambutan pemerintah Myanmar dan pemerintah daerah setempat sangat baik. Contohnya, karena membeludaknya antrean, perhitungan bahan dan alat medis jadi tak sesuai.
Kondisi itu pun dikomunikasikan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Myanmar. Sembari juga dimintakan cadangan dari Kemenkes Indonesia. Menteri Kesehatan Myanmar They Khaing Win merespons dengan meninjau langsung di hari kedua pembukaan klinik. Kementerian yang dia pimpin juga siap memberikan dukungan logistik obat jika dibutuhkan.
Keamanan pun tak ada masalah. Kemenlu telah berkoordinasi dengan Kemenlu Myanmar. Karena itu, Eko bersyukur para anggota tim bisa berperan optimal dalam penanganan pasien. Para petugas medis lokal juga membantu sebisanya.
”Petugas administrasinya dari warga lokal. Ada juga yang bertugas membantu komunikasi kami dengan pasien saat penanganan,” katanya. (ttg/jpg/ays/dek)