Anggaran Pembebasan Lahan Dinilai Timpang

  • Bagikan

TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID – SELAIN lahan untuk pelebaran jalan negara di Jalan Frans Seda yang masih berpolemik, lahan untuk pembangunan taman di Koridor III di sepanjang ruas jalan yang menyempit ini juga masih polemik. Penataan taman di koridor strategis tersebut baru beberapa meter di jalan yang tidak bermasalah. Yang sudah lebar sesuai ukuran standar jalan negara.

Pemerintah setempat mulai dari paling bawah hingga pemerintah kota sudah berupaya untuk menyelesaikan persoalan lahan tersebut. Yakni mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai Pemkot, namun tak kunjung menemukan titik temu. Apalagi total lahan yang hendak dibebaskan untuk penataan di Kordor 3 ini mencapai sekitar 4 hektare.

Anggaran untuk pembebasan lahan ini masih dihitung appraisal, namun diperkirakan mencapai lebih Rp 100 miliar. Ini sangat timpang dengan dana untuk penataan taman di sepanjang boulevard jalan Frans Seda yang masih menyempit hingga saat ini. Dana untuk penataan taman ini dianggarkan sekitar Rp 9 miliar. Yang merupakan satu paket dengan proyek Taman LLBK dan Kelapa Lima senilai Rp 81 miliar.

Camat Oebobo, Paulus Werang kepada Timor Express, Sabtu (5/3) menjelaskan, pihaknya telah menemui warga yang tinggal dalam lokasi jalur hijau di Kelurahan Fatululi. Tepatnya di RT 30/RW 10. Tahun 2021 sudah turun ke lokasi dan berkomunikasi dengan warga secara persuasif. Lokasi itu telah direncanakan akan dibangun taman kota.

“Kami sudah bicarakan dengan masyarakat. Anggaran ganti rugi juga sudah disiapkan pemerintah kota. Kami tinggal menunggu hasil penghitungan dari Tim Appraisal BPN NTT yang akan menghitung uang ganti rugi. Kalau hasil penghitungan sudah keluar maka pemerintah akan bayar. Harapan kita semua semoga tahun ini diselesaikan,” harapnya.

Sementara Lurah Fatululi, Fremi Dae mengatakan, ia baru dilantik sebagai lurah dan baru diserahterima pada Jumat 25 Februari 2022.

“Hari Senin (7/3) nanti (besok) saya akan rapat bersama dengan seluruh staf kelurahan untuk mencari tahu perkembangan terkini mengenai lokasi lahan di sepanjang Jalan Frans Seda, jalur hijau yang didiami masyarakat,” ungkapnya.

Prinsipnya, sebagai lurah, lanjut Fremi, mendukung pemerintah jika melakukan pelebaran Kalan Frans Seda. Tepatnya dari arah Ja’o Cafe menuju ke SPBU itu jalannya menyempit. Demikian pun jalur seberangnya yang berlawanan arah.

Karena itu diharapkan ada perhatian dari pemerintah pusat untuk dilakukan pelebaran jalan. Dengan demikian, dapat mencegah terjadinya kemacetan sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman kepada para pengendara yang melintas di ruas jalan tersebut.
“Semoga pemerintah melalui dinas terkait bisa melakukan pelebaran jalan tersebut agar lebih luas,” ungkapnya.

Sementara Lerry Haba selaku ahli waris keluarga Haba sekaligus Ketua RT 30/RW 10 Kelurahan Fatululi menjelaskan, lokasi jalur hijau yang ada rumah warga itu semuanya masuk RT 30/RW 10 Kelurahan Fatululi, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang.

Dia mengaku, luas lahan 45 ribu meter persegi atau 4,5 hektare berdasarkan pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebagian lahan itu telah berdiri rumah warga. Warga yang mendiami tanah itu tidak memiliki sertifikat tanah melainkan hanya memiliki kwitansi jual beli.

