Mikael Feka: Penetapan Tersangka Didukung Dua Alat Bukti

  • Bagikan
SIDANG. Tampak Ahli Hukum Pidana, Mikael Feka usai memberikan keterangan dalam sidang Praperadilan di ruang sidang Pengayoman Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang, Rabu (18/1). (FOTO: IMRAN LIARIAN/TIMEX).

KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID-Sidang Praperadilan terkait kasus dugaan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar bersubsidi dengan pemohon Yoseph Mario Sonbay dan Alfred Kore Ully, kembali digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang, Rabu (18/1).

Sidang yang dipimpin Hakim Rahmat Aries, berlangsung di ruang sidang Pengayoman, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh termohon dalam hal ini Kepolisian Daerah Polresta Kupang Kota.

Yoseph Mario Sonbay dan Alfred Kore Ully sebagai pemohon, diwakili oleh kuasa hukumnya yakni Samuel David Adoe, Bildad Torino M. Thonak dan Arnold J.H Sjah. Dalam kesempatan itu Alfred Kore Ully sebagai pemohon juga turut hadir dalam sidang Praperadilan tersebut.

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Katolik Widya Mandira (UNWIRA) Kupang, Mikael Feka, menjelaskan bahwa hukum pidana formil adalah mengatur alat-alat negara untuk menjalankan hukum pidana materil. Terkait dengan obyek Praperadilan itu masuk dalam hukum pidana formil.

"Hukum pidana formil sering juga disebut hukum prosedural," ujarnya.

Terkait dengan praperadilan penetapan tersangka dasarnya apa dan prosesnya bagaimana, Mikael Feka mengungkapkan, perkara Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 KUHAP dan perluasan obyek Praperadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 kesemuanya tentang hukum pidana formil karena mengatur tentang cara-cara penyidik dan penuntut menjalankan tugas dan kewenangan.

"Khusus tentang obyek Praperadilan yang obyeknya adalah tidak sahnya penetapan tersangka baru ada sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang mana dengan tegas mengatur bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka oleh penyidik harus didukung minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yakni keterangan saksi, Ahli, Surat, Petunjuk dan keterangan terdakwa," jelasnya.

Obyek praperadilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka muncul dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maka beracara tentang obyek Praperadilan tersebut belum ada di KUHAP. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut maka Mahkamah Agung menerbitkan Perma No. 4 Tahun 2016 Pasal 2 Ayat (2) yakni Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yakni apakah ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.

"Artinya bahwa hakim tidak boleh masuk ke dalam pokok perkara," ujarnya.

Berbicara soal Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa hakim menjatuhkan pidana terhadap seseorang harus berdasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim. Pasal 184 KUHAP mengatur tentang alat bukti yakni keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat Petunjuk dan Keterangan Terdakwa.

"Petunjuk inilah yang akan melahirkan keyakinan hakim dalam pasal 183 KUHAP," jelasnya.

Dalam proses pembuatan perundang-undangan ada beberapa model yakni dibuat baru kemudian digantikan dengan yang lama, jadi kalau mengganti berarti Undang Undang yang lama tidak berlaku, kalau diubah itu Undang Undang lama tetap berlaku. Diubah itu menambah atau mensisipi beberapa pasal, termasuk Undang Undang Migas ini bukan diganti tapi diubah.

"Konsekuensi dari diubah itu berarti Undang Undang lama tidak diganti. Sifatnya diubah jadi ada dua kemungkinan yakni menghapus beberapa pasal, menambah beberapa pasal dan mensisipi beberapa pasal," jelasnya.

Bagaimana penerapannya terhadap Undang Undang yang dirubah dan Undang Undang yang diganti, Mikael Feka menjelaskan, Undang Undang yang diganti berarti bicara asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP yakni tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali perbuatan tersebut telah diatur dalam Undang Undang.

Asas ini mengatur dua hal yakni sebagai sumber hukum yakni Undang Undang. Kemudian asas Lex Temporis Delicti. Lex artinya hukum, temporis artinya waktu dan Delicti artinya tindak pidana.

Apabila Undang Undang itu diubah maka berlaku asas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP yakni jika Undang Undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya, sedangkan apabila Undang Undang itu diganti maka menggunakan asas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu tiada suatu perbuatan boleh dipidana kecuali perbuatan tersebut telah diatur dalam Undang Undang.

"Saya tegaskan dalam perubahan suatu Undang Undang itu tidak saling meniadakan melainkan saling melengkapi antara Undang Undang sebelumnya dengan Undang Undang perubahannya. Misalnya dalam perkara MIGAS, Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tidak serta merta ditiadakan oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Penerapan pasal oleh penyidik apabila keliru masih ada prapenuntutan oleh Jaksa berupa petunjuk dan filter penggunaan pasal akan dilakukan oleh Jaksa ketika penuntutan," jelasnya.

Mikael Feka menambahkan bahwa dalam KUHAP Pasal 112 tidak mengatur jangka waktu pemanggilan antara panggilan pertama dan panggilan kedua, hanya saja dikatakan bahwa dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar. Penilaian tentang tenggang waktu yang wajar merupakan hak subyektifitas penyidik untuk menilainya tentunya dengan memperhatikan aspek geografis dan urgensi keterangan tersebut.

Terkait dengan DPO, kata Mikael menjelaskan bahwa syarat seseorang ditetapkan sebagai DPO, pertama, orang tersebut diduga kuat melakukan suatu tindak pidana. Kedua, sudah dipanggil secara patut. Ketiga, tidak mengindahkan panggilan.

"Jika ketiga hal tersebut telah dilakukan maka penyidik dapat menerbitkan status DPO kepada tersangka," ungkapnya.

Dalam SEMA No. 1 Tahun 2018 dikatakan bahwa apabila seorang tersangka berstatus DPO maka tidak bisa melakukan praperadilan dan jika praperadilan itu sedang berjalan maka hakim harus menyatakan praperadilan tidak dapat diterima.

Kebijakan penegakan hukum pidana dilakukan melalui tiga tahap yakni tahap legislatif/formulative oleh DPR dan Pemerintah, tahap aplikasi oleh Aparat Penegak Hukum dan tahap eksekusi yaitu tahapan pelaksanaan pidana secara konkret.

"Berdasarkan uraian saya tersebut maka tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengubah Undang Undang kecuali oleh DPR dan/atau Pemerintah. Penerapan Pasal 55 KUHP sangat bisa diterapkan pada Undang Undang diluar KUHP. Dasarnya adalah Pasal 103 KUHP pada pokoknya menjelaskan bahwa bab I sampai dengan Bab VIII Buku I juga berlaku bagi Undang Undang diluar KUHP kecuali ditentukan lain," jelasnya.

Ahli Hukum Pidana Mikael Feka menjelaskan terkait perizinan dalam Undang Undang Cipta Kerja terkait administrasi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Pasal 23A ayat (1) Setiap orang yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dikenai sanksi administratif, berupa penghentian usaha dan/atau kegiatan, denda, dan/atau paksaan Pemerintah Pusat. Terkait konteks ini apakah dikenakan rana administrasi atau rana pidana, Mikael Feka, menjelaskan bahwa terkait dengan perizinan kemudian didekriminalisasi menjadi administrasi. Ini khusus berkaitan tentang perizinan.

Usai mendengar keterangan ahli, Hakim Ketua Rahmat Aries, menutup sidang dan akan dilanjutkan pada Kamis (19/1) dengan agenda kesimpulan. (r1)

  • Bagikan