Lahan Jadi Masalah Utama

  • Bagikan

TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – APA sebenarnya yang menjadi masalah utama tidak dibangunnya jalan negara sekitar 700 meter Jalan Frans Seda? Masalah utama yang terjadi tahun 2017 itu adalah lahan. Laman sepanjang ruas jalan yang hendak dilebarkan itu belum ada penyerahan dari pemilik lahan.

Hal ini dibenarkan mantan Kepala Dinas PUPR NTT, Dr. Andre Koreh. Andre yang saat proyek pelebaran jalan negara Frans Seda tahun 2017 itu menjabat sebagai Kadis PUPR mengatakan, ruas jalan negara yang menyempit itu seharusnya dibangun bersamaan dengan ruas jalan sepanjang jalan Frans Seda.

“Namun, untuk ruas jalan yang masih sempit itu memang belum ada titik temu antara pemilik lahan dan Pemprov NTT dalam hal ganti rugi,” ujar Andre yang saat itu mengaku turun langsung ke lokasi itu.

Dijelaskan Andre, karena tidak ada titik temu akibat tidak ada kesamaan data mengenai luasan lahan yg hendak dibebaskan untuk pembangunan jalan negara tersebut sehingga pekerjaan tidak dilanjutkan. Menirut Andre, pemerintah bisa saja melakukan pembangunan dengan menitipkan dana kontinyasi di pengadilan, namun melihat dinamika saat itu, pemerintah putuskan pembangunan jalan yang masih bermasalah itu dipending.

Pemerintah Kota Kupang telah melakukan pendekatan dengan pemilik lahan yakni keluarga Haba namun hingga saat ini pemerintah belum menjawab permintaan dari keluarga.

Titik buntu dari proses pembangunan jalan tersebut disampaikan pemilik lahan, Romi Haba ketika dikonfirmasi Timor Express, Jumat (4/2).

Romi menegaskan, pihaknya secara hukum telah memenangi gugatan berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI berkekuatan hukum tetap (Inkrah) atas perkara perdata Nomor: 294/K.Pdt/2016, tertanggal 17 Mei 2016.

Terhadap keputusan tersebut, keluarga Haba menganggap semua perbedaan atas lahan tersebut telah selesai dengan keputusan pengadilan yang dimenangkan keluarga Haba.

Pasca putusan tersebut, kata Romi, sudah ada pendekatan dari Pemerintah Kota Kupang dan sudah dibahas bersama Wali Kota Kupang untuk pembebasan lahan, namun setelah pembahasan itu pemkot tidak lagi konfirmasi terkait perkembangan lahan tersebut.

“Bagi kami keluarga pemilik lahan tinggal menunggu pemerintah jika nilai pembebasan lahannya sesuai dengan nilai yang wajar keluarga siap mendukung,” ujarnya.

Dikatakan, luas lahan tersebut seluas kurang lebih 3.000-4.000 meter persegi, jika pemerintah bersediah maka harus ganti rugi.

Lahan tersebut ditawarkan dialihkan untuk seluruhnya dan sudah penawaran untuk relokasi warga di tengah lahan tersebut namun belum ada kejelasan lagi dari pemerintah.

Ia juga mengisahkan bahwa tanah tersebut kepemilikan pertama atas nama Imanuel Eoh. Imanuel memiliki saudara laki-laki atas nama Benyamin Eoh.

Keturunan Imanuel hanya memiliki anak perempuan dan keturunannya ada Haba dan Pauadu yang memiliki hak atas tanah tersebut.

“Yang saling kalim-mengkalim ini adalah turunan dari Imanuel Eoh dan Benyamin Eoh dan pengadilan memutuskan bahwa salah satu ahli waris kepemilikan tanah yang sah adalah Anton Haba,” jelasnya.

Terpisah, Kuasa hukum keluarga Haba, Fransisco Bernando Bessi mengatakan tanah tersebut merupakan milik Anton Haba ahli waris dari Imanuel Eoh (almarhum) dan kini dilanjutkan oleh Romi Haba dengan keluarga.

Proses memperjelas kepemilikan tanah tersebut diawali sejak tahun 2014 lalu. Sengketa tanah antara keluarga Haba dan Eoh tersebut sebelumnya sudah ada putusan dari tingkat bawah hingga peninjauan kembali.

“Dengan kepemilikan tanah ini, keluarga Haba tidak keberatan dalam membantu dan mendukung program pemerintah dalam hal ini pembangunan fasilitas umum berupa jalan,” katanya.

Ditegaskan, meski keluarga mendukung pembangunan tetapi harus ada kejelasan dari pemerintah terkait hak atas tanah tersebut (ganti rugi) sehingga pada proses pembangunannya tidak ada hambatan atau gangguan.

Pada kesempatan tersebut, ia menyarankan kepada pihak lain yang merasa memiliki hak kepemilikan atas tanah tersebut bisa difasilitasi pemerintah.

“Pemerintah Provinsi NTT dan Kota Kupang bisa memfasilitasi untuk menghadirkan para pihak lain yang merasa memiliki hak atas tanah untuk menunjukan bukti-bukti kepemilikan atas tanah ini. Kalau bicara tanpa bukti bagaimana bisa diketahui jika tanah tersebut miliknya,” sebutnya.

Pengacara kondang kota Kupang itu menambahkan bahwa berbicara kepemilikan tidak terlepas dari putusan pengadilan karena tanah tersebut sudah disengketakan.

“Data dan dukumen harus jelas karena saat ini ada tren bahwa seseorang dekat dengan pejabat maka seolah semua hal miliknya dan bahkan melupakan hal yang sudah terjadi sehingga bicara harus ada data dan dukumen berupa putusan pengadilan yang telah diuji dipersidangan,” tandasnya.

Dikisahkan, pada tahun 2014 dirinya mendampinggi sejumlah pihak dan memenangi tanah tersebut. Lalu muncul gugatan baru lagi dan pihaknya dinyatakan kalah.

Tidak puas dengan keputusan tersebut sehingga dilakukan upaya banding dan ternyata di pengadilan tinggi, majelis hakim mengabulkan gugatanya. “Sekarang dilanjutkan tingkat kasasi. Jadi sengketa lahan ini bukan hak baru,” tuturnya.

Ia berharap kepada pihak yang bersengketa karena lokasi tersebut bertujuan untuk dibangun fasilitas umum maka harus ada upaya duduk bersama untuk mencarikan solusi terbaiknya.

“Kita bicara fakta dan bukti bukan soal hayalan semata jadi yang mengklaim maka harus duduk bersama dan tunjukan bukti,” tegasnya.

Terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang penitipan uang pengganti di pengadilan atas tanah yang ingin dibangun fasilitas umum, menurut pria yang sering di sapa Sisco itu bahwa hal itu bisa dilakukan pemerintah jika belum adanya keputusan. Namun, kenyataan sekarang sudah ada putusan dengan menyebut kepemilikannya adalah keluarga Haba.

“Hal itu bisa dilakukan pemerintah jika sedang dalam perkara namun ini sudah ada putusan jadi ada solusi ganti rugi maka itu adalah hak keluarga Haba,” bebernya.

Ditegaskan bahwa keluarga Romi Haba sangat mendukung pembangunan fasilitas umum oleh pemerintah. Soal ganti rugi, pihaknya juga siap duduk bersama pemerintah untuk mencarikan solusi terbaik.

“Jika ada pihak yang juga mengkalim, maka harus menunjukkan bukti agar bisa ditelaah oleh pemerintah,” tandanya. (r3/ito)

  • Bagikan