Jumlah warga yang tinggal di lokasi tersebut ada 48 Kepala Keluarga (KK) dengan 200 jiwa. Jumlah pemilih tetap yang ikut dalam proses pemilihan umum khusus yang berdomisili di area Boulevard ada 162 orang.

“Saya pernah sampaikan kepada Pemerintah Kota Kupang, kalau masyarakat keluar dari lokasi itu pemerintah harus perhatikan nasib masyarakat untuk siapkan lahan masyarakat tinggal. Jangan hanya keluar begitu saja. Hal ini saya sampaikan langsung kepada Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore,” jelas Lerry Haba.

Lerry menjelaskan, saat pertemuan dengan wali kota pada tahun 2021, Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore telah menjanjikan pada tanggal 16 Agustus 2021 untuk membayar uang kepada ahli waris.

Tapi, sampai saat ini belum juga terealisasi. Dengan adanya perjanjian itu, sehingga dirinya mengizinkan pemerintah untuk bangun taman kota tetapi belum terealisasi juga. Karena itu saat pembangunan taman kota berjalan, dirinya menegur para pekerja untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu hingga saat ini.

“Waktu saya berhentikan pekerjaan taman, anggota Satpol PP sempat turun menemui saya. Saya sampaikan kepada pemerintah kota kalau ada bukti kepemilikan lahan silahkan lanjut kerja. Tapi kalau tidak ada bukti maka stop kerja,” tegasnya.

Disinggung mengenai pelebaran Jalan Frans Seda, Lerry mengaku prinsipnya menyetujui, tapi dari pemerintah harus realisasi pembayaran ganti rugi dahulu.

Lerry mengaku anggota keluarga Haba yang merupakan ahli waris sempat melakukan pertemuan dengan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat di ruangannya guna membahas tanah milik keluarga Haba untuk dibayar ganti rugi.

Waktu pertemuan itu yang hadir dari keluarga Haba yakni Andreas Haba, Roni Haba, dan mantan Sekda Kota Kupang Tom Ga.
“Waktu itu Pak Gubernur NTT tanya kepada kami apakah tanah itu sudah inkrah, kami sampaikan sudah inkrah maka kami pasang papan nama di tanah itu. Harapan kami keluarga, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat bisa memperhatikan kami,” ungkapnya.

Dijelaskan, histori Jalan Frans Seda itu dibuka pertama kali tahun 1982 masa kepemimpinan Adibu Amalo selaku Wali Kota Administratif Kupang pertama periode 1978-1986.

“Jalan itu dibuka kami duduk bicara semua dengan pemerintah terkait, dengan jaminan tahun depannya (1983) dibayar uang ganti rugi kepada pemilik lahan, tapi sampai sekarang belum,” jelasnya.

Mengenai warga yang mendiami lokasi tanah tersebut, prinsipnya menunggu keputusan dari pemerintah. Jika mereka keluar dari lokasi itu harus ada uang ganti rugi.

Jumlah rumah yang berdiri di dalam lokasi itu ada sekira 40 rumah yang terdiri dari rumah permanen dan rumah semi permanen. Warga yang menempati tanah itu tidak memiliki sertifikat tanah, hanya mengantongi kwitansi jual beli.

Sementara Paulus Pandie, warga yang tinggal di dalam lokasi jalur hijau itu mengaku orangtuanya membeli tanah ini dari keluarga Amtaran tahun 1981. Ada kwitansi jual beli.

“Kami warga yang tinggal di dalam lokasi ini sempat mengurus sertifikat tanah di BPN, tapi dari BPN tidak menerima karena lokasi ini masuk jalur hijau,” ungkapnya.

Prinsipnya jika pemerintah ingin melebarkan Jalan Frans Seda, kata Paul, sebagai warga menerima. Selain itu, ia juga mengaku bersedia keluar dan tinggal di tempat lain, tapi pemerintah harus bayar uang ganti rugi.

“Kami ini ikut saja, jika suruh keluar kita akan keluar dari tempat ini, tapi pemerintah harus perhatikan kami juga, berikan uang ganti rugi, karena kami tidak ada tanah lagi mau bangun rumah,” ungkapnya.

Paul menjelaskan, Pemerintah Kecamatan Oebobo dalam hal ini Camat Oebobo, Paulus Werang sudah mendatangi warga menyampaikan lokasi ini akan dibangun taman, tetapi belum terlaksana.

 

Sementara itu, Anggota DPRD Kota Kupang, Tellendmark Judently Dau mengatakan, lahan di Koridor III itu bukan lahan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang melainkan milik masyarakat yang harus dibebaskan jika Pemkot ingin membangun taman di area tersebut.

“Lahan tersebut luasannya kurang lebih 4 hektare. Jadi saat pembahasan anggaran tahun 2020, dianggarkan Rp 200 juta lebih sebagai uang muka, itu menurut pemerintah sebagai uang muka,” jelasnya.

Selanjutnya, kata Tellend, pada tahun anggaran 2021, Pemkot kembali mengusulkan anggaran Rp 1 miliar lebih sebagai uang muka lagi.

“Waktu pembahasan saya tidak setuju karena yang dianggarkan jauh dari harga sebenarnya lahan tersebut, katanya hanya uang muka Rp 1 Miliar. Jadi waktu itu saya bertanya kenapa tidak dianggarkan secara keseluruhan saja, tetapi jawaban pemerintah waktu itu adalah masih menunggu hasil penghitungan apraisal,” jelasnya.

Jawaban pemerintah itu, kata Telled, akhirnya tidak disetujui. Alasannya, kalau luasan 4 hektare atau 40 ribu meter persegi, kalau 1 meter dihitung oleh apraisal, misalnya Rp 3 juta, maka total anggaran yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan sebesar Rp 120 miliar lebih.

“Hanya sekadar pembuatan taman dan pembebasan lahannya memakan anggaran Rp 120 miliar lebih, lebih baik tidak dibangun, karena anggaran pembangunan taman sendiri tidak sampai Rp 120 miliar kenapa anggaran pembebasan lahannya melampaui hingga Rp 120 miliar,” ungkapnya.

Dengan alasan itu, maka Badan Anggaran DPRD tidak menyetujui usulan anggaran untuk pembebasan lahan sebesar Rp 1 miliar, karena nantinya akan menjadi terutang yang harus dianggarkan pada tahun anggaran berikutnya dengan beban ratusan miliar.

“Lebih baik anggaran itu kita gunakan untuk pengadaan tanah di pinggiran kota dan diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki rumah, lebih bermanfaat,” jelasnya.

“Kita rugi jika menggunakan anggaran ratusan miliar hanya untuk pembebasan lahan 4 hektare hanya untuk pembangunan taman, apalagi Kota Kupang dengan APBD yang terbatas,” kata Politikus Golkar ini.

Menurut Tellend, atas dasar itulah sehingga sekarang yang dibangun di Koridor III hanya lahan yang mungkin menjadi milik Pemkot tetapi lahan yang merupakan milik warga tidak bisa dilakukan pembangunan.

Dia mencontohkan, hasil penghitungan appraisal untuk pengadaan tanah rumah tenun milik Pemerintah Kota Kupang di Kecamatan Alak, 1 neter dibeli dengan harga Rp 2 juta. Lalu ini lahan di Frans Seda, dengan luasan 4 hektare, tentunya anggarannya besar.

Menurutnya, kalau masalahnya penugasan lahan untuk melakukan pelebaran jalan tentunya Pemerintah Kota Kupang berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi NTT karena itu merupakan jalan negara.

“Jadi kalau masalahnya di pelebaran jalan, maka harus dikoordinasikan dengan pemerintah provinsi dan pusat, agar dilakukan pembebasan lahan dan pelebaran jalan,” pungkasnya. (r1/r2ito)

  • Bagikan